Asrul Sani
Asrul Sani adalah sastrawan terkemuka di Indonesia. Ia lahir pada 10 Juni 1927, melewati masa kanak-kanak di Kampung Rao di Utara Bukittinggi. Kampung Rao telah meninggalkan impresi yang mendalam baginya. Dalam wawancara dengan Kompas, ia menggambarkan Rao sebagai daerah pedalaman, yang sebetulnya makmur, tetapi masih cukup tertinggal. Penduduk di sana banyak merantau, khususnya ke negeri jiran Malaysia. Sementara itu, modernitas hanya lalu lalang, tanpa menjadi bagian integral dari penduduk Rao. Sisa ingatan tentang Rao, kerap kali menjadi sumber inspirasi bagi karyanya, sebagaimana tergambar dalam cerpen “Panen” (1956) yang kental dengan citra pedesaan (Kompas, 1 Oktober 1973: 9).
Saat kecil, ia senang mendengarkan cerita. Ibunya, kerapkali menyuguhi cerita-cerita (Badan Bahasa, tanpa tahun). Bahkan, tidak jarang ayahnya memanggil tukang kaba yang sering berkeliling untuk menjajakan cerita ke rumah mereka (Varia, Th. I/ 26. 15 Oktober 1960 dalam Hutagalung, 1997: 20). Jelas, bahwa daya imaginatif Asrul disemai lebih dulu lewat kebiasaan mendengarkan cerita. Akhirnya, di usia 10 tahunan, di perpustakaan pamannya, ia mulai gemar membaca berbagai genre buku terbitan Balai Pustaka dan buku berjudul Ilmu Karang Mengarang karya Adinegoro. Selain itu, juga buku-buku karangan William Shakespeare (Zain, 1995: 73). “Kekasih Prajurit” adalah tulisan pertama Asrul yang dimuat dalam surat kabar Pemandangan pada 1943. Karya yang mengangkat tentang prajurit pembela tanah air pada zaman penjajahan itu, ditulisnya ketika masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Taman Siswa kelas dua (Maryanto, 2020: 19).
Pada 1933, Asrul melanjutkan sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS), Bukittinggi. Setelah lulus HIS, ia masuk sekolah teknik di Koningin Wilhelmina School (KWS) Jakarta. Namun, ia tidak bisa melanjutkan studi di KWS lantaran menderita inferiority complex, yang tidak berbakat dalam hal teknik. Pada 1942, ia pindah ke sekolah umum, SMP Taman Siswa di Jakarta. Di sekolah inilah, ia berinteraksi dengan Pramoedya Ananta Toer dan bersama-sama menjadi anggota dalam komunitas “Penggemar Sastra”. Lulus dari SMP, Asrul meneruskan studi ke Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor dan lulus pada 1955 (Maryanto, 2020: 19). Persinggungan antara kebiasaan mendengarkan cerita dan membaca buku akhirnya memicu kelahiran ide-ide kreatif dalam menghasilkan beragam genre karya, mulai dari cerpen, puisi, hingga skenario sandiwara, dan film (Kompas, 1 Oktober 1973: 9).
Rosihan Anwar, wartawan senior, menulis catatan khusus (In Memoriam Asrul Sani) sebagai persembahan terakhir atas kepergian Asrul Sani pada 11 Januari 2004 sekitar pukul 22.00 malam, setelah sakit-sakitan sejak satu setengah tahun. Asrul dilihat sebagai cendekiawan yang komplet, berwawasan luas, bahkan dianggap mirip model ideal manusia pada zaman Renaissance di Italia, yaitu homo universales, manusia yang universal (Anwar, 2004a: 5). Asrul adalah penyair, cerpenis dan esais, pejuang di Laskar Rakyat Jakarta pada awal revolusi kemerdekaan, dosen teater Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), penerjemah, sutradara teater dan film, penulis skenario, sutradara film dan sinetron yang masyhur, dokter hewan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewakili Nahdlatul Ulama (NU), Ketua Dewan Film Nasional, Ketua dan anggota Dewan Kesenian Jakarta, Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan anggota Akademi Jakarta. Pendek kata, ia adalah manusia langka yang banyak fasetnya dan piawai dalam beragam bidang (Anwar, 2012: 160-161). Mengingat beragam tanggung jawab yang diembannya, surat kabar The Strait Times, dalam salah satu rilisnya, pernah memajang foto Asrul Sani dengan membubuhkan keterangan “Busy man with many responsibilities” (The Straits Times, 28 November 1980: 16).
Asrul Sani bisa dianggap sebagai tokoh kedua sebagai penyair setelah Chairil Anwar di antara para pelopor Angkatan 45. Bersama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul Sani menulis buku Tiga Menguak Takdir (terbit di Balai Pustaka, 1950), antologi prosa dan puisi berjudul Gema Tanah Air (1948, bersama H.B. Jassin). Ia juga terlibat aktif dalam penerbitan majalah. Ia juga ikut mendirikan majalah Gema Suasana (1948). Selain itu, dengan Chairil dan Rivai Apin, memimpin “Gelanggang”, ruangan kebudayaan Siasat. Pada tahun 1951, ia juga menjadi redaktur majalah Zenith bersama-sama dengan H.B. Jassin. Asrul juga giat mengirimkan karyanya di majalah Konfrontasi, salah satunya adalah cerpen fenomenal berjudul “Museum” (13 Juli 1956). Asrul juga berjuang melawan penjajahan dengan menjadi pemimpin Laskar Rakyat dan memimpin harian perjuangan Suara Bogor (Hutagalung 1997: 23-24).
M.S. Hutagalung, penulis buku Tanggapan Dunia Asrul Sani (1997), melihat sajak dan cerita pendek Asrul Sani sebagai karya yang lengkap dengan segala kelemahan dan kekuatan. Kekuatan Asrul terletak dalam gaya dan pelukisan gerak atau bunyi yang baik, serta ide-idenya yang diutarakan dengan simbolik yang halus. Aturan-aturan persajakan sajak akhir aliterasi, ulangan, dan sebagainya masih diperhatikan, tetapi tidak menjadi aturan yang ketat dalam tulisannya. Dalam cerpennya “Panen”, ia melukiskan perasaan kesendirian. Di desanya, ia tidak betah, lantaran adat dan tradisi yang kaku. Sementara, di kota, ia menemui “Museum”, yaitu lalu-lalang orang yang telah kehilangan kepribadian. Keadaan inilah yang menyebabkan rasa sepinya. Hutagalung akhirnya berhenti pada simpulan bahwa Asrul memang patut disebut sebagai salah seorang tokoh Angkatan 45, sebab sajak dan cerpennya bernilai tinggi dan memberi kontribusi pada Angkatan 45. Salah satu ciri pembeda Angkatan 45 dengan angkatan sebelumnya ialah perombakan terhadap aturan-aturan yang kaku dan tegang demi mencari orisinalitas (Hutagalung, 1997: 130).
Asrul juga dikenal melalui gerakan yang dipeloporinya, yakni “Surat Kepercayaan Gelanggang 1950”, yang berisi landasan dan sikap para seniman angkatan 45 demi kemajuan sastra dan kemajuan negara dan bangsa Indonesia (Berdianti, 2020: 18). Melalui surat itu, pandangan Asrul mengenai kebudayaan tampak jelas, sebab Asrul membuat semacam eksplanasi panjang atas surat itu dengan judul “Fragmen Keadaan” yang dimuat bersambung dalam rubrik Gelanggang majalah Siasat pada 1950-1951 (Kompas, 13 Juli 1997: 21)..
Sebagai seniman, Asrul selalu haus akan ilmu. Ia pernah belajar musik pada Cornel Simandjuntak. Pada tahun 1954, ia ke Harvard University untuk mengikuti Seminar Internasional tentang kebudayaan. Ia juga pernah tinggal di Eropa Barat selama kurang lebih dua tahun, untuk membantu Sticusa dan Penclub. Setelah Kembali dari luar negeri, ia membantu Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan Perseroan Artis Indonesia (Persari). Ia juga aktif dalam Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) dan kerap kali memberi ceramah tentang kebudayaan dalam hubungannya dengan agama Islam (Hutagalung, 1997: 23).
Meskipun lulusan kedokteran hewan, kecintaannya terhadap dunia film tidak pernah dapat dibendung. Sejak 1950-an, Asrul mulai memberikan porsi lebih pada dunia film dan drama. Ia berangkat ke California untuk mempelajari scriptwriting dan ke Amsterdam untuk memperdalam pengetahuan mengenai dunia teater. Cita-cita Asrul Sani masuk ke perguruan tinggi, seperti dikatakannya dalam sebuah cerpen “Beri Aku Rumah” juga dimaksudkan untuk mengetahui makna “hidup” (Hutagalung, 1997: 21). Hingga tahun 80-an, ia sudah dikenal sebagai penulis naskah. Sejak menulis skenario film pada 1955, hidupnya dipenuhi dengan penghargaan, baik dalam kancah nasional maupun internasional. Pada 1971, dia memenangi Best Film Awards dalam Asian Film Festival untuk film yang ditulis sekaligus disutradarainya, “Apa yang Kau Cari Palupi?” (The Straits Times, 28 November 1980: 16).
Film “Naga Bonar” yang dimainkan oleh Deddy Mizwar dan Nurul Arifin, juga menjadi salah satu film yang dipertandingkan dalam FFI 87. Film ini pernah memenangi tujuh Piala Citra, dua di antaranya masuk kategori Skenario Terbaik dan Cerita Asal Terbaik oleh Asrul Sani. Film Naga Bonar juga pernah diajukan dalam Festival Film Asia Pasifik (FFAP) yang berlangsung di Bangkok dan Puket, Thailand, pada November 1988. Keikutsertaan Indonesia dalam FFAP, ini adalah salah satu usaha untuk memajukan film-film Indonesia di luar negeri. Film asal Indonesia juga bersaing dengan film dari Malaysia, salah satunya film Antara Dua Hati keluaran R.J. Film (Berita Harian, 24 November 1988: 5). Asrul Sani (1927-2004) adalah sastrawan, budayawan, sineas dan berbagai kualifikasi lain, akan terus dikenang dengan penuh hormat (Anwar, 2004b: 257).
Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
“Asrul Sani yang Merasa Tanpa Profesi”, Kompas, 1 Oktober 1973, hlm. 09.
“Bapak Asrul finds success in a 'hobby'”, The Straits Times, 28 November 1980, hlm. 16.
“Indonesia, Malaysia tampilkan saingan”, Berita Harian, 24 November 1988, hlm. 5.
Anwar, Rosihan (2004a) “In Memoriam" Asrul Sani”, Kompas, 13 Januari, hlm. 05.
Anwar, Rosihan (2004b) Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 3. Jakarta. Penerbit Kompas.
Anwar, Rosihan (2012), Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 6: Sang Pelopor Anak Bangsa dalam Pusaran Sejarah. Jakarta. Penerbit Kompas.
Badan Bahasa (TT) “Asrul Sani”, https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/739, diakses pada 10 Oktober 2021.
Berdianti, DRA Eka (2020) Perjalanan Panjang Sastra Indonesia. Alprin.
Hutagalung, M. S. (1997) Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gunung Agung.
Maryoto, Agus (2020) Sastrawan Angkatan 45. Alprin.
Mun'im DZ, Abdul (1997) “70 Tahun Asrul Sani: Dilema Seorang Budayawan Aristokrat”, Kompas, 13 Juli, hlm. 21.
Varia, Th. I/ 26. 15 Oktober 1960 dalam Hutagalung, Tanggapan Dunia, hlm. 20.
Zain, Harun et al. (1995) Profil 200 Tokoh Aktivis & Pemuka Masyarakat Minang (Edisi I). Permo Promotion.