Rivai Apin

From Ensiklopedia
Rivai Apin. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P01-571

Rivai Apin adalah sastrawan terkemuka Indonesia pada masa awal pembentukan negara Republik Indonesia. Ia lahir di kota hujan Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 30 Agustus 1927. Ia hanya bersekolah sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Datang ke Jakarta pada awal masa remajanya, dia sempat tercatat pernah mendaftar sekolah hukum di Universitas Indonesia, tetapi tidak tamat (Teeuw, 1971: 350). Di kota itu, ia pernah bekerja sebagai asisten polisi dan pedagang pasar gelap (Raffel, 1968: 71). Tetapi ia kemudian lebih memilih jalan hidup sebagai penyair.

Ia salah satu dari tiga penyair yang bertanggung jawab atas perubahan arah puisi Indonesia di tahun 1940-an, dari romantisme tiruan menuju modernisme ironi yang kompleks dan sadar diri (Aveling, 1971: 350). Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, ia biasanya dianggap sebagai "trio-pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45" (Rosidi, 2018: 109). Bersama dua kawan sedaerahnya itu, ia menerbitkan buku sajak pertamanya bertajuk Tiga Menguak Takdir (Teeuw, 1980: 204). Ketiganya jadi corong perlawanan atas tradisi puisi lama, pelopor puisi bebas yang merayakan individualisme ala eksistensialisme yang bebas-merdeka, energik, penuh vitalitas, dan berkobar semangat, sekali pun masih tampak menampilkan kemurungan dan kesendirian manusia modern. Kehadiran mereka, kata Jassin (1985: 101) "memulai revolusi menghabiskan sisa-sisa yang lama" dari kesusastraan Indonesia.

Sejak masih duduk di sekolah menengah sajak-sajaknya telah terbit pada majalah terkemuka, ia pun pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema Suasana, Gelanggang, Zenith, dan lain-lain (Rosidi, 2018: 112). Rivai kurang aktif menulis pada tahun 1947, tetapi pada tahun 1948 seninya mulai dewasa dan berkembang serta ia menulis syair yang lebih panjang dan objektif. Hal ini menjadi jelas dalam puisi luar biasa bagus yang ditulisnya pada tahun 1949 (Aveling, 1971: 351), "Melalui Siang Menembus Malam",  puisi yang berisi aspirasi dan harapannya terhadap Republik dalam mitosnya tidak menggambarkan dirinya sendiri dalam situasi yang konkret.

Kata Aveling (1971: 371), sajak-sajak Rivai lebih dari sekadar menarik. Tidak semuanya baik, beberapa di antaranya sangat buruk, bahkan, menurut kriteria apa pun. Namun, dalam syair nasionalis dan pribadi awal tahun 1949, Rivai memberikan ekspresi yang brilian untuk "dunia kematian yang lain". Dengan demikian, dan bukan dalam bentuknya yang kecil atau besar, itu ialah nilai kebesaran sebagai penyair.

Persajakan Rivai mempunyai sebuah jalinan mitos yang dari sana ia dapat mengiring tafsiran pembaca ke arah peristiwa-peristiwa sejarah dan pribadi yang terjadi di sekelilingnya (Aveling, 2002: 75). Selain itu, karya Rivai mengungkapkan rasa sosial yang kuat dalam bahasa yang kuat dan kompleks; beberapa puisinya dinilai sebagai puisi-puisi "paling intelektual yang pernah ditulis oleh orang Indonesia" (Raffel, 1968: 71).

Ilustrasi Rivai Apin. Sumber: Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani (1950), Tiga Menguak Takdir, Jakarta: Balai Pustaka, 1950. Hal. 18.

Selain sebagai penyair, Rivai juga menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan karya-karya asing ke bahasa Indonesia, dan lain-lain. Teeuw (1980: 196-8) mencatat kalau Rivai "seringkali menerbitkan kritik-kritik seni". Esai-esainya menggemakan sebuah upaya yang terbuka untuk memperkenalkan gagasan-gagasan baru dari khazanah luar sebagai "perantara baru dan yang menjanjikan segala macam kemungkinan" ke dalam masyarakat Indonesia "yang belum begitu suka membaca". Dialah, kata Teeuw, yang pertama kali memperkenalkan pemikiran-pemikiran absurdisme dari filsuf keturunan Aljazair-Prancis, Albert Camus, kepada khalayak Indonesia.

Tahun 1954, Rivai Apin bergabung ke dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kata Ajip Rosidi, itu merupakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya: keluar dari redaksi Gelanggang dan masuk Lekra (Rosidi, 2018: 112). Ajip, dalam karya lain, mengatakan Rivai masuk Lekra karena "setelah merasa tidak puas dengan kelompok Gelanggang yang ia dirikan bersama Charil, Asrul, dan lain-lain (2008: 1067). Rivai sendiri mengakui, dalam sebuah wawancara dengan Rosihan Anwar (1986: 198), ia memasuki Lekra, "Karena  saya ingin dekat dengan rakyat. Saya ingin mengembangkan seni rakyat".

Di Lekra, Rivai menggawangi majalah budaya Zaman Baru. Kepemimpinannya di majalah ini dimulai dari tahun 1957 hingga 1965. Majalah ini ialah senjata bagi Lekra untuk penyadaran rakyat. Kata Muhiddin Dahlan (2008: 48), majalah ini oase ketika tabloid dan majalah kebudayaan sangat minim pada 1950 dan 1960-an. Selama kurun itu juga, Apin mengetuai Lembaga Seni Drama Indonesia (LSDI), sekalipun sepak terjangnya di situ tidak begitu jelas.

Berkat keterlibatannya dalam Lekra, ia pernah menjadi anggota DPRD-GR Jakarta Raya dari Fraksi PKI (Anwar, 1986: 199). Kesibukannya dalam partai dan anggota parlemen membuat puisi-puisinya tidak lagi banyak lahir dan menurun nilai sastranya. A. Teeuw bahkan menyebut kalau setelah menerbitkan buku sajaknya yang pertama kali sampai 20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali "sajak Rivai yang masih hidup." Tapi, pendapat ini dipatahkan Maman S. Mahayana (2001: 40) yang menelusuri, dalam tahun 1950 Rivai Apin masih menulis sajak. Lima buah puisinya dimuat majalah Siasat dan Indonesia. Sampai tahun 1957, ia masih menghasilkan empat buat puisi lagi. Dalam rentang ini, ia juga menulis beberapa esai kesusastraan. Hal-hal yang masih menunjukkan vitalitasnya dalam gelanggang sastra.

Meletusnya Gerakan 30 September 1965 menjadi titik balik bagi Rivai Apin. Karya-karyanya dilarang beredar (Rosidi, 2018: 112). Ia diciduk di rumahnya di Jalan Malabar di Jakarta oleh alat-alat keamanan pada bulan Desember tahun itu (Rosihan, 1986: 198). Mula-mula ia mendekam di penjara Gang Tengah Salemba sebelum dipindahkan ke Buru. Di penjara pulau tersebar di Asia itu, dia mendekam di unit paling hulu, di Kamp Jikukecil, yang disebut Die Hard tempat di mana golongan keras dari kalangan para tapol dikumpulkan (Anwar, 1986: 916). Rivai Apin, catat Pramoedya Ananta Toer (1995: 281), dikucilkan di Kamp Jikukecil itu bersamanya dan beberapa tapol lain yang seringkali dituduh hendak berontak dan melawan. Seorang wartawan Belanda menyebutnya memiliki keteguhan watak, "standvastigheid van karakter". Anwar (1986: 200), yang kenal lama dengannya, mengira itu hanya sejenis semangat rebellie, melawan, memprotes terhadap segala hal yang dirasakannya tidak sesuai dengan kepenyairannya.

Kata Maryoto (2015: 45), Rivai sebenarnya memiliki sifat yang sayang terhadap anak-anak dan wanita, namun ia memilih tetap melajang. Mungkin betul juga, ketika Rosihan mewawancarainya ketika masih di Buru tentang yang ia rindukan, Rivai mengatakan jika ada kalanya ia "ingat akan kanak-kanak di Jakarta yang sedang bermain galah di waktu malam terang bulan. Lalu terdengar suara ibu mereka ' Hai, masuklah kalian ke rumah; hari sudah malam'" (Anwar, 1986: 198). Setelah dipenjara selama 14 tahun, pada 1974 ia dibebaskan. Ia meninggal di Jakarta pada bulan April tahun 1995 di usia 68 tahun.

Penulis: Dedi Arsa
Instansi: IAIN Bukittinggi
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Anwar, Rosihan (1986), Perkisahan Nusa Masa 1973-1986. Jakarta: Grafitipers.

Aveling, H. (1971), "Indonesian wasteland: The verse of Rivai Apin", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127, No: 3, hal. 350-374.

Aveling, Harry (2002), Rumah Sastra Indonesia. Magelang: Indonesiatera.

Dahlan, Muhidin M. dkk. (2008), Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba.

Jassin, H.B. (1985), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gramedia.

Maryoto, Agus (2015), Sastrawan Angkatan 45. Semarang: Alprin.

Raffel, Burton (1968), Anthology of Modern Indonesian Poetry. Albani: State University of NY Press. 

Rosidi, Ajip (2008), Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip (2018), Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. (1980), Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah.

Toer, Pramoedya Ananta (1996), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu – 1. Jakarta: Lentera.