Pieter Frederich Dahler

From Ensiklopedia
Pieter Frederich Dahler. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.0074


Pieter Frederich Dahler, dikenal sebagai P.F. Dahler, atau Frits Dahler, adalah anggota BPUPKI dan tokoh Indo-Eropa yang berupaya mengintegrasikan keturunan Indo dengan masyarakat bumiputra. Ia lahir di Semarang pada 21 Februari 1883 dari ayah seorang Belanda, dan ibu seorang Indo-Eurasia. Ia dikenal sebagai politisi berdarah Eurasia. Bersama E.F.E Douwes Dekker, keduanya adalah politisi yang berusaha menjalin Kerjasama antara kelompok komunitas Indo-Eropa dengan masyarakat Pribumi Hindia Belanda atau Indonesia. Beliau pernah menjadi anggota Volksraad, BPUPKI dan berperan besar dalam perumusan dan pengajaran bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, hingga ditunjuk sebagai kepala Balai Bahasa yang pertama.

Sejauh ini tidak ditemukan sumber latar belakang keluarga Dahler, juga mengenai kisah masa kecil dan pendidikannya. P.F. Dahler  mengawali karier sebagai pejabat di kantor pemerintah kolonial Belanda. P.F. Dahler menjalani profesi sebagai pegawai negeri sipil bagi pemerintahan Hindia Belanda antara 1903-1917. Ketika Balai Poestaka mendirikan Divisi Penerjemahan tahun 1919 untuk keperluan penerjemahan karya tulis kedalam bahasa Melayu, Dahler dipilih untuk mengepalai bagian tersebut. Dahler masih tercatat sebagai pegawai di Balai Pustaka hingga tahun 1935.

P.F. Dahler mulai memasuki dunia pergerakan nasional ketika beliau berkenalan dengan aktivis pergerakan nasional  E.F.E. Douwes Dekker pada tahun 1918, yang dikenal juga dengan nama Danudirja Setiabudhi yang merupakan salah satu tokoh pendiri Indische Partij. Kedua tokoh ini kemudian menjadi teman seperjuangan dalam membangun nasionalisme kaum Indo-Eropa terhadap tanah kelahirannya di Hindia Belanda. Mengikuti jejak Douwes Dekker, P.F. Dahler bergabung dengan Insulinde, yakni organisasi lanjutan dari Indische Partij.

Pada tanggal 7-9 Juni 1919 Douwes Dekker menggelar Kongres Kaum Hindia di Semarang. Pada Kongres itu Douwes Dekker  mengungkapkan seruan “revolusi spiritual” dan membentuk front persatuan dengan basis “cita-cita dan ideologi nasional”. Sebagai kendaraan dari cita-cita dan ideologi ini, dibentuklah National Indische Partij – Sarikat Hindia (NIP-SH), yang masih berhaluan keras seperti Indische Partij. Tercatat tahun 1922 Dahler menjadi wakil dari NIP-SH di Volksraad hingga NIP-SH bubar tahun 1923.

Di Volksraad, Dahler berkenalan dengan politisi asal Minahasa, Sam Ratulangie. Sambil menjadi editor di Bintang Timoer, bersama  M. Amir dan Ratulangie, Dahler bersepakat membentuk majalah mingguan “Penindjauan” di Batavia. Mingguan ini kemudian mengambil filosofi sebagai “peninjau” kebijakan-kebijakan kolonial Pemerintah Hindia-Belanda. Tulisan-tulisan kritis bernada keras yang ditujukan pada pemerintah satu persatu mulai diterbitkan di mingguan Penindjauan. Mingguan ini kemudian diperkuat oleh penulis-penulis muda yang kemudian hari akan menjadi tokoh dalam dunia penulisan Indonesia, seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan Achdiat K. Mihardja.

Dahler juga disebut pernah mengajar di Ksatriaan Instituut, dan Pergoeroean Rakjat. Pada Oktober 1941 Dahler bekerja di Regeering Publiciteitsdienst (Dinas Penyiaran Pemerintah) di bagian penerangan penyiaran bahasa  pribumi dan Melayu-China, serta biro penterjemahan dan penyusunan rekaman pers pribumi dan Melayu China.

Saat Jepang masuk ke Indonesia, mereka menerapkan kebijakan yang tegas untuk menginternir orang Eropa ke kamp interniran sipil  dan memilih berusaha menjalin kerjasama dengan masyarakat pribumi. Dibalik itu Jepang juga menerapkan standar ganda untuk kaum Indo. Banyak diantara kaum Indo yang turut dimasukkan kedalam kamp interniran, namun disisi lain juga Jepang menginginkan kaum Indo untuk bersama pribumi menyukseskan propaganda Jepang. Jepang berusaha merangkul kaum Indo dengan menganggap mereka sebagai pribumi, dan dengan sendirinya harus menjadi bagian dari Asia Raya yang dipropagandakan Jepang. Dahler pun dipilih untuk menjadi salah satu juru bicara kaum Indo bersama A.Th. Bogaart. Pada Agustus 1943 Jepang mendirikan “Kantor Oeroesan Peranakan” sebagai pusat usaha pengintegrasian kaum Indo untuk bersama kaum pribumi membentuk Asia Timoer Raya.

P.F. Dahler, dianggap tokoh golongan Indo yang pro-Indonesia, bertugas sebagai penghubung antara kaum Indo dengan pemerintah Jepang. Tugas yang sulit, mengingat masih banyak kaum Indo yang lebih merasa terkait dengan kaum Eropa totok di lapisan atas masyarakat, dibandingkan dengan kaum pribumi. Salah satu cara Jepang membujuk kaum Indo adalah dengan menyuruh mereka memilih, mengidentikkan diri dengan kaum pribumi dan bekerjasama dengan Jepang, atau tetap menjadi tahanan kamp interniran.

Pada saat Jepang membentuk Badan Penyelidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), nama Dahler masuk menjadi salah satu anggota. Ia hadir dalam kedua rapat BPUPKI (29 Mei–1 Juni dan 10 Juni–17 Juli 1945). Dalam rapat 10 Juni 1945, Dahler terlibat aktif dalam beberapa isu, diantara yang paling penting adalah  isu mengenai siapa-siapa saja warga negara Indonesia kelak. Dahler, yang hadir sebagai perwakilan warga peranakan, bersama A.R. Baswedan (mewakili warga keturunan Timur Tengah) dan Liem Koen Hian (mewakili warga keturunan China).

Setelah proklamasi Dahler makin gencar mengusahakan asimilasi kaum Indo ke dalam Republik Indonesia. Dahler pun bergabung dengan Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Sukarno. Namun kondisi keamanan dan euforia revolusi berdampak besar (dan negatif) bagi perjuangan Dahler. Dalam masa yang sering disebut masa “Bersiap” ini (1945-1949) telah terjadi banyak kasus kekerasan berdarah terhadap kaum Indo yang dilakukan oleh para revolusioner republik dari kaum pribumi. Pembunuhan dan seringkali penyiksaan acak kepada kaum Indo Eurasia terjadi dalam skala besar di beberapa tempat.  

Kekacauan dan kekejaman yang terjadi tersebut menambah sulit upaya asimilasi yang berpuluh-puluh tahun telah diperjuangkan Dahler. Gelombang repatriasi (migrasi kaum Indo yang tak pernah menginjak Belanda sebelumnya, ke Belanda) yang terjadi menyusul kejadian-kejadian tersebut, akhirnya membuat Dahler tidak akan pernah melihat cita-cita asimilasinya tercapai.

Pada 12 April 1946 Dahler ditangkap oleh pasukan Belanda, karena dianggap pernah bekerjasama dengan Jepang. Ia ditahan berpindah-pindah mulai dari Penjara Glodok, Gang Tengah, dan Pulau Onrust. Pada 15 April 1947, karena dianggap hanya berkolaborasi secara moral dengan Jepang, dan tidak ada kejahatan yang dilakukan terhadap warga Belanda di masa Jepang,  Dahler diberi amnesti dan dibebaskan.

Setelah kemerdekaan, pemerintah memandang perlu untuk mendirikan sebuah lembaga yang bertugas menangani masalah bahasa persatuan. Pada Juni 1947 pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Pekerja Bahasa Indonesia, yang diketuai K.R.T. Amin Singgih (kelak menjadi penulis beberapa buku penting dalam studi Bahasa Indonesia). Tim Panitia Pekerja Bahasa Indonesia pada Februari 1948 membentuk sebuah lembaga yang berkewajiban mempelajari bahasa persatuan Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkenaan dengan bahasa-bahasa tersebut, Lembaga tersebut diberi nama “Balai Bahasa”. Dahler dipilih sebagai pemimpin Balai Bahasa, karena pengetahuan dan pengalamannya yang luas akan literatur dalam bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia, juga kemampuan multilingualnya. Kantor pertama Balai Bahasa  terletak di gedung Sekolah Guru Puteri, Jalan Jati 2, Yogyakarta.

Namun pada April 1948 Dahler mendadak jatuh sakit. Berita yang dirilis Antara tanggal 7 Juni 1948 menyebutkan Dahler sudah dua bulan berada di Rumah Sakit Pusat Yogyakarta karena terkena infeksi. Pukul sembilan malam tanggal 7 Juni itu Dahler akhirnya meninggal dunia di usianya yang ke 67.

Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Pramudya Ananta, dkk. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Kepustakaan Populer Gramedia.

Touwen-Bouwsma, E. 1996.  Japanese minority policy; The Eurasians on Java and the dilemma of ethnic loyalty. 152, no.4. (Publisher: KITLV, Leiden).