Merapi Merbabu Complex (MMC) (1949-1951)

From Ensiklopedia

Merapi Merbabu Complex (MMC) adalah organisasi yang melancarkan perlawanan terhadap pemerintah yang berbasis di sekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu pada periode akhir masa revolusi (Ibrahim  2009: 1). Anggota organisasi ini  sebagian besar adalah mantan tentara atau pejuang laskar pada perang kemerdekaan, yang kecewa atas Program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pada era Kabinet Hatta I (1948). Program Re-Ra ersebut telah membuat mereka terancam kehilangan pekerjaan.  Dalam melancarkan aksinya, organisasi ini melakukan berbagai tindakan kriminal mulai dari penggedoran, penjarahan, penculikan, hingga pencurian terhadap harta-harta milik pamongpraja, orang-orang kaya, dan orang-orang Tionghoa yang berada di sekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu (Matanasi 2011: 54).

Wilayah kegiatan MMC terdiri di beberapa lokasi meliputi Boyolali, Semarang, Salatiga, dan Magelang. Selain dari kalangan orang-orang mantan pejuang yang kecewa akan program Re-Ra, elemen lain yang ada dalam tubuh MMC adalah para bandit dan orang-orang komunis. Meskipun pada praktiknya kekuatan para bandit dan komunis menjadi kekuatan dominan dalam setiap aksi-aksi yang dilancarkan MMC (Ibrahim 2009: 1-2). Disebutkan juga bahwa aksi perampokan tidak jarang disertai pembunuhan untuk menciptakan teror di kalangan masayarakan sipil yang menjadi bagian dari republik” (Matanasi 2011: 55).

Organisasi perlawanan ini dipimpin oleh seorang benggol atau preman terkenal bernama Suradi Bledheg. Nama “bledheg atau bledek” dipilih karena suaranya yang lantang seperti petir. Dan, Suradi diangkat menjadi pimpinan MMC oleh kawan-kawannya karena perawakannya yang sangar dan ilmu bela diri yang ia miliki (Ibrahim 2004: 227). Di bawah pimpinan Suradi, MMC berhasil memperluas sayap perlawanannya. MMC mulai mendapatkan banyak dukungan dan anggota baru setelah ditetapkannya hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar, ditandatangani pada 2 November 1949, yang mengharuskan pemerintah Republik Indonesia menyerahkan kembali semua milik konsesi asing kepada Belanda, termasuk diantaranya tanah-tanah perkebunan dan pabrik-pabrik.

Hal ini kemudian membuat masyarakat harus mengembalikan tanah-tanah perkebunan yang sebelumnya pernah dibagikan oleh pemerintah. Akan tetapi hal tersebut tidak berjalan dengan lancar, karena pada prosesnya banyak masyarakat yang enggan mengembalikan kembali tanah-tanah tersebut kepada pemerintah. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa kecewa atas keputusan tersebut, dan kemudian memutuskan untuk bergabung dengan MMC (Hardjoloekito 1993: 24-34)

Aksi-aksi MMC kian mengganas dan menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk melancarkan operasi pemberantasan yang dikenal dengan nama Operasi Medeka Timur (OMT) dan Operasi Merapi Merbabu oleh prajurit dari Panglima Divisi VII Diponegoro. Di bawah operasi ini akhirnya Suradi Bledeg berhasil ditangkap di desa Brintik di Kabupaten Klaten. Ia kemudian tewas pada 1 April 1951 akibat serangan prajurit yang bertugas (Ibrahim 2014: 78).

Setelah Suradi tewas, kepemimpinan MMC kemudian diserahkan kepada Umar Junani. Di bawah pimpinan Umar Junani, perpecahan dalam internal MMC tidak dapat dihindari. Menjelang tahun 1953 terdapat perbedaan pendapat khususnya mengenai taktik perjuangan. Di satu pihak perjuangan harus dilakukan dengan melancarkan aksi teror seperti MMC terdahulu, sedangkan di pihak lain menginginkan untuk sebisa mungkin menghindarkan diri dari aksi-aksi teror, agar tetap mendapatkan simpati dari rakyat. Perbedaan pendapat tersebut kemudian berakhir dengan adanya insiden kekerasan yang melibatkan dua pihak dalam tubuh MMC yang berseteru, dan praktis hal tersebut juga membuat kekuatan MMC menjadi semakin lemah (Hardjoloekito 1993: 94)

Momen ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menumpas habis MMC hingga ke akar-akarnya. Dengan melibatkan unsur-unsur TNI, pemerintah akhirnya melancarkan operasi pembersihan yang dikenal dengan sebutan Operasi Tri Tunggal pada 1953. Setelah kurang lebih selama dua tahun operasi dilancarkan, akhirnya pada 1955 OTT berhasil melumpuhkan dan menembak mati beberapa pimpinan gerakan MMC seperti Saelan, Margo Bluwuk, Margono (Hardjoloekito 1993: 92).

Pada Februari 1955 sebanyak kurang lebih 1911 anggota organisasi MMC menyerahkan diri pada pemerintah, sementara anggota lainnya memutuskan untuk tetap bertahan dengan MMC. Hal tersebut kemudian membuat TNI semakin mengintensifkan operasi pembersihan, dengan melibatkan rakyat sebagai salah satu kekuatan utama. Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya pada 2 Juni 1955, Umar Junani yang pada saat tersebut merupakan ujung tombak MMC berhasil dibunuh oleh rakyat yang ikut berjuang bersama dengan TNI, di Karanggede, Boyolali (Berita Buana, 27 Januari 1977).

Dengan terbunuhnya tokoh-tokoh penting MMC, akhirnya gerakan perlawanan MMC perlahan mulai berkurang, hingga akhirnya menghilang. Akibat dari aksi perlawanan yang dilancarkan oleh MMC sejak 1948 hingga 1955 ini, ratusan hingga ribuan warga sipil mengalami kerugian secara materi, karena hewan-hewan ternak dan barang-barang berharga yang telah dicuri. Selain itu, banyak pula warga sipil yang harus meregang nyawa akibat dari gerakan organisasi ini.

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Arsip

Berita Buana, edisi 27 Januari 1977.


Referensi

Bastiana, Irnita. (2017). “Perananan Laskar Rakyat pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta 1945 1949”, Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta.

Hardjoloekito, Ricardus Yustinus Hari Susanto., (1993). “Gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC) di Jawa Tengah Tahun 1950 – 1955”, Skrpisi, IKIP Sanata Dharma.

Ibrahim, Julianto. (2004). Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.

Ibrahim, Julianto. (2009). “Banditisme di Pedesaan Jawa: Suradi Bledek dan Gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC) di Jawa Tengah (1949-1951)”, dalam Laporan Akhir Penelitian Universitas Gadjah Mada Tahun Anggaran 2009.

Ibrahim, Julianto. (2014). Dinamika Sosial dan Politik Masa Revolusi di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kahin, George McTurnan. (2003). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Matanasi, Petrik. (2011). Prajurit-prajurit di Kiri Jalan. Yogyakarta: Trompet.

Widaningsih, Devi Ellok. “Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang Republik Indonesia        di Jawa Tahun 1947-1949”, dalam Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, Vol. 3, No. 3, Tahun 2018.