Pemberontakan Batalyon 426
Pemberontakan Batalyon 426 merujuk pada peristiwa pemberian dukungan dan keterlibatan anggota Batalyon 426 yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah, dalam pemberontakan Darul Islam di wilayah tersebut. Penting dicatat bahwa Batalyon 426 berasal dari laskar Hizbullah dan Sabilillah Divisi Sunan Bonang Surakarta di bawah pimpinan Mayor Munawar, yang bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 16 Agustus 1947. Batalion ini mempunyai banyak pengalaman berperang mulai dari bertempur dengan Jepang, melawan kedatangan tentara Sekutu di Jawa Tengah hingga melawan Belanda pada Agresi Militer I tahun 1947 dan Agresi Militer II tahun 1948 (Nugroho 2020).
Ketika terjadi pembrontakan yang didalangi oleh Darul Islam, tentara yang berasal dari Divisi Diponogoro Jawa Tengah tersebut memberikan sokongan, awalnya secara diam-diam kemudian secara terang-terangan. Menurut informasi dari para tawanan di daerah Brebes dan Tegal, diketahui bahwa pembrontak Darul Islam mendapat dukungan dari para perwira dan bawahan Batalyon 423 dan 426 Divisi Diponegoro. Dalam tubuh seorang perwira yang meninggal dalam sebuah aksi melawan pasukan Darul Islam di Berebes ditemukan sebuah dokumen yang menyatakan keterlibatan perwira-perwira batalyon 423. Dokumen tersebut berisi perintah untuk para anggota batalyon, yang sebagian terdiri atas bekas gerilyawan. Menurut van Dijk, tidak mudah menyelesaikan persoalan yang menyangkut Batalyon 426. Hal ini karena seluruh anggotanya terdiri atas bekas kesatuan Hizbullah yang anggota-anggotanya masih mengutuk penggabungan mereka ke dalam Brigade Pragolo yang saat itu dipimpin oleh Kolonel Suharto (van Dijk 1993).
Saat mendengar kabar tentang kemungkinan penyeberangan Batalyon 426, awalnya pimpinan Divisi Diponegoro bimbang. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, pimpinan Divisi tidak ingin membangkitkan perasaan para pejuang bekas Hizbullah. Dan ketika akhirnya diputuskan untuk bertindak, semua sudah terlambat. Sejumlah laporan yang berisi bahwa Divisi Diponegoro punya bukti tentang kerjasama sejumlah perwira Batalyon 426 dengan Darul Islam bocor sebelum perwira-perwira tersebut sempat diintrogasi. Namun demikian, dua perwira Batalyon 426, Mayor Munawar dan Kapten Sofyan diperintahkan untuk menghadap ke markas besar Diponegoro pada 7 Desember 1951. Sofyan yang kabarnya tekah ditawari kedudukan sebagai panglima Tentara Islam Indonesia untuk Jawa Tengah menggantikan Amir Fatah, menolak untuk datang karena dia sudah mengetahui bahwa markas besar telah tahu tentang kontak-kontaknya dengan Darul Islam. Bahkan dia mengakui bahwa tiga kompi yang dipimpinnya masuk Tentara Islam. Munawar juga tidak mematuhi perintah untuk datang menghadap ke markas besar. Dia ditangkap ketika memakai pakaian sipil di Klaten beberapa hari kamudian (van Dijk 1993).
Pada tanggal 8 Desember 1951 di Kudus pertempuran pertama terjadi antara TNI dengan tentara eks-Batalyon 426 yang dipimpin oleh Kapten Sofyan. Mereka menggunakan gedung bekas pabrik “Nitisemitro” sebagai markasnya. Satu kompi terdiri atas 200 orang pemberontak bergerak menuju kompleks Gunung Muria, sementara dua kompi lainnya meloloskan diri menuju arah Tenggara Kudus. Akibat peristiwa ini lalu lintas antara Semarang dan kota Kudus ditutup dan segala aktivitas dalam kota terhenti hingga Senin 10 Desember (Suara Rakjat, 12 December 1951; Nugroho 2020). Pasukan eks Batalion 426 yang dipimpin oleh Sofyan dan Yuslam bergerak ke arah selatan melalui Gajah dan Dempet, Purwodadi kemudian Kedungjati (Abadi, 14 Januari 1952; Nugroho 2020). Pada 14 Desember, rombongan melewati Kutuk, Godan, Tawangharjo sampai Sonogedanan Wirosari Grobogan. Sempat singgah di Sermin Purwodadi, pada 16 Desember sampai di Kuwawur Grobogan. Di sepanjang jalan yang dilewati mereka mengganggu lalu lintas, membakar rumah-rumah dan merampas makanan penduduk. Tujuan akhir rombongan Sofyan tersebut adalah daerah Surakarta yang merupakan basis pengikut dan kader yang ia bentuk (Harian Rakjat, 17 Desember 1951; Nugroho 2020). Perlawanan terhadap eks Batalion 426 dilacarkan oleh TNI dibantu oleh rakyat secara sukarela setelah memperoleh keterangan dari Jawatan Penerangan setempat serta pengumuman dari Divisi Diponegoro.
Pembrontakan tidak hanya berlangsung di Kudus, tetapi menjalar ke berbagai daerah lainnya di Jawa Tengah. Pembrotakan eks-Batalypn 426 ini berlangsung selama lima bulan, yakni sejak Desember 1951 sampai April 1952. Pemberontakan yang mengatasnamakan Darul Islam untuk membela kepentingan Islam dan anti-komunis ini memberi dampak yang besar pada stabilitas keamanan dalam masyarakat. Kejahatan meningkat dan menimbulkan kerugian ekonomi, terganggunya transportasi dan meningkatnya ketegangan sosial dalam masyarakat.
Penulis: Sarkawi
Instansi: Universitas Airlangga Surabaya
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Abadi, 14 Januari, 1952.
Adnan, Basit. "Hizbullah Dalam Perjuangan Kemerdekaan," Suara Muhammadiyah No. 24 Tahun Ke-59, Desember II. Yogyakarta, Desember 1979.
Dijk, C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Harian Rakjat, 17-12-1951.
Nugroho, Agung. “Darul Islam Di Surakarta: Studi Kasus Pemberontakan DI/TII Eks- Batalion 426 Dan Pengaruhnya Tahun 1951-1952”, dalam Al-Isnad: Journal of Islamic Civilization History and Humanities, Vol. 1 No. 01 December 2020, 1-16.
Tashadi, dkk. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sablilillah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama, 1997.