Semaun
Semaun adalah tokoh penting pergerakan antikolonial dan ketua Partai Komunis Indonesia pada awal pembentukan partai tersebut. Ia dilahirkan di Tjurahmalang, Jombang, sebelah barat Kota Surabaya pada 1899. Ayahnya bernama Prawiroatmodjo, bekerja sebagai buruh jawatan kereta api di Surabaya. Pada 1906, Semaun mengenyam pendidikan Sekolah Kelas Dua (Tweede Klas). Namun demikian, dia juga mengikuti pelajaran tambahan (les Bahasa Belanda) pada Eerste Klas Inlandsche School yang di kemudian hari dikenal dengan Hollandsch Inlandsche School (HIS). Pada 1912, Semaun mengikuti ujian bagi pegawai Pamong Praja dan mendapatkan sertifikat “Klein Ambtenaar”. Setahun kemudian, Semaun bekerja pada Staatspoor (SS) di Surabaya sebagai juru tulis (klerk) (Wirawan, 2011: 139-146).
Pengalaman organisasi dan politik didapatkannya sejak berusia muda. Kecerdasan dan bakatnya dalam menghimpun dan mengorganisir massa telah terlihat sejak berusia belia. Pada 1914, Semaun diangkat sebagai Sekretaris Sarekat Islam (SI) Cabang Surabaya. Setahun berikutnya pada 1915, Semaun pindah ke Semarang dan bergabung dengan Indische Sosial-Democratisch Vereeniging (ISDV), sebuah organisasi berhaluan sosialis-demokratis dan Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) di Semarang. Salah satu faktor masuknya Semaun ke dalam organisasi berhaluan sosio-demokratis tersebut karena peran dari Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevlie atau Henk Sneevliet, seorang Belanda yang membawa aliran dan ideologi sosialis ke Hindia Belanda (Triyana, 2017).
Peran Semaun dalam dunia pergerakan menjadi semakin progresif ketika diangkat sebagai propagandis VSTP di Semarang pada 1916, yang mana Semaun juga sebagai anggota SI Cabang Semarang. Karir politiknya melesat dengan cepat. Setahun kemudian, tepatnya pada 6 Mei 1917 Semaun terpilih menjadi Ketua SI Cabang Semarang (Soe, 1999:6-7). Momentum ini dimanfaatkan oleh Semaun untuk memperluas pengaruh dan cita-citanya dalam pergerakan politik progresif dan radikal yang dalam waktu tidak terlalu lama, Semaun berhasil menaikkan anggota SI Cabang Semarang dari 1.700 orang pada 1916 menjadi 20.000 orang pada 1917 (Ricklefs, 2010: 372). Pada masa kepemimpinan Semaun, SI Cabang Semarang dibawa ke arah yang lebih progresif, radikal dan garis anti kapitalisme kuat karena diisi oleh anggota yang lebih muda serta latar belakang sosio-ekonomi yang beragam (Metanasi, 2017; Ricklefs, 2010: 372).
Pergerakan politik erat kaitannya dengan jurnalistik dan persuratkabaran. Dalam dunia jurnalistik ini, Semaun menjadi redaktur beberapa surat kabar yang menjadi alat organisasi tempat dia berada. Pada organisasi VSTP di Semarang, dia menjadi redaktur Si Tetap yang berbahasa Melayu. SI Cabang Semarang juga mempunyai surat kabar sebagai corong organisasi kepada khalayak publik. Surat kabar SI Cabang Semarang pada waktu itu bernama Sinar Djawa,yang kemudian pada 1 Mei 1918 berubah nama menjadi Sinar Hindia. Di sini, Semaun juga menjadi redaktur yang sering menulis dan mengkritik pemerintah kolonial serta propaganda untuk melakukan pemogokan di kalangan buruh dan pekerja. Atas tulisan dan propagandanya, Semaun pernah tersangkut delict press dan dipenjara di Yogyakarta selama 4 bulan (Metanasi, 2017). Pergumulan Semaun dengan buruh dan latar belakang sosio-ekonominya yang berasal dari kelas bawah membuatnya terus terlibat dalam gerakan dan pemogokan buruh di Jawa. Sebagai Ketua SI Cabang Semarang, Semaun terlibat dalam pemogokan buruh di industri furnitur pada 1918 dan pemogokan buruh industri cetak pada 1920.
Pengaruh Semaun yang semakin progresif dan perannya yang besar di ISDV sepeninggal Sneevliet membuat Semaun diangkat menjadi ketua ISDV. Bersama dengan tokoh muda progresif lainnya yaitu Alimin dan Darsono, berhasil memperluas dan memperkuat gerakan sosialisme di Hindia Belanda. Karena aktivitas Semaun dalam gerakan politik sosialis di ISDV, terjadi perpecahan pada SI Cabang Semarang. Perpecahan tersebut memunculkan fraksi SI Putih dan SI Merah.
Pemikiran dan ide-ide Semaun mengenai gerakan sosialis di Hindia Belanda mencapai puncaknya dengan mengubah ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH) pada 1920 dan keluar dari SI. Tidak setelah itu, a PKH diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920 (Soe, 1999). Di partai ini, Semaun menjadi pemimpin yang terkemuka. Kedekatan Semaun sebagai pemimpin buruh, kerap kali membawa partai ini ke dalam propaganda dalam mengorganisir pemogokan buruh di berbagai tempat di Jawa (Metanasi, 2017).
Pada Oktober 1921, Semaun meninggalkan Hindia Belanda dan berpetualang menuju Cina dan Rusia untuk mengikuti pertemuan Kongres Komunis Internasional III (McVey dan Semaun, 1966: 46).Setelah berpetualang mengunjungi Eropa, Semaun kembali ke Hindia Belanda pada Mei 1922 dan kembali mengorganisir pemogokan buruh kereta api di Semarang yang membuat pemerintah kolonial Belanda berang. Setelah kejadian ini, ia dibuang ke Belanda karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Di Belanda, ia bertemu dan bertukar pikiran dan terlihat dalam berbagai diskusi dengan anggota Perhimpunan Indonesia (PI) dan aktif menulis pada surat kabar di sana. Di Belanda, Semaun dianggap sebagai orang yang mendekatkan PI dengan kelompok komunis.Sekitar 1927, Semaun aktif menulis di surat kabar dwi mingguan Recht en Vrijheid (Keadilan dan Kemerdekaan) di Belanda. Setelah kegagalan pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera Barat pada 1926-1927, Semaun tinggal di Moskow, ibukota Rusia. Selama tinggal di Moskow, Semaun menjadi penerjemah dan pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri dan Institut Ketimuran Moskow. Selain bekerja di institusi pemerintahan, Semaun juga pernah menjadi penyiar radio di Rusia pada akhir 1940-an (Metanasi, 2017).
Semaun hidup dengan baik di Rusia. Dia menikah dengan perempuan Rusia dan mendapat dua orang anak bernama Rono Semaun dan Mischka. Sebelum diasingkan ke Belanda, ia pernah menikah dan mempunyai dua anak Logika Sudibjo dan Axioma. Semaun kembali ke Indonesia pada 1957 atas bantuan dari Presiden Sukarno. Namun, Semaun tidak pernah beraktivitas secara politik dan berhubungan dengan PKI pasca kemerdekaan karena dianggapnya sudah berubah (Metanasi, 2017). Pada 1959, Sukarno memberikan jabatan kepada Semaun sebagai Wakil Ketua Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara). Dalam dunia pendidikan, Semaun mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dalam ilmu ekonomi dari Universitas Padjajaran Bandung pada 1961. Semaun menjadi pengajar mata kuliah ekonomi pada kampus tersebut hingga akhir hayatnya. Semaun meninggal dunia pada 7 April 1971 (Triyana, 2017).
Penulis: Budi Agustono
Referensi
McVey, Ruth dan Semaun (1966), “An Early Account of the Independence Movement”. Indonesia, No. 1, April 1966, hlm. 46-75.
Metanasi, Petrik (2017),“Semaoen Dewan Rakyat Cuma Komedi Omong Kosong”, Artikel dalam https://tirto.id/semaoen-dewan-rakyat-cuma-komedi-omong-kosong-cyk5diakses pada 29 Oktober 2021.
Ricklefs, M.C (2010), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Soe, Hok Gie (1999), Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Triyana, Bonnie (2017), “Semaun dan Sneevliet, Kisah Persahabatan Dua Orang Revolusioner”, Artikel dalam https://historia.id/politik/articles/semaun-dan-sneevliet-kisah-persahabatan-dua-orang-revolusioner-P9jYX/page/1 diakses pada 29 Oktober 2021.
Wirawan, Wahyu (2011), “Semaun dalam Bayang-Bayang Pemerintah Hindia Belanda 1899-1923”. Paramita, Vol. 21, No. 2, Juli 2011, hlm. 138-148.