Noer Ali

From Ensiklopedia
Noer Ali. Sumber: https://www.konstituante.net/en/profile/MASJUMI_noer_alie

Bersama dengan K.H. Abdurahman Sodri dan Syaikh Muhadjirin Amsar Ad-Dary, K.H. Noer Ali dikenal sebagai trio pendekar ilmu di Bekasi pada era 1960-an. Terlahir di Ujung Malang (Ujung Harapan), Bekasi pada 15 Juni 1913, Noer Ali merupakan putra keempat dari lima bersaudara pasangan H. Anwar bin Layu dan Hj. Maemunah binti Tarbin (Fadli, 2011: 152). Noer Ali mendalami ilmu-ilmu agama sejak belia. Setelah memperoleh pengetahuan keagamaan dasar dari kedua orang tua, Noer Ali belajar kepada para mualim ternama, mulai dari Guru Maksum di Kampung Bulak hingga Guru Mughni pada 1925. Kepada Guru Maksum ia belajar dasar-dasar keislaman sedangkan kepada Guru Mughni, Noer Ali mengkaji ilmu tata bahasa Arab, tauhid, dan fikih.

Belajar kepada para mualim menjadi tradisi yang konsisten dilakukan Noer Ali. Kepada mereka, selain ilmu-ilmu keislaman Noer Ali juga belajar kitab-kitab para ulama terdahulu. Memasuki usia remaja, Noer Ali belajar ilmu agama kepada K.H. Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) di Kampung Cipinang Muara, Klender, Jakarta Timur. Ketekunan dan kecerdasannya membuat Guru Marzuki kagum sehingga sejak tahun 1933 ia meminta Noer Ali menggantikannya mengajar murid junior jika berhalangan.

Tidak cukup belajar kepada para mualim di dalam negeri, Noer Ali juga menimba ilmu-ilmu agama kepada ulama di Timur Tengah. Pada 1934 Noer Ali pergi ke tanah suci untuk melanjutkan studi, selain menunaikan ibadah haji. Ia berangkat bersama dengan K.H. Hasbullah atas dukungan dana dari Wat Siang, seorang tokoh pengusaha Tionghoa. Di Mekah, Noer Ali berkesempatan memperdalam ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu hadis kepada Syekh Ali al-Maliki, ulama yang direkomendasikan oleh Guru Marzuki untuk ditemui Noer Ali. Selain itu Noer Ali juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Syekh Umar Hamdan, pengajar Kutub as-Sittah; Syekh Ahmad Fatoni, ulama asal Thailand Selatan, yang mengajar Kitab Iqna tentang ilmu fiqih; serta Syekh Muhammad Amin al-Quthbi yang mengajarkan kesusastraan, tata bahasa Arab, ilmu logika, serta tauhid. Noer Ali juga belajar ilmu politik Islam kepada Syekh Abdul Zalil, serta mendalami ilmu hadis dan ‘ulum Alquran kepada Syekh Ibn al-Arabi (Kiki dkk., 2011: 77). 

Selain menimba ilmu, Noer Ali juga terlibat di pelbagai organisasi orang-orang Jawi (Melayu), seperti Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya (Perindom), serta Persatuan Pelajar Betawi (PBB). Bergabung dengan beberapa organisasi tersebut membuat Noer Ali semakin memahami persoalan yang dihadapi bangsanya, terutama terkait dominasi kolonialisme dan pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat (khususnya muslim) Indonesia. 

Pada awal tahun 1940, setelah belajar di Mekah selama 6 tahun, Noer Ali kembali ke Tanah Air. Setibanya di Indonesia ia mendirikan Pesantren At-Taqwa di kampung halamannya, Bekasi. Pendirian pondok dengan metode belajar salafi dan cara Mekah ini terinspirasi dari pesan sang guru, Syekh Ali al-Maliki, “Kalau kamu ingin pulang, silakan pulang. Tetapi ingat, jika bekerja, jangan menjadi seorang penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat” (Kiki dkk., 2011: 78). Karena itu selain sebagai bentuk bakti Noer Ali kepada sang guru, pendirian Pesantren At-Taqwa juga dimaksudkan untuk memperkuat nilai-nilai perjuangan bangsa melawan penjajahan. Di tahun 1940 pada usia 27 tahun, Noer Ali menikah dengan Siti Rahmah, putri Guru Mughni.

Memasuki zaman pendudukan Jepang, semangat perlawanan Noer Ali terhadap penjajahan tidak pernah surut. Ketika Jepang membentuk laskar-laskar dan kesatuan Pembela Tanah Air (PETA) untuk memperoleh simpati rakyat Indonesia, Noer Ali justru berpikir bahwa momen tersebut adalah kesempatan bagi kelompok muda Indonesia untuk memperoleh ilmu militer modern, khususnya sebagai persiapan meraih kemerdekaan. Dengan alasan tersebut, banyak santrinya yang ikut dalam Laskar Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung, atau PETA yang dibentuk Jepang. Saat itu, Noer Ali tercatat menjadi Ketua Laskar Rakyat Betawi serta Komandan Hizbullah Batalyon III Bekasi sebelum akhirnya dipercaya sebagai Komandan Markas Pusat Hizbullah Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang (Kiki dkk., 2011: 79).

Sebagai komandan perang, Noer Ali dikenal sangat lihai berstrategi sehingga selalu lepas dari jeratan Belanda. Karena alasan itu ia dijuluki “Si Belut Putih”. Terlebih ketika faktanya ia mampu melancarkan serangan secara masif terhadap pos-pos Belanda di wilayah Karawang-Bekasi, hal yang membuatnya dijuluki sebagai “Singa Karawang-Bekasi.” Noer Ali sering diminta mewakili Indonesia dalam berbagai forum penting. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia.

Meskipun aktif dalam pergerakan kemerdekaan nasional, Noer Ali tetap konsisten mengembangkan dunia pendidikan. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949 dan diikuti oleh pembubaran dari berbagai laskar rakyat, Noer Ali mendirikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) pada 1950, dilanjutkan dengan mendirikan Pesantren Bahagia yang menggunakan gabungan kurikulum umum dan agama pada 1954. Para santrinya adalah murid-murid berusia 13 tahun dari SRI. Sebelumnya ia membentuk lembaga sekolah yang bekerja sama dengan Mualim Rojiun di Pekojan, Jakarta. Dalam upaya memperkuat aspek sosial pendidikan masyarakat, Noer Ali mendirikan organisasi sosial bernama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I), terdaftar secara hukum pada 1956, yang di kemudian hari menginisiasi berbagai lembaga pendidikan Islam di bawah Yayasan At-Taqwa (Fadli, 2011: 156-7).

Pada bidang politik, Noer Ali dipercaya menjadi ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) Bekasi. Karena peran besarnya, dalam pemilihan umum tahun 1955 Masyumi memperoleh suara terbanyak di Bekasi. Noer Ali juga sempat dipercaya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) daerah peralihan Kabupaten Bekasi (1956–Maret 1957). Kiprahnya di Masyumi berlanjut hingga tingkat pusat. Ia dipercaya sebagai anggota Seksi Hukum Permusyawaratan Ulama Indonesia pada 1957. Sejak 13 Mei 1957 hingga 5 Juli 1959, Noer Ali menjadi Anggota Konstituante Republik Indonesia menggantikan Sjafruddin Prawiranegara (Anwar, 2006).

Noer Ali pernah bergabung dalam Badan Kerja Sama Ulama-Militer (BKS-UM) dan menjadi anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta. Tujuannya adalah mempererat hubungan kaum ulama dan santri dengan kalangan militer yang anti-komunis. Saat terjadi Gerakan 30 September, Noer Ali aktif memerangi anggota PKI di daerah Bekasi dan sekitarnya. Ia dikenal sebagai ulama pejuang dan pejuang ulama yang aktif berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara. Meski demikian, Noer Ali hampir ditangkap pemerintah karena dianggap mendukung DI/TII. Pesantren At-Taqwa yang dipimpinnya sempat dikepung sejumlah aparat. Namun Noer Ali dapat membantah semua tuduhan tersebut dan pesantren At-Taqwa tetap aman beraktivitas. 

Di era Orde Baru, Noer Ali lebih fokus mengembangkan pendidikan agama, khususnya melalui lembaga pendidikan Islam yang ia kelola. Pada Maret 1972, Noer Ali turut serta dalam pengembangan Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Pengalaman dan wawasannya yang luas menjadikan Noer Ali diberi Amanah sebagai Ketua Umum BKSPP. Melalui Lembaga tersebut, Noer Ali semakin kokoh membela Islam, merespons berbagai isu-isu penting dengan berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam.

Pada 1980-an, misalnya, ketika muncul larangan jilbab di sekolah-sekolah. K.H. Noer Ali berdiri di barisan terdepan menentang kebijakan pelarangan jilbab. Untuk itu ia mengusung fatwa tentang busana muslimah berdasarkan wawasan keagamaan yang ia miliki. Hal serupa berlaku ketika muncul pro-kontra RUU Perkawinan pada 1973. Dalam upaya mengawal rencana legislasi tersebut Noer Ali mengerahkan tidak kurang dari seribu ulama dari Pesantren Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin untuk mengawal jalannya RUU agar tetap selaras dengan kaidah Islam. Begitu pun ketika fenomena perjudian marak terjadi, Noer Ali menentang keberadaan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang sempat dilegalkan pemerintah berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian dan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

Ia wafat pada 29 Januari 1992 di usia 78 tahun. Dengan karisma dan kecerdasan intelektual yang dimiliki, Noer Ali tampil sebagai pemimpin moral, keagamaan, sosial, dan bahkan politik yang turut menentukan kontinuitas (continuity) dan keteraturan struktur sosial masyarakat muslim Bekasi dan sekitarnya. Di tengah riuh rendah kota Bekasi yang semakin modern, Noer Ali tampil menjadi garda terdepan dalam menggerakkan perubahan dan pembangunan, berperan memelihara dan menjaga kontinuitas serta mempertahankan agama di tengah masyarakat. Dan terlihat, ia berhasil memerankan tugasnya, melewati beragam rintangan di tengah-tengah perubahan sosial dan budaya yang dinamis, dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisi Islam. Atas berbagai jasanya bagi Indonesia, Noer Ali diberi anugerah sebagai Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adipradana berdasarkan SK Presiden: Keppres No. 085/TK/2006, tertanggal 3 November 2006.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Anwar, Ali, KH Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang. Bekasi: Yayasan At-Taqwa, 2006

Fadli, Ahmad. 2011.Ulama Betawi: Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press.

Zailani Kiki, Rakhmat, dkk. Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad 19 sampai Abad 21, Jakarta: JIC, 2011.