Pemberontakan Ibnu Hadjar
Nama asli Ibnu Hadjar adalah Haderi. Dia lahir di Ambutun, Telaga Langsat, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan pada April 1920. Ayahnya bernama Umar dan ibunya Siti Hadijah, putri seorang kepala Suku Dayak di daerah Tamiang Layang, Kalimantan Tengah. Ibnu Hadjar kecil dikenal sebagai sosok yang keras dan pemberani. Ibnu Hadjar juga dikenal sebagai orang alim dalam beragama. Dia pandai membaca dan mengajarkan kitab suci al-Quran serta kitab Perukunan Melayu karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, sehingga membuatnya disegani dan diangkat menjadi tokoh agama di kampungnya (Darmadi 2019).
Sebelum Jepang masuk ke Indonesia, aktivitas sehari-hari Ibnu Hadjar adalah bertani dan mencari madu lebah pohon. Kehidupannya berubah drastis manakala dia turut andil mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan balik Belanda dengan menjadi gerilyawan dan bergabung bersama TNI. Kendati demikian, citra yang kuat terekam oleh masyarakat umum terhadap Ibnu Hadjar adalah tentang pemberontakan-pemberontakannya bersama Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pemberontakan Ibnu Hadjar memang bagian dari gerakan DI/TII terhadap pemerintahan yang sah pada rentan 1950-1963. Sebelum bergabung dengan organisasi tersebut, ia adalah seorang pejuang kemerdekaan dan tercatat sebagai anggota TNI berpangkat Letnan Dua di kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV. Dia kerap memimpin satuan-satuan gerilya di sekitar Kandangan, Kalimantan Selatan (Chaidar, 1999). Jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi serta rasa cinta tanah air yang menggebu memotivasi dirinya untuk berjuang bersama Hasan Basry melalui ALRI Divisi IV. Dia berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan wujud penegasan bahwa Kalimantan Selatan dan Tenggara merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam sidang PPKI 1945 yang saat itu masih bernama Borneo (Darmadi, 2019).
Karir Ibnu Hadjar di militer berakhir pada penghujung tahun 1949 saat pemerintah mengadakan reorganisasi dan rasionalisasi terhadap divisi-divisi TNI dan ALRI IV. Dampak dari kebijakan ini banyak anggota diberhentikan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah, termasuk Ibnu Hadjar sendiri yang notabene tidak bisa membaca aksara latin (buta huruf) (Iqbal, 2018). Ibnu Hadjar dan 60 pengikutnya tidak terima atas keputusan sepihak tersebut, terlebih mereka dikembalikan ke masyarakat dengan hanya diberi sejumlah uang dan beberapa yard kain. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan pemerintah terhadap bekas polisi Belanda yang kembali aktif menjadi polisi RI.
Selain itu, jabatan strategis lain yang diisi oleh orang-orang luar Kalimantan Selatan seperti penggantian komandan ALRI dari Hassan Basry ke Kolonel Sukanda Bratamenggala dari Divisi Siliwangi dan pergantian Gubernur Kalimantan dari Ir Pangeran Muhammad Noor ke Doktor Murjani yang berasal dari Jawa, menambah deretan kemurkaan Ibnu Hadjar dan kolega, sehingga saat itu muncul ungkapan satire ‘setelah dijajah Belanda, Kalimantan dijajah Jawa’. Mereka kecewa yang memuncak dengan menyerang pos-pos TNI pada maret 1950. Pasca insiden ini jumlah pengikut Ibnu Hadjar malah bertambah hingga mencapai 250 anggota (Iqbal, 2018).
Sepanjang perjuangan mempertahankan kemerdekaan nasional antara tahun 1949 hingga 1950, wilayah Hulu Sungai, tempat tinggal Ibnu Hadjar, merupakan benteng perlawanan anti-Belanda. Oleh karena itu, pasukan Ibnu Hadjar sebagian besar terdiri dari bekas pejuang gerilyawan yang berasal dari kalangan masyarakat sehingga wajar mereka kecewa terhadap cara pemerintah memperlakukannya pasca tahun 1949 (Dijk, 1981).
Ibnu Hadjar kemudian memobilisasi anggota yang tercecer tersebut untuk membentuk Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT) dan melakukan serangkaian aksi pemberontakan. Apa yang dilakukan KRjT terhadap pemerintahan sah berbanding lurus dengan rentetan perlawanan yang dilakukan Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa di bawah bendera DI/TII yang berdiri 7 Agustus 1949. Oleh karena itu, KRjT kemudian menyatakan diri menjadi bagian DI/TII pada 1957 di mana Ibnu Hadjar diangkat menjadi panglima angkatan Perang Tentara Islam (APTI) wilayah Kalimantan (ABRI, 1990).
Dalam sumber lain dikatakan bahwa Ibnu Hadjar masuk ke dalam barisan DI/TII pada tahun 1954 setelah Kartosuwiryo mengajaknya untuk mempertahankan Negara Islam Indonesia (NII). Di sini Ibnu Hadjar diberi jabatan sebagai Menteri Negara sementara Kartosuwiryo sebagai presiden, Daud Beureu’eh dari Aceh didapuk sebagai Wakil Presiden dan Kahar Muzakkar dari Sulawesi dipercaya sebagai Wakil Menteri Pertahanan Pertama (Dijk, 1981). Di sini, Ibnu Hadjar juga didapuk menjadi pemimpin gerakan Darul Islam Kalimantan (Sjamsuddin, 1990).
Setahun bergabung dengan DI/TII, tak ada serangan berarti yang dilancarkan kelompok Ibnu Hadjar. Bahkan, gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955 tidak dijadikan sasaran konflik. Para petugas dan pemilih di desa-desa lalu lalang seperti biasa sehingga Pemilu dapat berjalan dengan lancar. Padahal, sebelumnya KRjT menyatakan akan melakukan konfrontasi dalam ajang pesta politik tersebut dan mendesak konstituen untuk memberi suaranya kepada Partai Islam (Chaidar, 1999).
Kalaupun ada, pemberontakan-pemberontakan itu masih dalam skala dan kelompok kecil yang terdiri dari 20 orang. Serangan yang memiliki dampak luas terjadi setelah KRjT membentuk divisi-divisi di tiap daerah dengan dipimpin oleh seorang komandan yang merangkap sebagai kepala daerah pejuang mujahidin. Masing-masing dari mereka mempunyai wilayah operasi khusus. Strategi ini cukup berhasil membuat pemerintah pusat kalang kabut hingga pada tahun 1955 Presiden Sukarno melalui pidatonya di Banjarmasin meminta Ibnu Hadjar dan kelompoknya untuk menyerah.
Permintaan orang nomor satu itu tidak digubris, malah kekuatan Ibnu Hadjar semakin memuncak. Pemerintah pun terpaksa mengirim tambahan pasukan TNI ke Kalsel untuk menumpas kelompok militan Ibnu Hadjar (Chaidar, 1999). Kisah perlawanan Ibnu Hadjar dan KRjT baru bisa diredam pada 1963. Ibnu Hadjar ditahan dan dijatuhkan hukuman mati atas perbuatan makarnya pada 23 Maret 1965 (Iqbal, 2018).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
ABRI, M. (1990). 30 tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Jakarta: Mabes ABRI.
Chaidar, A. (1999). Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo. Jakarta: Darul Falah.
Darmadi, Y. (2019). Penguatan dan Pelemahan Bangsa: Media dan Tokoh di Kalimantan Selatan (1923-1959). Bandung: CV Media Jaya Abadi.
Dijk, C. V. (1981). Rebellion Under The Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
Iqbal, M. (2018). Pemberontakan KRjt di Kalimantan Selatan (1950-1963): Sebuah Kajian Historis. Khazanah , 111.
Sjamsuddin, N. (1990). Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.