Moeffreni Moe’min

From Ensiklopedia

Moeffreni merupakan tokoh pejuang kemerdekaan, tokoh militer dan  tokoh politik asal Betawi. Ia dilahirkan di Rangkasbitung pada 12 Februari 1921 dengan nama lengkap Mohammad Moeffreni Moe’min. Ia adalah anak pertama dari pasangan Mohammad Moe’min dan Sitti Aisyah. Pendidikan formalnya ditempuh di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Jakarta. Setelah tamat, ia melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Jakarta yang diselesaikan pada 1938. Ia kemudian memasuki Algemeene Middelbare School (AMS) Jakarta pada tahun yang sama hingga 1941. Ayahnya berprofesi sebagai Residen Jakarta. Sejak kecil Moeffreni dididik dengan nilai-nilai penting yang selalu ditanamkan ayahnya, yakni sikap disiplin, tegas dan pemberani (Wahid, 2019).

Semasa bersekolah, ia ikut bergabung dengan organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia. Organisasi yang berdiri pada 1931 ini bertujuan mendidik para pemuda menjadi manusia dengan budi pekerti yang baik serta bersedia bekerja untuk rakyat dan tanah airnya dan untuk dunia (Lapian, et al., 2012: 366). Keterlibatannya dalam kepanduan tentu secara tidak langsung membentuk jiwa nasionalisme dan militernya. Selama aktif di kepanduan, ia juga tercatat pernah menjabat redaktur di majalah Pandu Jakarta (Wahid, 2019).

Masuknya tentara pendudukan Jepang menjadi batu loncatan bagi Moeffreni untuk mengasah kemampuan militernya. Sebagai utusan dari kepanduan, ia mengikuti pendidikan semi-militer di Pusat Pelatihan Pemuda (Seinen Dojo), Batu Ceper, Tangerang pada 1943. Usai menjalani pendidikan tersebut, Moeffreni lalu memantapkan kemampuan militernya dengan mengikuti pendidikan Tingkat Perwira di Boei Gyugun Kanbu Renseitai, Bogor pada tahun yang sama (Wahid, 2019). Pelatihan itu menjadi bekal penting sehingga dirinya kemudian dipercaya Kasman Singodimedjo, selaku Daidanco (Komandan Batalyon) Jakarta, menduduki jabatan Kepala Bagian Pendidikan PETA untuk Daidan 1 Jakarta. Pasca proklamasi kemerdekaan, dengan alasan demi pertahanan dan keamanan negara, pemerintah lalu membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945 yang diikuti pembentukan BKR-BKR di tiap daerah (Tambunan, Soebijono, dan Mukmin, 1991: 37). Sebagai anak asli Betawi, Moeffreni ditunjuk sebagai komandan BKR Jakarta Raya pada 1 September 1945 (Warmansjah, Sudiyo, dan Djamaluddin, 1997: 98; Dien Majid, 1999: 21).

Di masa jabatannya itulah Moeffreni berperan dalam suatu peristiwa bersejarah yang dikenal dengan rapat raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Hal ini berawal dari kondisi pasca proklamasi kemerdekaan, dimana merebut kekuasaan guna mengukuhkan kedaulatan Republik dan merebut senjata dari pihak Jepang adalah masalah yang segera mencuat ke permukaan. Dalam kondisi itu, para pemuda Jakarta yang terdiri dari berbagai kelompok berinisiatif mengerahkan massa dalam suatu rapat raksasa yang rencananya dilaksanakan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Tujuannya ialah menghendaki agar para pemimpin RI dapat berbicara di hadapan rakyat Indonesia. Meskipun awalnya informasi pelaksanaan rapat besar sebisa mungkin disebar tanpa diketahui pihak Jepang, namun kabar itu tetap bocor. Ketika hari pelaksanaan rapat tiba, massa aksi secara berbondong-bondong datang dari Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya dengan membawa bambu runcing, golok, dan tombak. Aksi rakyat ini harus berhadapan dengan pasukan Jepang yang telah mengambil posisi di lapangan sejak pagi hari. Alhasil, suasana tegang dan rawan bentrok mewarnai pelaksanaan rapat besar tersebut.

Setelah berunding dengan para menteri, Bung Karno dan Bung Hatta pada gilirannya memutuskan untuk mendatangi aksi rakyat pada sore hari. Rombongan mobil dwi tunggal tersebut sempat ditahan pihak Jepang sebelum akhirnya diperbolehkan memasuki Lapangan Ikada. Dalam kondisi itu, Moeffreni selaku koordinator kemudian dengan sigap mendampingi dwi tunggal tersebut menuju podium yang terbuat dari kayu dan bambu (Anwar, 2015: 23). Bung Karno berpidato singkat seraya menghimbau agar massa segera pulang serta percaya kepada pemerintah. Himbauan itu dipatuhi dan rakyat meninggalkan rapat secara teratur. Pada dasarnya rapat raksasa di Lapangan Ikada bukan hanya manifestasi pertama akan kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia yang baru berusia satu bulan kepada rakyatnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984). Namun berlangsungnya rapat raksasa yang dihadiri puluhan ribu peserta aksi tanpa adanya korban tersebut, juga menjadi bukti bagaimana andil dan kapasitas Moeffreni selaku sosok yang paling bertanggung jawab atas keamanan penyelenggaraan rapat.

Selain perannya dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada, Moeffreni adalah tokoh militer yang ikut berjasa mempertahankan kemerdekaan, terutama di Front Timur Jakarta (Jakarta-Karawang-Bekasi). Hal ini bermula ketika tentara sekutu dan NICA tiba di Jakarta pada September 1945 guna mengambil  alih kekuasaan dari pihak Jepang. Situasi ini segera menimbulkan perlawanan dari barisan pejuang. Karena serangan yang dilancarkan pasukan sekutu semakin membabi buta, pemerintah Indonesia mengeluarkan instruksi kepada barisan pejuang, yakni pasukan TKR dan laskar, agar meninggalkan Kota Jakarta dan masuk ke pedalaman pada 19 November 1945 (Warmansjah, Sudiyo, dan Djamaluddin, 1997).

Moeffreni, yang saat itu menjabat Komandan TKR Jakarta Raya kemudian mundur dan memindahkan markasnya ke Cikampek. Di markasnya inilah ia tetap memimpin perjuangan bersenjata, menjaga garis tapal batas dan mengkoordinir pasukan TKR. Dalam memimpin pasukan, ia terutama menerapkan taktik hit and run sehingga kerap membuat pasukan NICA kesulitan. Selain itu, ia juga berhasil mempersatukan kekuatan barisan pejuang, yang terdiri dari pasukan TKR dan pasukan laskar, di Front Timur Jakarta (Jakarta-Karawang-Bekasi) (Wahid, 2019). Hal ini terutama karena Moeffreni memiliki banyak pengikut di luar bekas tentara Peta dan juga membangun hubungan harmonis dengan para laskar saat itu (Cribb, 2009: 60). Sulitnya menembus pertahanan barisan pejuang yang dikomandoi Moeffreni pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang mendorong pihak Indonesia dan Belanda menyetujui gencatan senjata pada Oktober 1946 yang kemudian disusul dengan diadakannya Perundingan Linggarjati pada November 1946.

Pada Juli 1946, Moeffreni dipindahtugaskan ke Resimen XII Cirebon sebagai komandan. Pada saat itu, ia turut terlibat mengamankan jalannya Perundingan Linggarjati. Ketika Agresi Militer I berlangsung pada 21 Juli 1947, Moeffreni yang baru saja bertugas sebagai Direktur Latihan Perwira Divisi Siliwangi di Garut, kemudian ditugaskan oleh A.H. Nasution untuk membantu wilayah pertahanan Cirebon. Pada saat itu, Moeffreni yang berpangkat mayor ditunjuk sebagai Kepala Staf Territorium Brigade V Cirebon. Dalam menjalankan tugas inilah perjuangan Moeffreni di medan pertempuran pada akhirnya harus terhenti setelah dirinya tertangkap pihak Belanda saat sedang melakukan perjalanan dari Tasikmalaya ke Kuningan. Ia lalu ditahan di Pulau Nusakambangan selama kurang lebih tiga tahun. Setelah penyerahan kedaulatan, Moeffreni dibebaskan dan kembali aktif di dinas kemiliteran, yakni di Resimen Bogor. Ia juga sempat mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung (1951-1952) (Dien Majid, 1999; Wahid,2019).

Pada pertengahan dekade 1950, Moeffreni mulai banyak terlibat di gelanggang politik. Kondisi kesehatan menjadi pertimbangan utamanya. Itulah sebabnya ia memutuskan pensiun dini dari dinas kemiliteran pada 1958 dengan pangkat terakhirnya yaitu Letnan Kolonel. Karir politiknya bermula setidaknya sejak pemilihan umum pada 1955. Saat itu, Moeffreni terdaftar sebagai calon anggota parlemen dari Ikatan Pendoekoeng Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan terpilih mewakili wilayah Jawa Barat (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 5 Maret 1955). Selain itu, ia juga pernah tercatat menduduki jabatan lain, seperti anggota DPRD-Gotong Royong DKI Jakarta (1961-1966), Ketua Komisi Cikoang DPRD-Gotong Royong DKI Jakarta (1966-1971), Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta (1971-1977) dan anggota MPR (1977-1982). Pada usia 26 tahun, Moeffreni menikah dengan Elly Koeminingsih. Pernikahannya dengan gadis asal Sunda ini dianugerahi tujuh orang anak (Wahid, 2019). Ia wafat di usianya yang ke-75 tahun atau tepatnya pada 27 Juni 1996 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Penulis: Syafaat Rahman Musyaqqat


Referensi

Anwar, Rosihan. 2015. Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Cribb, Robert. 2009. Gangsters and revolutionaries : the Jakarta People’s Militia and the Indonesian revolution, 1945-1949. Singapore: Equinox Publishing.

Dien Majid, Darmiati. 1999. Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min. Jakarta: Keluarga Moeffreni Moe’min.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 5 Maret 1955.

Lapian, Adrian B, Dewi Juliati, Masyuri, Misbach Yusa Biran, Mona Lohanda, Nina Herlina Lubis, Restu Gunawan, Soegijanto Padmo, Suhartono, dan Taufik Abdullah. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah/ 5, Masa Pergerakan Kebangsaan. Diedit oleh Muhammad Hisyam dan I Ketut Ardhana. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, ed. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI/ Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.

Tambunan, A S S, Soebijono, dan Hidayat Mukmin. 1991. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wahid, Muhammad Hamdani. 2019. Perjuangan Tokoh Sejarah Letnan Kolonel Moh. Moeffreni Moe’mien dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945-1949 (Skripsi). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Warmansjah, G A, Sudiyo, dan Alwi Djamaluddin. 1997. Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.