Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis adalah pahlawan nasional dan tokoh pergerakan perempuan di Indonesia. Ia lahir pada 1 Desember 1872. Saat kecil, ia tinggal di Desa Kema yang terletak di sudut timur Sulawesi Utara. Ayahnya seorang pedagang bernama Bernadus Maramis dan ibunya seorang ibu rumah tangga bernama Sarah Maramis-Rotinsulu. Maria anak ketiga dari tiga bersaudara kakak perempuan bernama Antje, dan kakak laki-laki bernama Andries Alexander, yang merupakan ayah dari A.A. Maramis. Mereka kehilangan orang tua secara berturut-turut saat wabah kolera merajalela di Minahasa tahun 1878 (Parengkuan, 1984: 5).
Mereka kemudian tinggal di Airmadidi, ibu kota Distrik Tonsea, bersama paman dari pihak ibu bernama Mayor Ezau Rotinsulu, seorang kepala distrik. Pamannya menyekolahkan mereka ke Volkschool (Sekolah Desa) karena saat itu belum ada sekolah lain di Minahasa. Setelah menyelesaikan Sekolah Desa, Maria dan Antje tidak bersekolah lagi, sedangkan Andries boleh melanjutkan sekolah ke Hoofdenschool di Tondano, sekolah khusus putra para kepala distrik di seluruh Keresidenan Manado (Walanda, 1983: 7-11).
Sejak kecil Maria sudah memiliki ketertarikan dengan dunia pendidikan, hal terlihat pada saat ia memohon kepada pamannya untuk melanjutkan sekolah ke Meisjesschool Tomohon seperti sepupunya. Akan tetapi, pamannya tidak setuju karena jumlah uang yang diwariskan orang tuanya hanya cukup untuk menyekolahkan adik lelakinya saja. Selain karena faktor ekonomi, faktor adat menjadi penyebab ditolaknya permintaan tersebut. Menurut adat Minahasa pada saat itu anak perempuan setelah menamatkan sekolah cukup membantu mengurus rumah tangga sampai tiba saatnya ia menikah. Keadaan tersebut membuat Maria bertanya-tanya mengapa anak laki-laki lebih diutamakan dalam hal pendidikan Pada akhirnya Maria hanya belajar cara mengatur rumah tangga dan tata krama sebagai seorang perempuan (Walanda, 1983: 10-13).
Saat berusia 18 tahun Maria menikah dengan Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru lulusan Sekolah Pendidikan Guru di Ambon. Sejak menikah, Maria mulai dikenal dengan Maria Walanda Maramis (Dewantara, 1982: 75). Dari pernikahannya mereka dikaruniai empat orang anak. Anak pertama, Wilhelmina Frederika (Keke). Pada usia 18 tahun Keke sakit tifus yang menyebabkan keterbelakangan mental hingga akhirnya meninggal pada usia 30 tahun. Anak kedua, Paul Alexander (Oetoe/Utu) yang meninggal diusia 2 tahun karena penyakit sawan. Anak ketiga, Anna Pawlona (Moetji) lahir di Maumbi pada 1 Januari 1896. Kelak ia menjadi guru bahasa Belanda, ikut menjadi anggota pengurus besar organisasi PIKAT dan mendirikan PIKAT cabang Surabaya. Anak keempat, Albertine Pauline (Raukonda/Konda) lahir pada 16 April 1898, yang juga merupakan guru bahasa Belanda (Walanda, 1983: 14, 87-92).
Setelah menikah, Maria tinggal bersama suaminya di Maumbi, sebuah desa yang terletak di antara Manado dan Airmadidi. Pada fase Maria mendapat inspirasi tentang pendidikan perempuan dari keluarga Ten Hove yang tinggal di Maumbi dalam misi Zending. Di rumah Ten Hove ada beberapa perempuan yang diajari berbagai pekerjaan rumah tangga, seperti memasak berbagai makanan, mengurus pakaian, memelihara lingkungan rumah, menanam berbagai macam sayur dan rempah, serta tata karma (Walanda, 1983: 19-22).
Pada masa selanjutnya keluarga Maria pindah ke Manado, karena Jozef mengajar di Hollands Indlandse School (HIS). Di Minahasa sekolah ini lebih dikenal sebagai Manadose School. Sebagai guru HIS, Jozef memohon agar anaknya, Moetji dan Konda, diperbolehkan sekolah di sana. Permohonan tersebut dilakukan berkali-kali namun selalu ditolak bahkan ia sempat dipecat. Akan tetapi, pemecatan tersebut hanya peringatan. Akhirnya Moetji dan Konda diterima di ELS I, namun saat kelas 5 Moetji dan Konda pindah ke Meisjesschool karena tidak tahan dengan perlakuan anak orang Eropa terhadap mereka. Namun Maria tetap memberikan semangat dan dorongan kepada anaknya tetap sekolah untuk mencapai kemajuan sebagai seorang perempuan (Walanda, 1983: 22-30).
Pengorbanan Maria, Jozef, dan anak-anaknya mendapatkan hasil yang memuaskan karena keduanya lulus ujian Klein Ambtenaar dan dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun langkah selanjutnya harus mendobrak adat Minahasa, karena pada saat itu tidak ada anak perempuan yang dibiarkan pergi jauh dari Minahasa seorang diri untuk sekolah. Pada tahun 1912 Moetji melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama Kristen (MULO met de Bijbel) di Pasar Baru, Weltevreden. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru 1919-1924. Setahun setelah Moetji sekolah, datang Konda ke Batavia mengikuti jejaknya. Setelah lulus keduanya mengajar di Hollands Chinese School (HCS) Manado (Walanda, 1983: 33-37).
Untuk mewujudkan cita-cita Maria dalam memajukan kehidupan perempuan lewat pendidikan dengan menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia, ia juga menuliskan pemikirannya lewat surat kabar Tjahaja Siang. Salah satu tulisannya tentang kemajuan perempuan bisa bersekolah dan memiliki keahlian tertentu seperti juru rawat. Namun kebanyakan perempuan saat itu hanya menjadi ibu rumah tangga. Mereka inilah yang perlu mendapat pelajaran karena peran ibu sangat penting dalam rumah tangga dan mereka diharapkan menjadi ibu rumah tangga yang modern. Ada sebuah kalimat menarik di akhir tulisanya yaitu “Percintaan ibu kepada anak-anak adalah seumpama mata air yang mengalir pada sungai yang tiada keputusan” (Manus, 1985: 16-18).
Dalam kesempatan lain Maria menulis lagi tentang masa depan anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat saat itu yang terdiri dari bangsawan, pegawai, dan penduduk desa. Untuk memperbaiki masa depan tiap kalangan, diperlukan seorang ibu yang mampu dan pandai dalam mengatur rumah tangga. Masalah lainnya adalah tentang perubahan yang dihadapi masyarakat dimana adat kebiasaan lama mulai ditinggalkan menuju pada hal baru. Bagi golongan bangsawan tidak terlalu sulit menghadapi perubahan tersebut namun bagi golongan menengah dan rendah bisa jadi mereka kesulitan bahkan kehilangan arah. Oleh karena itu perlu diambil sebuah tindakan (Manus, 1985: 18-20).
Gagasan dalam tulisan Maria ini ternyata diterima oleh masyarakat Minahasa dan membuat mereka tergerak. Pada 8 Juli 1917 Maria bersama perempuan lain yang memiliki pengaruh penting di Minahasa mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya), organisasi perempuan pertama di Minahasa. Pada awalnya PIKAT hanya tolong menolong masalah ibu dalam rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan secara perorangan. Sebagai ketua, Maria mendirikan cabang PIKAT di berbagai daerah dengan menulis surat kepada perempuan yang memiliki pengaruh besar di daerah-daerah tersebut. Maria menulis kembali di koran bahwa Ratulangi Mogot, dan perempuan lainnya yang memiliki pengaruh besar di Minahasa, telah ikut masuk PIKAT. Dengan demikian PIKAT memiliki daya Tarik tersendiri dan mampu mendirikan cabang di berbagai daerah Minahasa. Ada juga cabang PIKAT luar Minahasa seperti Cimahi, Buitenzorg, Magelang, Bandung, dan Surabaya yang merupakan organisasi orang Minahasa yang tinggal di kota-kota tersebut (Manus, 1985: 20-23).
Dalam rencana kerja organisasi PIKAT Maria mengusulkan untuk membuat majalah sebagai sarana berbagi informasi yang dibutuhkan ibu rumah tangga. Ide ini baru terlaksana tahun 1932 oleh ketua PIKAT selanjutnya, Loing Kalangi. Kedua mendirikan Huishoudschool (Sekolah Rumah Tangga) (Manus, 1985: 23). Bukan hal mudah mendirikan sebuah sekolah pada masa itu, namun Maria bersama anggota PIKAT bekerja keras mencari bantuan dana untuk mewujudkan cita-cita mereka. Kerja keras mereka terbayar dengan berdirinya Sekolah Kepandaian Perempuan pada tahun 1919 dan secara resmi dibuka pada tahun 1921 (Walanda, 1983: 41-44).
Saat pertama kali dibuka sekolah tersebut sudah mendapatkan beberapa siswa yang hanya membayar f.15 untuk biaya sekolah, asrama, dan makan. Mereka belajar memasak; mencuci pakaian sendiri; membersihkan tempat tidur; serta mengurus, membersihkan, dan memelihara rumah beserta pekarangannya. Pada sore hari mereka belajar menjahit menyulam, dan merajut. Semua pengajar bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan bayaran, hanya Sumolang sebagai Direktris Sekolah diberikan tunjangan sebagai kompensasi telah mengurus para pelajar sepanjang hari. Sekolah yang didirikan PIKAT bisa dikatakan berhasil dan mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan pada tahun 1920 Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Strium dan istrinya saat datang ke Minahasa, mengunjungi Huize Maria dan menyumbangkan uang untuk melunasi hutang dan membeli keperluan sekolah (Walanda, 1983: 46-47, 70-71).
Sekolah Kepandaian Putri menjual hasil karya murid-muridnya, mulai dari makanan, pakaian, hingga kerajinan. Hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk keperluan asrama dan sekolah. Pada perkembangan selanjutnya PIKAT membutuhkan gedung baru untuk sekolah dan Asrama. Oleh karena itu, Maria beserta anggota PIKAT dan siswa Sekolah Kepandaian Putri bekerja keras untuk membuat gedung baru. Atas ide Maria, mereka bermain sandiwara untuk menggalang dana. Kerja keras mereka bermain sandiwara dari Manado hingga beberapa desa menghasilkan gedung baru. Gedung tersebut kemudian diberi nama Huize Maria yang berarti Wisma Maria (Walanda, 1983: 49-55, 66).
Gedung tersebut secara resmi dibuka pada 1 Mei 1919 terletak di Titiwungan dekat Pasar Sembilan. Namun karena keuangan organisasi yang belum matang PIKAT mengajukan bantuan keuangan dari berbagai pihak mulai dari Departemen Pendidikan di Batavia, De Javasche Bank, hingga beberapa orang yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan perempuan. Semua bantuan tersebut digunakan untuk menutup hutang dan membiayai kegiatan PIKAT (Manus, 1985: 31-32)
Selain mengurus sekolah yang didirikan PIKAT, Maria juga aktif dalam menuntut hak perempuan. Salah satunya adalah dalam Pemilihan Minahasa Raad yang pada mulanya mengajukan syarat orang dewasa, tinggal di Minahasa, membayar pajak minimal f.12, dan seorang laki-laki. Maria mengajukan protes agar perempuan diizinkan mengikuti pemilihan tersebut. Pertama ia mengajukan protes kepada Residen Manado, Logeman, namun ditolak. Ia mengajukan protes kembali lewat surat ke Pemerintah Pusat di Batavia, hingga akhirnya awal tahun 1921 Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan perempuan ikut dalam pemilihan Minahasa Raad. Hasil keputusan tersebut didiskusikan kembali di Manado, Maria mengajukan lagi agar perempuan tidak hanya ikut dalam pemilihan Minahasa Raad namun pada semua tingkatan pemerintah dari yang terendah hingga volksraad Batavia (Manus, 1985: 37-38).
Maria meninggal saat usianya 52 tahun tepatnya pada tahun 1924 (Dewantara, 1982: 83). Jenazahnya disemayamkan di Huize Maria dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Walanda yang berada di Maumbi. Maria Walanda Maramis dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 20 Mei 1969, sedangkan di Minahasa Hari Ibu Walanda Maramis diperingati setiap 1 Desember. Pada hari tersebut biasanya semua cabang PIKAT mengirimkan perwakilannya ke Maumbi untuk mengadakan kebaktian singkat (Walanda, 1983: 78-81).
Penulis: Dini Nurlelasari
Referensi
Dewantara, Bambang Sokawati (1982) Seri Pahlawan Nasional Maria Walanda Maramis. tt: Roda Pengetahuan.
Manus, MPB (1985) Maria Walanda Maramis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Parengkuan, F.E.W (1894) A. A. Maramis. Jakarta: Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Walanda, Anna Pawlona Matuli (1983) Ibu Walanda Maramis Pejuang Wanita Minahasa (terjemahan: F.G.E. Rorimpandey). Jakarta: Sinar Harapan.