Peristiwa Karawang-Bekasi
Peristiwa Karawang-Bekasi merujuk pada serangkaian pertempuran antara pasukan Tentara Republik Indonesia yang didukung oleh rakyat melawan pasukan Inggris di sepanjang jalan antara Bekasi hingga Karawang. Peristwa paling terkenal adalah pertempuran Sasak Kapuk pimpinan KH. Noer Ali (29 November 1945) dan peristiwa Bekasi Lautan Api (13 Desember 1945). Rangkaian pertempuran demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini kemudian dipopulerkan Pujangga Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul “Karawang-Bekasi”. Puisi heroik itu ditulis pada tahun 1948 dan kemudian diukir di depan Monumen Perjuangan 45 di Rawa Tembaga (Ekadjati dkk. 1987: 34). Selain Chairil Anwar, ada pula komponis Ismail Marzuki yang menciptakan lagu berjudul “Melati di Tapal Batas” untuk memperingati perjuangan rakyat Bekasi (Alda 1975: 42).
Penyerangan Sekutu ke Bekasi bermula dari jatuhnya pesawat Dakota milik tentara Inggris pada 23 November 1945 di Rawa Gatel, Cakung, Bekasi. Pesawat pengintai itu berangkat dari lapangan udara Kemayoran menuju Semarang diduga mengalami kerusakan mesin sehingga harus melakukan pendaratan darurat dengan selamat sekitar pukul 11.00. Pesawat tersebut membawa dua puluh enam serdadu Sekutu (India-Sikh) dengan senjata lengkap (Toer dkk. 2005: 181).
Para penduduk sekitar lokasi kejadian berdatangan mendekati pesawat. Mereka mengepung pesawat serta menangkap seluruh awak dan penumpangnya. Karena bersikap tidak bersahabat, para penumpang tersebut dipaksa menyerah, dilucuti senjata dan pakaian serta dibawa oleh massa ke markas laskar lain di Bekasi. Namun, di tengah perjalanan, seluruh tahanan dibunuh. Rencana semula seluruh mayat dibuang ke kali bekasi tapi karena air kali bekasi sedang surut, maka mayat-mayat tersebut dikubur oleh masyarakat di bekas Tangsi Polisi Belanda di Bekasi (Kusnawan 2016 :280).
Sehari kemudian, pada 24 November, pimpinan militer Inggris Letnan Jenderal Sir Philip Christison dengan marah mengeluarkan ultimatum agar para tawanan itu segera dilepaskan dan jika tidak dihiraukan maka kota Bekasi akan di luluh lantakkan (Ekadjati dkk. 1987: 32). Perdana menteri Sutan Syahrir kemudian menghubungi Moeffreni Moe’min selaku komandan Resimen V, dan meminta agar tawanan itu segera dibebaskan. Tetapi Moeffreni Moe’min memberikan penjelasan kepada Syahrir bahwa ultimatum tersebut tidak dapat dipenuhi karena semua tawanan telah dibunuh oleh para pejuang. Sementara itu, pada hari yang sama pasukan Inggris dikerahkan ke Bekasi untuk mencari jasad-jasad para penumpang. Dalam perjalanan menuju ke Bekasi, pasukan Sekutu menghantam wilayah Klender. Haji Darip pemimpin laskar Klender terpaksa meninggalkan wilayah itu (Majid & Darmiati 1999: 163).
Pada 29 November 1945, pasukan Sekutu menyerang wilayah Pondok Ungu, Cakung dan Kranji dan membakar sekitar 200 rumah. Saat tiba di Sasak Kapuk, konvoy pasukan Sekutu bertemu dengan 200 pasukan laskar pimpinan KH. Noer Ali, mereka mengira pasukan itu adalah Barisan Banteng yang bertanggung jawab atas pembunuhan para penumpang pesawat Dakota. Pada awalnya konvoy pasukan Sekutu berhasil dipukul mundur oleh serangan kejutan dari laskar. Namun, saat mengundurkan diri, konvoy tersebut diserang lagi di daerah persawahan yang tidak menguntungkan bagi pasukan KH. Noer Ali yang harusnya menerapkan taktik gerilya. Alhasil, posisi laskar langsung diberondong oleh senapan modern sehingga sekitar 40 orang gugur, bahkan KH. Noer Ali sendiri harus melompat ke sungai untuk menyelamatkan diri (Majid & Darmiati 1999: 188).
Selanjutnya pada 10 Desember 1945, setelah mengetahui lokasi jenazah para penumpang, konvoy pasukan Inggris datang lagi untuk mengambil jenazah yang telah dikuburkan di dekat Tangsi Polisi Bekasi. Kedatangan itu dibiarkan tanpa perlawanan oleh para pejuang sehingga mayat-mayat mereka berhasil diangkut dengan truk ke Jakarta (McMillan 2005: 70). Tiga hari kemudian pada 13 Desember 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison memerintahkan untuk membombardir serta membumihanguskan kota Bekasi. Front pertahanan para pejuang Bekasi dihujani sekitar 200 peluru meriam, mortir, dan granat tangan, sementara Pasukan Infanteri dan Kavaleri mengepung Bekasi dari barat dan timur (Ekadjati dkk 1987: 32).
Hasilnya kota Bekasi terbakar hebat, diperkirakan sekitar 600 rumah dan satu Tangsi Polisi hangus terbakar dihujani meriam. Meskipun Christison mengklaim telah mendapatkan ijin untuk melakukan serangan tersebut dari penasehat politik Mountbatten yang bernama H.F.C Walsh, belakangan Laksamana Sir Mountbatten sebagai pimpinan tertinggi armada Inggris menyesalkan keputusan Christison itu yang seharusnya tidak perlu terjadi (Mcmillan 2005: 71). Peristiwa bumi hangus atas kota Bekasi mengakibatkan Sekutu kehilangan dukungan di dunia internasional, karena seringkali dibandingkan dengan pembakaran dan pemusnahan penduduk Lidice Cekoslovakia oleh Nazi, sehingga disebut juga sebagai peristiwa Lidice kedua. Sementara di pihak rakyat Indonesia peristiwa ini semakin menumbuhkan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan (Majid & Darmiati 1999: 226).
Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Ananta Toer, Pramoedya dkk (2005) Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1 (1945). Jakarta: Gramedia.
McMillan, Richard (2005) The British Occupation of Indonesia 1945-1946. London: Routledge.
Ekadjati, Edi S. dkk (1987) Monumen Perjuangan Daerah Jawa Barat. Jakarta: DEPDIKBUD.
Kusnawan, Endra (2016) Sejarah Bekasi Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini. Depok: Herya Media Depok.
Majid, Dien & Darmiati (1999) Jakarta-Karawang-Bekasi Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min. Jakarta: Keluarga Moeffreni Moe’min
Alda, Badan Penerbit (1975) Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan. Jakarta: BPHP Korps Cacad Veteran RI