Teuku Muhammad Hasan

From Ensiklopedia
Teuku Muhammad Hasan. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P08-009

Pada tanggal 19 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Teuku Muhammad Hasan ditunjuk dan ditetapkan sebagai gubernur untuk memimpin wilayah provinsi Sumatra, dengan ibukota di Medan, pada 22 Agustus. Keputusan itu menunjukkan kepercayaan PPKI terhadap Teuku Muhammad Hasan dalam perjuangan bangsa untuk kemerdekaan dan terbebas dari hegemoni, kolonisasi, penguasaan, dan penjajahan bangsa lain. Ketika seseorang ditunjuk untuk memimpin pemerintahan daerah dengan wilayah yang luas sekaligus sebagai perintis berdirinya negara, maka seseorang dinilai mempunyai pengalaman, keahlian, dan kecakapan untuk mengemban amanah.

Teuku Muhammad Hasan lahir di Gampong Peukan Sot, kampung yang berjarak 2,5 km dari Kota Sigli, Aceh, pada 4 April 1906 sebagai anak sulung dari Teuku Bintara Pineung (T.B.P.) Ibrahim (bapak) dan Cut Manyak binti Teungku Muhammad (ibu). Seseorang yang mampu menempuh dan meraih pendidikan tinggi pada masa Hindia Belanda dipastikan berasal dari garis genealogi bangsawan dengan status sosial terhormat dan dukungan sumber daya ekonomi. Teuku Bintara Pineung Ibrahim berkedudukan sebagai ulèë balang (bangsawan pemimpin daerah pada pemerintahan kesultanan Aceh) di Pidie. Awal abad ke-20 ditandai oleh berbagai kemajuan dan terbukanya kesempatan untuk menempuh pendidikan formal dengan sistem kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan mengenyam pendidikan menandakan bahwa Teuku Bintara Pineung Ibrahim berpikir terbuka. Teuku Muhammad Hasan memasuki dan menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar untuk bumiputra (volkschool) tahun 1914–1917.

Genealogi Teuku Muhammad Hasan dengan status bangsawan membuka peluang baginya untuk melanjutkan di Europeesche Lagere School (ELS, sekolah dasar untuk keturunan Eropa) di Sigli (Ibrahim, 1983: 21). Sekolah ini sesungguhnya eksklusif untuk keturunan Eropa dengan perkecualian bumiputra terkemuka dan golongan timur asing diizinkan menjadi murid sejak tahun 1903. Durasi belajar adalah tujuh tahun dengan pembelajaran menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Menjelang selesainya pendidikan ELS di tahun 1924, Teuku Muhammad Hasan menikah dengan Pocut Hiji dan dikarunia dua putri, Pocut Nurul Hayati dan Pocut Keumalawati. Kemudian setelah satu tahun berumah tangga dan menyelesaikan pendidikan di ELS, ia meninggalkan keluarga untuk belajar di Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (Jakarta). Selain ijazah yang didapatkan dari KWS, perjuangan Teuku Muhammad Hasan yang sangat mengagumkan adalah pada saat meraih dua ijazah dari dua sekolah yang berbeda, yakni MULO di Bandung tahun 1927 dan AMS di Batavia tahun 1929 dengan cara mengikuti ujian ekstranei (mengikuti ujian akhir suatu sekolah tanpa menjadi murid sekolah tersebut) (Ibrahim, 1983: 30).

Perhatian dan aksi yang dilakukan Teuku Muhammad Hasan di bidang pendidikan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk generasi muda Aceh. Hal ini terbukti dari usahanya untuk menghimpun dana belajar (studiefond) atau beasiswa untuk pemuda Aceh. Peristiwa ini terjadi setelah Teuku Muhammad Hasan berkunjung sementara ke kampung halaman seusai menempuh dan meraih ijazah di Batavia. Pada tahun 1929, bersama koleganya ia memprakarsai pembentukan kepanitiaan “Atjehsch Studiefonds” di Kutaraja, Aceh. Tujuan dari perkumpulan ini adalah untuk membantu kemajuan masyarakat asli Aceh, misalnya dengan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang tidak bertentangan dengan agama Islam; mendukung generasi muda Aceh yang ingin mengenyam pendidikan menengah di luar kampung halaman (De Sumatra Post, 28 Februari 1929).

Di kesempatan lain, Teuku Muhammad Hasan juga melakukan hal yang sama. Ia yang saat itu dipindahkan dari Batavia ke Medan, menjabat sebagai redacteur op het kantoor Bestuurshervorming (redaktur di kantor Reformasi Administrasi), juga memprakarsai dan mengetuai Atjehsch Studiefond yang memberikan beasiswa pada pemuda Aceh yang memiliki bakat khusus tetapi tidak mampu menyelesaikan studinya karena alasan keuangan dan memberikan kontribusi pelatihan (Deli Courant, 18 Juni 1938; De Sumatra Post, 20 Juni 1938; Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 Juni 1938). Kegiatan sosial itu sebagai wujud kontribusinya pada bangsa ketika ada pengawasan ketat atas dirinya sebagai pegawai pemerintah dan potensi kegiatan politik.

Dari ijazah yang diraih, seperti dikisahkan sebelumnya, maka tidak sulit bagi Teuku Muhammad Hasan untuk memilih pendidikan tinggi yang diinginkan. Pilihan kemudian jatuh kepada Sekolah Tinggi Hukum (Rechtschoogeschool) di Batavia tahun 1929/1930 yang ia selesaikan tahun 1931 dengan gelar sarjana muda. Dari pendidikan ini, kemahiran berbahasa Belanda Teuku Muhammad Hasan tidak diragukan. Pada usia 25 tahun (September 1931), ia berangkat dari Pelabuhan Sabang demi meraih sarjana hukum di Rijk Universiteit Leiden, Belanda. Wadah organisasi mahasiswa di Belanda adalah Perhimpunan Indonesia, sehingga ia pun aktif dalam organisasi ini (Ibrahim, 1983). Pada November 1933, ia mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr.), kembali ke kampung halamannya pada 5 Maret 1934. Peristiwa menarik atas kecurigaan pejabat Belanda di Aceh terhadap Teuku Muhammad Hasan setibanya di Pelabuhan Ulee Lheu Kutaraja adalah penyitaan dan pemeriksaan buku-buku yang berkaitan dengan paham pergerakan yang membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di Aceh. Namun demikian, buku-buku tersebut dikembalikan setelah melalui proses pemeriksaan yang lama di Kutaraja (Ibrahim, 1983: 40).

Teuku Muhammad Hasan tinggal di tanah kelahirannya kurang lebih selama satu tahun. Dalam kurun waktu itu, ia bergabung dengan organisasi Muhammadiyah dan mempelopori berdirinya cabang-cabang di Aceh. Ia juga menjalin hubungan semua lapisan masyarakat, terlebih lagi dengan tokoh-tokoh lokal berpengaruh, seperti ulèë balang, ulama, pendidik, dan pengusaha. Akibatnya, kecurigaan pemerintah daerah Aceh pada saat itu terus berlanjut dalam bentuk kekhawatiran yang berlebihan jikalau terjadi perlawanan yang diinisiasi oleh Teuku Muhammad Hasan. Gubernur Aceh, A.Ph. van Akem (1933-1936), secara halus bertindak supaya Teuku Muhammad Hasan tidak berlama-lama tinggal di Aceh dan berkarir di Kutaraja. Gubernur berusaha menempatkan Teuku Muhammad Hasan ke Batavia dengan cara meminta kesediaan Directeur van Onderwijs en Eeredienst agar Teuku Muhammad Hasan diterima menjadi pegawai pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Batavia. Permintaan ini direspons dengan baik, tetapi ditolak oleh Teuku Muhammad Hasan, bukan karena mengetahui motif terselubung A.Ph. van Akem, tetapi dengan alasan gaji sebesar f 50,- sebagai tenaga sukarela (volunteer) yang dianggap tidak cukup untuk biaya hidup sekeluarga di Batavia. Mengetahui alasan tersebut, Gubernur  A.Ph. van Akem dengan cepat mengambil keputusan menambah gaji menjadi f 100,- dengan penegasan bahwa uang tersebut dari kas pemerintahan daerah Pidie (Ibrahim, 1983: 40-44). Kesalahpahaman yang menguntungkan bagi Teuku Muhammad Hasan, baik secara penghasilan maupun progresivitasnya sebagai seorang pergerakan yang telah dipupuk sejak di negeri Belanda. Satu tahun di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ia kemudian pindah di Kantoor voor Bestuurshervorming.

Penguasa negeri ini berganti ketika pemerintah Hindia Belanda takluk pada Jepang tahun 1942. Teuku Muhammad Hasan sebagai pejabat dipanggil untuk menghadap Syu Chokan (residen) Sumatra Timur, Kolonel Tetzusa Nakashima untuk bekerja sama memperbaiki perekonomian karena inflasi yang tinggi, khususnya di Sumatra Timur. Tiada pilihan lain saat itu untuk bekerja sama, sebelum peluang untuk melawan terbuka. Menjelang kemerdekaan, kesempatan pun muncul dengan pengangkatan dirinya bersama Dr. Mohammad Amir dan Mr. Abdul Abbas mewakili Sumatra untuk menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan posisi itu, Teuku Muhammad Hasan telah menunjukkan peran penting bangsa dan negara Indonesia karena selalu aktif dalam sidang dan rapat sebelum dan setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan. Pada sidang PPKI, 19 Agustus 1945, Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai gubernur provinsi Sumatra. Pada waktu berikutnya merupakan hari-hari mengemban amanah menegakkan negara ini ditengah situasi Belanda ingin berkuasa kembali ataupun masa-masa pembangunan bangsa di suasana merdeka sepenuhnya. Butuh banyak lembaran-lembaran untuk mengisahkan kontribusi Teuku Muhammad Hasan pada bangsa dan negara Indonesia.

Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

De Sumatra Post, 28 Februari 1929

De Sumatra Post, 24 Juni 1931

De Sumatra Post, 20 Juni 1938

Deli Courant, 18 Juni 1938

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 21 Juni 1938

Ibrahim, Muhammad. 1983. Mr. Teoekoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional