Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok terjadi di Garnisun PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak sebelah utara Karawang, akibat perbedaan pandangan antara golongan tua dan muda dalam menyatakan kemerdekaan. Setelah berita kekalahan Jepang sampai ke Indonesia melalui siaran radio pada tanggal 15 Agustus 1945, terjadi perdebatan antara golongan nasionalis tua dengan nasionalis muda tentang strategi yang tepat untuk menghadapi situasi baru ini (Cribb 2010: 63). Pemimpin nasionalis golongan tua seperti Sukarno memilih bersikap hati-hati. Menurutnya tindakan tergesa-gesa dapat memancing kemarahan Jepang dan Sekutu yang akan berdampak pada hancurnya gerakan nasionalis.
Berbeda halnya dengan pandangan golongan nasionalis muda yang menyakini perlunya segera menyatakan kemerdekaan. Menurut golongan muda, sikap tegas semacam ini tidak hanya penting bagi harga diri bangsa Indonesia, tapi juga akan menarik kaum nasionalis untuk memberikan dukungan luas. Dengan demikian, baik Jepang maupun Sekutu tidak akan punya keberanian untuk melawan mereka (Cribb 2010: 63). Oleh karena itu, tidak lama setelah mendengar berita kekalahan Jepang, golongan muda langsung melakukan rapat di ruangan Laboratorium Bakteriologi, Pengangsaan timur. Rapat ini dipimpin Chaerul Saleh dan dihadiri oleh Darwis, Johar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit, Sunyoto dan Eri Sudewo. Di dalam rapat diputuskan bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan oleh bangsa Indonesia, lepas dari campur bangsa asing. Wikana dan Darwin ditugaskan untuk menyampaikan putusan itu kepada Sukarno dan Mohammad Hatta. (Pranoto 2000: 60-61)
Delegasi Wikana segera menemui Sukarno di Pengangsaan Timur 56. Pada waktu itu suasana memanas, karena Wikana mendesak dengan keras supaya Sukarno sendiri segera mengumumkan kemerdekaan. Permintaan ini ditolak oleh Sukarno dan meminta para pemuda bersabar, karena ia tidak bisa memproklamasikan kemerdekaan tanpa bermusyawarah dengan PPKI. Wikana menyatakan apabila Sukarno tidak memproklamasikan kemerdekaan, maka pada tanggal 16 Agustus 1945 akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah (Anderson 2018: 79)
Para pemuda beranggapan jika penetapan kemerdekaan dilakukan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) maka dikhawatirkan akan adanya anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buatan Jepang. Bagi golongan tua seperti Sukarno dan Hatta, PPKI merupakan simbol persatuan bangsa Indonesia. Meskipun anggota PPKI diangkat oleh Jepang, suara mereka dianggap penting untuk menyatakan Indonesia Merdeka. Mereka menjadi simbol dan representasi persatuan seluruh Indonesia yang akan menjadi modal penting dalam Revolusi Nasional. Perasaan ini jauh lebih penting daripada pertimbangan yuridis yang menyatakan apakah badan itu diangkat oleh Jepang atau bukan (Suganda 2013: 40). PPKI berencana melakukan sidang pada 16 Agustus 1945 pukul 10.00, setelah itu Sukarno dan Mohammad Hatta akan mengusulkan perihal proklamasi kemerdekaan Indonesia (Hatta 1982: 443).
Setelah gagal meyakinkan Sukarno dan Mohammad Hatta, para pemuda menyusun rencana baru. Mereka mengadakan pertemuan di Jalan Cikini 71 yang dipimpin Chaerul Saleh. Para nasionalis muda sepakat membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan kemerdekaan. Rengasdengklok dipilih karena letaknya terpencil, sehingga gerakan tentara Jepang yang menuju daerah tersebut, baik dari arah Jakarta, Bandung atau Jawa Tengah dapat diawasi dengan mudah. Selain itu, para pemuda memiliki hubungan yang baik dengan para anggota PETA Rengasdengklok di antaranya Subeno dan Umar Bahsan serta Suyono Hadipranoto. Para pemuda yang terlibat dalam peristiwa penculikan ini adalah Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Muwardi, Yusuf Kunto, Singgih dan Sucipto. Saat Sukarni, Singgih, Muwardi dan Jusuf Kunto menjalankan penculikan, Chaerul Saleh dan Wikana bertugas mengingatkan pemuda di ibukota untuk melakukan kekacauan dan pemberontakan jika terjadi situasi yang tidak diinginkan (Anderson 2018 : 81).
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Sukarno dan Mohammad Hatta dibawa ke Rengasdengklok. Ikut bersama mereka istri Sukarno, Fatmawati dan putranya yang masih bayi. Para pemuda menyampaikan ke Sukarno dan Mohammad Hatta bahwa alasan kepergian ke Rengasdengklok untuk menyelamatkannya dari pihak Jepang. Mereka khawatir jika Jepang akan menangkap dan membunuh Sukarno dan Mohammad Hatta. Jika mereka tetap tinggal di Jakarta, maka dikhawatirkan Jepang akan menangkap dan membunuh mereka. Selain itu, para pemuda juga takut jika Sukarno dan Mohammad Hatta digunakan Jepang untuk menumpas kelompok-kelompok pemuda. (Anderson 2018: 82)
Saat tiba di Rengasdengklok, Sukarno beserta rombongan singgah sebentar di Tangsi Asrama PETA (Chudan). Sebagian waktunya selama sehari penuh dihabiskan istirahat di rumah Djiauw Kie Siong, seorang petani Cina yang sudah lama menetap di Rengasdengklok. Rumah ini dijadikan tempat istirahat dan agak jauh dari rumah penduduk lainnya. Pekarangan luas dan terlindung oleh pohon-pohon besar (Suganda 2013:72).
Penahanan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok didengar oleh Ahmad Soebardjo dari Yusuf Kunto yang ditugaskan untuk menjemputnya. Ahmad Subardjo beserta sekretaris pribadinya segera menuju ke Rengasdengklok dan dipertemukan oleh Sukarni dengan Subeno, Chudancho Rengasdengklok. Subarjo menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk menjemput Sukarno dan Hatta serta menyampaikan berita bahwa Jepang sudah menyerah. Selanjutnya Soebardjo dan Soebeno membahas tentang waktu dan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Subeno mendesak agar kemerdekaan segera disampaikan sebelum tengah malam tanggal 16 Agustus 1945. Subarjo tidak menyetujuinya karena waktu sudah malam dan ia harus kembali ke Jakarta. Subarjo juga bermaksud memanggil anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk sidang kilat. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Subarjo mampu meyakinkan para pemuda bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan dilaksanakan paling lambat menjelang tengah hari tanggal 17 Agustus 1945 (Suganda 2013 : 79)
Setelah melakukan pembicaraan dengan Subeno, Soebardjo membawa Sukarno dan Muhammad Hatta kembali ke Jakarta pada malam tanggal 16 Agustus 1945. Sesampainya di Jakarta, rombongan langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Myakodoori 1 Jakarta. Pada masa kolonial Belanda, jalan ini dinamakan Oranye Boulevard dan setelah kemerdekaan diganti menjadi Jalan Imam Bonjol. (Suganda 2013: 83). Sebelum berangkat ke Rengasdengklok, Subarjo telah meninggalkan instruksi kepada para anggota PPKI agar berkumpul di rumah Maeda dan menunggu kembalinya pemimpin-pemimpin yang diculik itu. Sebagian besar anggota PPKI sebenarnya telah bertemu pagi itu pada pukul 10.00 untuk pembukaan rapat darurat. Ketika Sukarno, Mohammad Hatta, dan Subarjo tidak kunjung muncul, kelompok itu pun bubar dan kembali masing-masing di rumah atau hotelnya untuk menunggu perkembangan selanjutnya. Akhirnya, setelah kabar tentang misi Subarjo beredar, mereka mulai berkumpul kembali di rumah Maeda, dalam keraguan dan kebingungan besar mengenai apa yang sebenarnya terjadi (Anderson 2018: 85)
Peristiwa Rengasdengklok memperlihatkan peran golongan muda dan tua dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia. Semangat para pemuda untuk mempercepat proses Kemerdekaan tanpa konstitusi telah direaliasikan oleh golongan tua. Peristiwa Rengasdengklok memberi arti penting bagi bangsa Indonesia karena mempercepat proses terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Suganda, Her (2013). Peristiwa Rengasdengklok. Bandung : Kiblat Buku Utama,
Pranoto, Suhartono (2000). Revolusi Agustus : Nasionalisme Terpasung dan Diplomasi Internasional. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Anderson, Benedict (2018). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.
Hatta, Mohammad ( 1982). Mohammad Hatta: Memoir. Jakarta: Tintamas Indonesia.
Cribb, Robert (2010). Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Jakarta : Masup Jakarta.