Ismail Marzuki
Ismail Marzuki merupakan komponis yang mempunyai peran penting dalam perkembangan seni musik Indonesia. Lagu-lagu ciptaannya sepanjang era 1930-an hingga 1950-an dinilai memiliki karakter kuat perpaduan romantisme dan nasionalisme.
Ismail Marzuki terlahir pada 11 Mei 1914 di Kampung Kwitang Jakarta Pusat, dari keturunan keluarga menengah. Ayahnya bernama Marzuki Saeran, juru tulis di perusahaan Eskomto yang kemudian berpindah ke pekerjaan lain sebagai kasir di bengkel mobil. Saeran dikenal dekat dunia kesenian khususnya musik keroncong, cokek, dan gambus dan aktif dalam kelompok rebana di kampung Kwitang Lebak. Memiliki beberapa koleksi alat musik seperti Gramofon dan piringan hitam, darah seni ini yang kelak menurun pada diri Ismail Marzuki. Sementara sang ibu yang tidak pernah disebut dalam literatur meninggal 3 bulan setelah Ismail dilahirkan.
Ismail Marzuki menempuh pendidikan di Madrasah Unwanul Falah Kwitang Jakarta kemudian melanjutkan ke sekolah Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sejak duduk di bangku sekolah MULO sesungguhnya Ismail sudah menunjukkan minat dan bakat di bidang musik, bahkan sudah belajar memainkan gitar, ukulele serta mempelajari instrument pengusung melodi seperti biola, akordeon, saksofon juga piano (Leksono. 2014: 30). Berangkat dari lingkungan keluarga berdarah seni, sejak kecil Ismail sudah akrab dengan berbagai jenis musik terutama yang menjadi koleksi ayahnya. Ismail lulus dengan membanggakan karena kecakapannya dalam menguasai bahasa Belanda dan bahasa Inggris, penguasaan kedua bahasa tersebut yang mempengaruhi ciptaan lagu pertama berjudul “Sarinah” yang diciptakan pada tahun 1931.
Ismail pernah bekerja di perusahaan Knies di Noordwijk (KK), perusahaan yang menjual alat musik merek Colombia di daerah yang sekarang bernama Juanda, sebagai tenaga verkoper atau sales and marketing. Pekerjaan sebagai verkoper ini yang kemudian berperan dalam pembentukan karir Ismail sebagai penyanyi, pemain musik dan penggubah lagu. (Leksono, 2014: 32). Pada tahun 1936, Ismail bergabung pada orkes musik yang sangat terkenal pada zamannya, Lief Java, yaitu sebagai pemain gitar, saksofon dan harmonium pompa. Sejak bergabung dengan orkes Lief Java bakat Ismail terus menonjol dan mulai aktif membuat aransemen lagu barat, keroncong, dan langgam Melayu. Ismail merupakan komponis pertama yang memperkenalkan akordeon dalam langgam Melayu. Saat tergabung dalam Lief Java, Ismail mendapat tawaran dari sutradara Film Terang Bulan (1937), menyuarakan suara Rd. Mohtar, karena sebagai penyanyi suara Ismail dinilai sangat bagus. Di luar dugaan film Terang Bulan sukses dan Lief Java mendapat undangan tampil di beberapa negara termasuk Singapura dan Malaysia. Bakat Ismail sebagai pencipta lagu semakin terlihat ketika ia bergabung pada perusahaan radio Belanda NIR 1934. Namun karena terjadi ketidakcocokan Ismail dan beberapa temannya mengundurkan diri dari perusahaan pada tahun 1937.
Sepanjang tahun 1930-an dan 1950-an, Ismail sudah menciptakan banyak lagu. Menurut Firdaus Burhan, karya Ismail dibagi dalam dua yaitu lagu ciptaan penuh Ismail sebanyak 118 lagu dan lirik lagu yang ditulis Ismail namun diciptakan orang lain sebanyak 11 lagu (Leksono, 2014: 173). Lagu-lagu ciptaan Ismail memiliki tema dan melodi yang sangat baik dan cepat dicerna masyarakat. Selain itu beberapa ciptaannya juga menggambarkan gerak sejarah perjuangan bangsa Indonesia khususnya pada masa perjuangan.
Dari sekian banyak lagu ciptaan Ismail, kita mengenal beberapa lagu yang sangat populer antara lain lagu “Rayuan Pulau Kelapa” (1944) merupakan lagu wajib yang diputar sebagai penutup pada stasiun televisi TVRI pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa kemerdekaan Ismail Marzuki banyak menciptakan lagu-lagu yang fenomenal sekaligus monumental, misalnya lagu “Gugur Bunga di Taman Bakti” (1945), lirik dan gubahannya menggetarkan sanubari dan selalu dinyanyikan pada saat upacara Kemerdekaan Republik Indonesia maupun melepas para pahlawan yang gugur. Lagu “Sepasang Mata Bola”, (1946) menggambarkan situasi politik di tanah air yang menyiratkan spirit nasionalisme berbalutkan romantisme. Lagu ini diciptakan tahun setelah Ismail menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Solo menggunakan kereta api, pada masa revolusi fisik dimana situasi politik awal kemerdekaan masih belum stabil dan pusat pemerintahan sementara berpindah ke Yogyakarta.
Karya-karya Ismail memiliki kekuatan syair yang kuat, melodi yang indah, spirit nasionalisme sekaligus romantisme, dan memiliki keabadian yang tinggi. Menurut Jaya Suprana, Ismail Marzuki merupakan penggubah lagu bagi Indonesia, dimana keindahan mahakarya terletak pada gerak melodi bebas merdeka yang bertumpu pada harmoni yang justru melanggar kaidah-kaidah akademis sehingga menghadirkan keindahan tiada tara. Sementara syair-syairnya merupakan mahakarya karena berisi ketulusan, kesederhanaan yang mengungkapkan keanggunan yang menggetarkan sukma (Leksono, 2014: 152). Selain sebagai penyanyi dan pencipta lagu, Ismail juga pernah mendirikan “Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran” (PPRK), dan setelah kemerdekaan membentuk grup musik “Empat Sekawan”.
Sebagai bentuk penghargaan atas perannya dalam memajukan bidang kesenian namanya diabadikan pada nama Pusat Kesenian Jakarta, pada tahun 1968, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM). Menurut Ajip Rosidi pemilihan nama Ismail Marzuki tersebut berdasarkan rapat pleno Dewan Kesenian Jakarta yang terdiri dari kalangan budayawan, seniman, dan cendekiawan (Rosidi, 2008: 416). Beberapa penghargaan yang pernah diterima Ismail Marzuki antara lain, Piagam Widjayakusuma oleh Presiden Republik Indonesia, Piagam Tanda Kehormatan Satyalantjana Kebudayaan 1964, Piagam Penghargaan Pemerintah Daerah Chusus Ibukota Djakarta 1967, Piagam Penghargaan dalam rangka peringatan “Bandung Lautan Api” dari Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung, tahun 1972. Ismail Marzuki mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2004.
Ismail menghembuskan nafas terakhir siang hari, tanggal 25 Mei 1958, setelah sebelumnya menderita sakit pernafasan selama hampir 10 tahun. Kebiasaan Ismail begadang dan merokok, sebagai pemicu sakitnya, dan sering batuk-batuk hingga mengeluarkan lendir bercampur darah. Pertengahan tahun 1956 kondisi Ismail semakin lemah dan kurus dan sering mengurung diri di rumah. Sebelum sakit, Ismail sempat membeli saksofon milik temannya yang menderita sakit pernafasan hingga meninggal. Saksofon tersebut sempat digunakan Ismail, meski sudah dibersihkan sebelumnya. Mendengar temannya pemilik saksofon meninggal, Ismail membakar alat musik tersebut. Ismail Marzuki meninggal dalam pelukan istri dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta.
Penulis: Citra Smara Dewi
Referensi
Leksono, Ninok (2014). Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Rosidi, Ajip (2008) Hidup Tanpa Ijasah Yang Terekam Dalam Kenangan, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Surat Kabar Merdeka (1984). Maing Putera Marzuki Pemain Rebana. Jakarta, 25 Mei 1984.