Teungku Muhammad Daud Beureueh

From Ensiklopedia
Teungku Muhammad Daud Beureueh. Sumber: Repro dari buku Berbagai Peristiwa dan Penanganannya 1998-1999

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah tokoh Gerakan pembentukan negara Islam di Aceh, Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Lahir di Beureunun pada 23 September 1899, Daud Beureueh berasal dari keluarga ulama. Gelar teungku yang disemat pada namanya merupakan gelar atau sebutan masyarakat Aceh untuk para ulama atau sebutan untuk orang yang dihormati. Daud Beureueh dilahirkan dari pasangan suami istri Tjoet Ahmad (Keuchik Ahmad) yang berketurunan Pattani dan Tjut Manyak seorang perempuan cantik asli Beureueh (Hasanuddin, 2014: 1; Bambang dkk., 2018: 31; Mawardi, 2006: 57).

Daud Beureueh memperoleh pendidikan dari lembaga tradisional sejenis pesantren (Harun, 1992: 202). Pertama ia belajar di Pesantren Titeue selama setengah tahun, kemudian pindah ke Pesantren Iie Leumbeue selama empat setengah tahun (Ibrahimy, 2001: 262). Setelah belajar di Pesantren Iie Leumbeue di bawah pimpinan Teungku Ahmad Harun, atau terkenal dengan sebutan Teungku di Tanoh Mirah, Daud Beureueh keluar atau lulus menjadi sebagai ulama tulen yang dihormati (Hadi, 2015: 17). Setelah itu beliau kawin dengan Teungku Halimah di Kampung Usi Meunasah Dayah. Selain Halimah, Teungku Daud Beureueh juga memperistrikan Hajjah Asma, seorang janda dari kampung Paleu Kabupaten Pidie sebagai istri keduanya. Terakhir, Teungku Daud Beureueh menikahi Hajjah Asiah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai seorang anak (Hasanuddin, 2014: 1-2).

Pada tahun 1930 Daud Beureueh membentuk Jamiah Diniyah dan mendirikan Madrasah Sa'adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli (Hadi, 2015: 17; Harun, 1992: 202). Sejak itu Daud Beureueh dikenal dengan sebutan “teungku” yang merupakan gelar untuk ulama di Aceh, yang memiliki peranan penting dalam kehidupan dan gerak sejarah di Aceh (Nasution, 1992: 202; Muhajir, 2016: 1). Pada tanggal 5 Mei 1939, bersama dengan ulama-ulama pembaharu Aceh, Muhammad Daud Beureueh mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di komplek pendidikan al-Muslim Matang Geulumpang Dua (Hasanuddin, 2014: 3). Teungku Muhammad Daud Beureueh terpilih sebagai Ketua PUSA secara aklamasi (Saleh, 1992: 17). Organisasi ini menghimpun mayoritas ulama aktif di Aceh dalam program pengembangan sekolah-sekolah agama yang lebih modern dan peningkatan sekolah Islam di Aceh. PUSA merupakan gerakan pembaharuan dengan memberikan tekanan kepada keperluan standarisasi sekolah-sekolah agama (Reid, 1987: 58).

Selain itu, Daud Beureueh juga dikenal memiliki andil dalam perang melawan Belanda, sehingga memperkuat pengaruh dan otoritanya sebagai ketua PUSA. Maka, pada 26 Agustus 1947, beliau diangkat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo (Hasnuddin, 2014: 5-6; Mawardi, 2006: 96). Dengan menyandang posisi tersebut, Daud Beureuh terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda, terutama di Medan Area di Sumatra Timur. Pada tanggal 19 Desember 1948 kekuatan dikerahkan secara besar-besaran untuk menghadapi agresi militer, yang kemudian dikenal dengan perang Medan Area (Hasanuddin, 2014: 7). Bahkan, ketika jumlah pasukan yang datang ke Medan Area semakin banyak, maka dibentuk satu badan koordinasi yang disebut dengan Resimen Medan Area Istimewa (RIMA) (Ibrahim, 1978: 210), yang tampil sebagai satu kekuatan yang membuat Aceh menjadi satu-satunya wilayah yang tetap bertahan di republik yang tidak dikuasai Belanda (Ricklefs, 2005: 347).

Keberhasilan di atas berkat kemampuan Daud Beureueh mengkonsolidasi pasukan untuk menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keberhasilan ini merupakan prestasi penting ketika beliau menjadi Gubernur Militer. Pada 13 Juni 1948, semua laskar rakyat dalam wilayah Gubernur Militer berhasil disatukan dalam bingkai TNI (Hasanuddin, 2014: 7). Prestasi lain yang berhasil dilakukan oleh Daud Beureueh adalah memberantas gerakan Sayid Ali Al-Segaf cs. (Hasanuddin, 2014: 8). Gerakan ini melancarkan tuduhan negatif kepada pemerintah (Bambang, 2018: 37). Namun, gerakan ini mampu dihentikan dengan cara mengeluarkan Maklumat Gubernur Militer dan Sayid Ali ditangkap sebagai pemimpin (Bambang, 2018: 38).

Pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Sjafruddin Prawiranegara, selaku pengemban tugas pengganti Presiden dan sebagai Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, menetapkan peraturan pengganti Peraturan Pemerintah No.8/Des./WKPM/49 yang menyatakan bahwa Aceh menjadi provinsi yang berdiri sendiri (Bambang, dkk., 2019: 48). Pada tanggal 1 Januari 1950, Aceh dijadikan sebagai provinsi dan Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur Aceh (Bambang, 2019: 48). Namun kondisi ini tidak bertahan lama. Perubahan sistem politik Indonesia yang berujung pada  penyederhanaan administrasi pemerintahan, di mana beberapa daerah mengalami penurunan status, termasuk Aceh yang diturunkan statusnya dari daerah istimewa menjadi karesidenan yang berada di bawah provinsi Sumatra Utara (Mawardi, 2006: 121).

Status Aceh sebagai bagian dari provinsi Sumatra Utara menjadi salah satu sebab Aceh bergejolak. Sejalan dengan itu, Reid berpendapat bahwa faktor perjuangan melawan pusat pada 1953-1962 didasari oleh dua alasan. Pertama, menentang diserapnya Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara. Kedua, gagalnya republik dalam melaksanakan Hukum Islam (Reid, 2011: 388-389). Rakyat Aceh melihat ini sebagai pengkhianatan, padahal Aceh diakui sebagai daerah modal, mulai dari membeli pesawat hingga bertaruh nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Muhajir, 2016: 4).

Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada 11-15 April 1953 menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya memperjuangkan Negara Islam Indonesia (NII) melalui pemilu yang akan datang (Muhajir, 2016: 2; Hasanuddin, 2014: 10). Pasca kongres ulama di Medan, Kongres PUSA diadakan di Langsa pada 25-29 April 1953. Kongres ini digelar untuk mengevaluasi PUSA, selain menghimpun kekuatan dan unjuk rasa terhadap pemerintah Indonesia yang dianggap sudah sangat diskriminatif (Hasanuddin, 2014: 10-11). Para demonstran PUSA mengusung papan dengan tulisan “Aceh jangan diperlakukan sebagai anak tiri”, dan “Kami cinta Presiden, tetapi kami lebih mencintai agama”. Selain itu, juga ada slogan “Menudju negara Islam”. Semua hal itu merupakan pernyataan sangat berani dari kalangan ulama dan pemuda PUSA (Mawardi, 2006: 158).

Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mendeklarasikan Aceh menjadi bagian dari NII. Deklarasi tersebut menunjukkan Aceh bergabung dengan NII Jawa Barat di bawah Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo (Al Chaidar, 2008: 107). Ini merupakan peristiwa berdarah untuk Aceh. Di sisi lain, September 1953 juga merupakan suatu titik balik dalam sejarah politik Aceh. Aceh telah memperlihatkan kesetiaan penuh pada saat pemerintah menghadapi krisis mempertahankan kemerdekaan, yang kemudian berbalik menentang Pemerintah Pusat melalui DI/TII (Sjamsuddin, 1990: xi). Sikap ini merupakan jawaban rakyat Aceh terhadap pembubaran provinsi otonomi (Saleh, 1992: 233). Secara ideologis, alasan terkuat orang-orang Aceh melawan dan menghadang republik karena tidak diberlakukannya hukum syariat Islam bagi negara yang baru dimerdekakan oleh perjuangan revolusi rakyat, bukan karena keinginan- keinginan separatis (Mawardi, 2006: 166).

Kekuatan pemberontak dalam melawan republik di Aceh diperkirakan mencapai sekitar sepuluh ribu orang, dengan jumlah senjata api sekitar delapan ratus hingga seribu pucuk (Mawardi, 2006: 169-167). Pasukan inti pemberontak sebagian besar berasal dari Pandu Islam, dan ditambah dari elemen lainya termasuk pegawai dan mantan tentara (Mawardi, 2006: 170). Kondisi ini memberikan kegelisahan tersendiri bagi Sukarno terhadap eksistensi negara, sehingga Sukarno melakukan safari politik dan memberi ceramah, di antaranya di forum mahasiswa Universitas Indonesia dan muktamar ketujuh Masjumi (Mawardi 2006: 171-172). Safari ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan dalam menumpas gerakan DI/TII. Gerakan ini dinilai telah mengganggu stabilitas, bahkan kian hari semakin kuat, hingga mampu mengganggu perekonomian (Mawardi, 2006: 183).

Pemerintah menghadapi pemberontakan ini dengan menurunkan kekuatan militer dengan status pemberlakuan Militaire Bijstand (Daerah Berbantuan Militer) dengan kekuatan empat batalion tentara dan 13 batalyon mobrig ke seluruh Aceh. Pemberlakukan Militaire Bijstand didasari pada Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952 (Mawardi, 2006: 197-198). Namun kekuatan militer tidak serta merta bisa menyelesaikan permasalahan. Upaya penyelesaian melalui jalur dialog mulai dilakukan. Kolonel Sjamaun Gaharu terus berupaya mengadakan kontak dengan pihak pemberontak. Salah satu hasil dari upaya melalui komunikasi adalah mencapai suatu kesepakatan yang kemudian terkenal dengan Ikrar Lamteh pada 8 April 1957, dengan itu tercapai pula suatu persetujuan antara pihak pemberontak dan KDMA untuk melakukan gencatan senjata yang pada waktu itu lebih terkenal dengan cease fire. Gencatan senjata ini berjalan sampai tahun 1959 (Ibrahimy, 1982: 164).

Pada fase ini terdapat silang pendapat di tubuh pemberontak, khususnya antara Daud Beureueh dengan Hasan Ali dan lainya. Gejala perpecahan ini bisa menjadi peluang lanjutan untuk mengupayakan pemberontak turun gunung (Ibrahimy, 1982: 165), di mana setelah itu muncul dewan revolusi yang meneruskan musyawarah dengan Pemerintah RI pada 23 Mei 1959, yang dikenal dengan Misi Hardi. Pada 24 Mei 1959, misi tersebut mengadakan pembicaraan-pembicaraan penting dalam segala bidang dengan KDMA dan Gubernur/Kepala Daerah Aceh sebagai persiapan permusyawaratan dengan Dewan Revolusi (Ibrahimy, 1982: 168). Pada tanggal 25 Mei 1959, musyawarah antara Misi Hardi dan Dewan Revolusi berlangsung yang terdiri dari 25 orang antara lain A. Gani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua, Amir Husin Almujahid, Hasan Saleh, Husin Jusuf, T.M. Amin, T.A. Hasan, Ishak Amin, dan A. Gani Mutiara (Ibrahimy, 1982: 168). Dengan tercapainya persetujuan antara Misi Hardi dan Dewan Revolusi, maka turunlah anggota-anggota pasukan TII yang berpihak kepada Trio Hasan Saleh, Ayah Gani, dan Amir Husin Almujahid. Sementara yang masih loyal pada Daud Beureueh tetap bertahan dan melihat beliau wali negara yang sah (Ibrahimy, 1982: 169).

Panglima Jasin menggantikan Syamaun Gaharu sebagai Panglima Kodam. Jasin melihat bahwa Daud Beureueh kunci dalam konflik ini. Daud Beureueh bersama dengan Hasan Ali (Perdana Menteri), M. Hasballah Daud (Kepala Staf), Ilyas Leube beserta pasukannya masih berada di Rampah, suatu tempat di Selatan Simpang Ulim, Aceh Timur (Ibrahimy, 1982: 179). Pada 7 Maret 1961, Panglima Jasin mengirim surat kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh. Melalui surat tersebut Kolonel Jasin menyampaikan bahwa beliau, oleh atasannya, telah diberi kepercayaan untuk menyampaikan bahwa pemerintah Republik Indonesia masih tetap mengharapkan kembalinya Teungku Daud Beureueh dengan cara yang selayaknya demi kebahagiaan rakyat dan daerah Aceh (Ibrahimy, 1982: 179).

Surat Jasin mendapat balasan dari Daud Beureueh pada tanggal 27 April 1961, di mana Daud beureueh menempatkan Jasin sebagai “Ananda”. Surat tersebut memuat lebih kurang sembilan pokok penting yang dikemukakan Daud Bereueh (Ibrahimy, 1982: 179-180). Dari penjajakan tersebut, pada tanggal 4 Agustus 1961 utusan pribadi Daud Beureueh (A.R. Hasjim) dengan Kol Jasin Bertemu di Kuta Raja (Ibrahimy, 1982: 180). Setelah itu diikuti dengan bersurat lanjutan yang mengisyaratkan Kolonel Jasin ingin bertemu dengan Daud Beureueh. Pada 2 November 1961 Kolonel Jasin dan Teungku Daud Beureueh bertemu di Langkahan, Aceh Timur (Ibrahimy, 1982: 181). Dalam momentum tersebut Kolonel Jasin menyampaikan hasrat dan keinginan Menteri Keamanan Nasional, serta hasrat hati beliau sendiri agar Teungku Daud Beureueh bersedia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi (Ibrahimy, 1982: 182). Dalam kesempatan itu Teungku Daud Beureueh menyampaikan keinginan beliau untuk mengutus Hasballah, anaknya yang juga merupakan kepala staf TII, untuk bertemu Menteri Keamanan Nasional, Jenderal Nasution di Jakarta. Utusan ini untuk menyampaikan hasrat dan isi hati beliau dalam rangka upaya penyelesaian keamanan baik lahir maupun batin di Aceh secara menyeluruh (Ibrahimy, 1982: 182).

Jasin menyanggupi keinginan tersebut, sehingga pada 5 November 1961 Hasballah diutus kepada Jasin untuk menjembatani pertemuan dengan Jenderal Nasution. Hasballah membawa surat dari Teungku Daud Beureueh yang diberi nama dakwah. Pada 21 November 1961, Jenderal Nasution menerima Hasballah yang didampingi Letkol Nyak Adam Kamil, Kastaf KODAM I (Ibrahimy, 1982: 183). Menyikapi surat tersebut, pada 21 November 1961 Menteri Keamanan Nasional membalas surat Teungku Daud Beureueh yang bertanggal 5 November 1961. Jenderal Nasution menyampaikan bahwa sesungguhnya apa yang dimaksud dengan "dakwah" tersebut telah tercakup dalam Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. l/Misi/1959 (Misi Hardi) yang tidak lain merupakan wadah dan rangka “dakwah”. Setelah melewati jalan panjang, termasuk perdebatan bersedia menerima suatu “Daerah Istimewa Aceh” dan meminta supaya pembentukan “Daerah Istimewa Aceh” itu dilakukan dengan undang-undang khusus, jangan didasarkan atas Undang-undang No. 1 tahun 1957 (Ibrahimy, 1982: 211).  Pada 5 Februari 1962 Kolonel Jasin mengirimkan surat resmi kepada Teungku Daud Beureueh dengan lampiran Keputusan Peperda. No. KPTS/Peperda/2/1962 yang telah diparaf oleh Penguasa Perang (Kolonel M. Jasin) tentang regulasi pelaksanaan unsur-unsur Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh. Surat tersebut dibalas Daud Beureueh dengan surat yang tertanggal 17 Februari 1962 dengan isi keputusan Jasin dapat diterima dan boleh diteruskan (Ibrahimy, 1982: 214).

Pada hari Rabu, tanggal 9 Mei 1962, dengan dijemput sendiri oleh Letkol Nyak Adam Kamil, bersama satu kompi TNI, Teungku Daud Beureueh bersama stafnya, disertai dengan pasukan Ilyas Leube (dari Resimen Laut Tawar) dan pasukan Gaus Taufik (dari Resimen Tarmihim) kembali ke pangkuan Republik Indonesia (Ibrahimy, 1982: 215; Al Chaidar, 2008: 348).

Penulis: Mujiburrahman


Referensi

Anthony Reid (1987) Perjuangan Rakyat: Revolusi dan hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Al Chaidar dkk, (2008) Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional Di Indonesia, 1953-1964. Lhokseumawe: Unimal Pres.

Anthony Reid (2011) Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia-KITLV

Adan, Hasanuddin Yusuf (2014) Teungku Muhammad Dawud Bereueh dan Perjuangan Pemberontakan di Aceh. Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh.

Bambang, dkk (2018) Teungku Muhammad Daud Beureueh Dan Revolusi Di Aceh (1945-1950). Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, VOL. 7 NO. 1, 2018. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Bambang Satriya, Andi Suwirta & Ayi Budi Santosa; (2019) Ulama Pejuang dari Serambi Mekkah: Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Peranannya dalam Revolusi Indonesia di Aceh, 1945-1950. INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia. Bandung: ASPENSI

Hadi, Abdul (2015) KETOKOHAN TGK MUHAMMAD DAUD BEUREUEH (Menelusuri Dinamika Perjuangan Rakyat Aceh). Jurnal Sintesa Vol. 14. No 2, Tahun 2015.Banda Aceh: Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS WILAYAH V ACEH).

Harun Nasution, dkk (1992) Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan

Ibrahim, Muhammad (1972) Sejarah Daerah Provinsi Daerah istimewa Aceh. Banda Aceh: Depdikbud

Ibrahimy, Muhammad Nur El. (2001). Peranan Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam Pergolakan di Aceh. Jakarta: Media Dakwah.

Ibrahimy, Muhammad Nur El. (1982) TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH Peranannya dalam pergolakan di Aceh. Jakarta: Gunung Agung.

Ilham, Muhammad. (2016). “Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam Pemberontakan di Aceh, 1953-1962”. Skripsi Sarjana Tidak Diterbitkan. Jakarta: Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN [Universitas Islam Negeri] Syarif Hidayatullah. Tersedia secara online juga di: http://repository. uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32193/1/ MUHAMMAD%20ILLHAM.

Ibrahimy, M. Nur El; (1882) Teungku Muhamad Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh. Jakarta: Gunung Agung.

Muhajir, Azis. 2016. Politik Daud Beureueh dalam Gerakan DI/TII Aceh. Kalam Jurnal Agama dan Sosial Humaniora. Aceh Religious and Society Studies Institute (LSAMA): Banda Aceh

Ricklefs, M.C. (2005) Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sjamsuddin, Nazaruddin. (1990) Pemberontakan kaum republik: kasus Darul Islam. Jakarta: Pustaka utama graffiti.

Saleh, H. (1992). Mengapa Aceh Bergejolak. Jakarta: Grafiti Pers.

Sani usman, Abdullah; (2010) krisis legitimasi politik dalam sejarah pemerintahan di Aceh, Jakarta: Kementerian Agama RI, Balitbang dan Diklat, Puslitbang Lektur keagamaan

Umar, Mawardi dkk (2006) Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan? Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.