Polemik Kebudayaan

From Ensiklopedia

Polemik kebudayaan merupakan satu peristiwa perdebatan di antara penulis Indonesia tentang identitas kebudayaan dan pendidikan nasional pada periode akhir kolonial. Tulisan-tulisan tentang polemik kebudayaan ini kemudian dikumpulkan dan diterbitkan pada 1948 dalam buku berjudul yang sama oleh Achdiat K. Mihardja.

Bagian pertama polemik kebudayaan berawal dari perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994), Sanusi Pane (1905-1968), R. Sutomo (1888-1938), yang diikuti antara lain Purbatjaraka (1884-1964) dan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959). Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang penulis ternama dari kelompok Pujangga Baru, dan Sanusi Pane adalah editor Pandji Pustaka.

Dalam artikelnya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, terbit dalam majalah budaya Pudjangga Baru edisi bulan Agustus 1935, Sutan Takdir membedakan dua periode kebudayaan: pra-Indonesia sebelum abad ke-19 dan kebudayaan Indonesia pada periode abad ke-20. Dia menekankan agar kebudayaan Indonesia di abad ke-20 harus sama sekali baru dari kebudayaan pra-Indonesia sebelumnya. Baginya, kebudayaan Indonesia tidak bisa berasal dari kebudayaan pra-Indonesia atau tradisi. Sutan Takdir menulis:

Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya tidak bisa tidak akan melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia (Alisjahbana 1935:15).

Sutan Takdir memberi contoh tokoh-tokoh pra-Indonesia seperti Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan Teuku Umar belum berjuang untuk Indonesia. Secara ringkas Sutan Takdir menganggap Diponegoro berjuang untuk Tanah Jawa, Tuanku Imam Bonjol berjuang untuk Minangkabau, dan Teuku Umar berjuang untuk Aceh (Alisjahbana 1935: 3). Tambahan lagi baginya kata Indonesia saat itu telah begitu luas dan kabur. Sutan Takdir berpendapat untuk mewujudkan kebudayaan Indonesia yang baru harus bebas dari kebudayaan zaman pra-Indonesia (Alisjahbana 1935: 4). Secara tegas Sutan Takdir menyimpulkan kebudayaan Indonesia yang baru harus merujuk pada kebudayaan Barat yang dinamis (Alisjahbana 1935: 14).

Tulisan Sutan Takdir  ini ditanggapi oleh Sanusi Pane pada bulan September 1935. Sanusi Pane dengan tegas menolak visi sejarah Sutan Takdir dan menentang pemisahan budaya Indonesia dengan masa lalunya. Bagi Sanusi Pane, masa depan tergantung dari masa lalu. Karakteristik budaya tradisional Indonesia sudah ada lebih dulu. Bagi Sanusi Pane, di jaman Majapahit, Diponogoro dan Teuku Umar, keindonesiaan sudah ada dalam adat dan seni. Hanya kesadaran kebangsaan Indonesia belum muncul. Karena itu, bagi Pane, pertanyaannya bagaimana harus memperbarui kebudayaan kita dengan perasaan kebangsaan sekarang? (Pane 1935: 18).  

Lebih lanjut Sanusi Pane juga menentang pemujaan pada budaya Barat, yang di dalamnya terkandung materialisme, individualisme dan intelektualisme. Baginya budaya Barat menganggungkan dunia material daripada budaya rohani dan alam (Jones  2005: 67-68). Sementara dunia Timur lebih mementingkan rohani. Sanusi Pane menyimpulkan agar bangsa Indonesia menyatukan Barat dan Timur (Pane 1935: 24). Polemik kebudayaan ini ditanggapi oleh Purbatjaraka yang secara ringkas menyebutkan perlunya mempelajari jalannya sejarah bangsa untuk kemudian memilih hal yang baik bagi bangsa dan tanah air.

Polemik kebudayaan selanjutnya terkait dengan konsep pendidikan nasional antara Sutan Takdir Alisjahbana dan R. Sutomo. Dalam kongres pertama Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo pada 8-10 Juni 1935, Sutan Takdir menekankan pentingnya intelektualisme dalam pendidikan di Indonesia. Pandangan Sutan Takdir mendapat tanggapan dari Soetomo, pendiri Boedi Oetomo. Soetomo mengatakan perguruan nasional jangan hanya mementingkan kecerdasan otak saja, tapi juga perlu mengasah perasaan, budi dan semua kemampuannya. Alisjahbana kemudian menanggapi bahwa pendidikan nasional harus memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia dengan mengejar ketertinggalannya dari Barat.

Polemik ini kemudian ditanggapi oleh Djamaluddin Adinegoro (1904-1967), seorang jurnalis terkemuka saat itu, bahwa Sutan Takdir Alisjahbana mengulas tentang peradaban Barat sementara penulis lainnya membahas tentang budaya Timur yang sesungguhnya bisa saling berdampingan. Tanggapan senada juga dituliskan oleh Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan :

Sungguhpun kita tidak dapat mengamini semua sikap Sutan Takdir Alisjahbana dan sering kita sependapat dengan Dr. Sutomo, yang menjunjung adat kebangsaan yang patut diluhurkan (Tuan Sutan Takdir Alisjahbana tidak suka menoleh ke belakang, ke alam “Pra-Indonesia”), tetapi patut sekali kita perhatikan adanya aliran “Indonesia-Futura” (Indonesia kelaknya; maaf kemerdekaan kami ini), agar kita tidak terikat di dalam alam individu kita, meskipun alam kita itu kita namakan alam “Indonesia-Realita” (Indonesia Nyata) (Dewantara 1998: 173).

Sebagai penutup tulisannya, Ki Hajar Dewantara menyerahkan jawaban atas polemik ini pada generasi masa depan. Menurutnya: “…keturunan kita niscaya akan berterima kasih dan akan bisa menghargai pihak kita, asalkan mereka tahu bahwa pertentangan yang sudah berakhir itu, berlangsung dengan kejujuran dan ketulusan” (Dewantara 1998: 173).

Pada kesempatan lain Sutan Takdir kembali menegaskan pandangannya tentang pendidikan dan kebudayaan untuk mendidik manusia baru Indonesia sebagai berikut :

Seperti telah nyata dari awal karangan ini, maka jawaban saya kepada pertanyaan ini: cara bekerjanya tidak lain adalah mendidik manusia baru, mendidik jiwa baru, suatu cabang dari kebudayaan internasional sekarang dan yang memakai tiang-tiang agung rasionalisme, individualism, dan positivisme, atau dengan pendek: pemikiran modern sebagai lawan pemikiran primitif (kalau tidak ada halangan kelak saya akan khusus membicarakan soal pemikiran primitif dan pemikiran modern ini bagi masyarakat kita)” (Sutan Takdir 1998: 194).

Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Alisjahbana, Sutan Takdir (1935) “Menoejoe Masjarakat dan Keboedajaan Baroe, Indonesia-Prae-Indonesia”, Pujangga Baru, Agustus 1935.

___ (1998). “Pekerjaan Pembangunan Bangsa sebagai Pekerjaan Pendidikan”, dalam Achdiat K. Mihardja (editor) (1998) Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Jones, Tod (2005) “Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture, Institutions, Government” Thesis, Curtin University.

Mihardja, Achdiat K. (editor) (1998) Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Pane, Sanusi (1935) “Persatoean Indonesia” Suara Umum, 4 September.

R. Sutomo (1998) “Kongres Pendidikan Nasional – Menyambut Pandangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana”, dalam Achdiat K. Mihardja (editor) Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.