Uni Indonesia-Belanda
Uni Indonesia-Belanda adalah konfederasi antara Belanda dan Indonesia yang berlangsung pada 1949-1954. Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Pertemuan ini dihadiri oleh delegasi dari Belanda, Indonesia, dan Bijeenkomst Voor Federal Overleg (BFO) atau persekutuan negara-negara federal bentukan Belanda. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Marseveen, delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad Hatta, dan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 268). Tujuan diadakannya konferensi ini adalah untuk memperbaiki hubungan Indonesia dan Belanda.
Muhammad Hatta yang menjadi perwakilan Indonesia dalam konferensi tersebut mendominasi dan mendapat perhatian dari banyak peserta. Salah satu kesepakatan dalam konferensi tersebut ialah pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Secara umum, Uni Indonesia-Belanda didirikan untuk memperkuat kerja sama antar negara bekas koloni Belanda dalam berbagai bidang, seperti pertahanan, hubungan luar negeri, keuangan, hubungan ekonomi, dan hubungan budaya. Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda (Ratu Juliana), Sukarno sebagai Presiden RIS dan Muhammad Hatta sebagai Perdana Menteri.
Bagi sebagian peserta, KMB dianggap sebagai pembatasan terhadap kedaulatan Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya keputusan bahwa: (1) Belanda tetap mempertahankan kedaulatan atas Irian Barat (Papua) sampai ada perundingan selanjutnya, (2) Indonesia harus memikul beban hutang Hindia-Belanda sebesar ± 4,3 milyar gulden (Ricklefs 2008: 487–88).
Pada tanggal 27 Desember 1949, Kerajaan Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada RIS, namun Irian Barat tidak termasuk di dalamnya (Suryanegara 2016: 280). Upacara penyerahan kedaulatan ini dilangsungkan di dua tempat, yaitu: Amsterdam dan Jakarta. Pada saat penyerahan tersebut, Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta atas nama pemerintah RIS menerima kedaulatan dari Ratu Juliana dan Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX menerima kedaulatan RIS dari wakil tinggi mahkota Belanda, A. H. J. Lovink.
Sejak penyerahan kedaulatan tersebut, dimulailah hubungan kerja sama Uni Indonesia-Belanda yang berlandaskan persahabatan, sukarela, persamaan, dan kemerdekaan sepenuhnya di antara kedua negara. Untuk mencapai tujuan konfederasi didirikan sekretariat bersama di Den Haag dan Jakarta. Namun dalam perjalanannya, kegagalan penyelesaian sengketa atas Irian Barat menjadi pemicu munculnya ketegangan kembali di antara kedua negara. Indonesia tidak bisa menerima apabila kedaulatan atas Irian Barat masih berada di tangan Belanda.
Pada pertengahan 1954 dilangsungkan pertemuan kembali di antara perwakilan kedua negara. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Sunario dan delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Luns. Pertemuan ini hendak membicarakan rencana pembubaran Uni Indonesia-Belanda karena konfederasi ini mengalami banyak kegagalan. Pertemuan ini dilandasi oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) pihak Indonesia-Belanda gagal membicarakan sengketa Irian Barat secara persahabatan, (2) pihak Indonesia merasa kedudukan Ratu Juliana sebagai pimpinan Uni mengurangi kedaulatan Indonesia, (3) pihak Indonesia merasa hubungan ekonomi dalam Uni mengakibatkan kerugian, (4) realitas kerja sama yang terjadi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar (Yamin 1956:12–13).
Bagi Indonesia, konfederasi ini tidak dapat dilanjutkan karena sudah tidak sesuai dengan asas dasarnya. Selain itu, kehadiran Uni Indonesia-Belanda juga bertentangan dengan asas politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Akhirnya pada tanggal 10 Agustus 1954, perwakilan delegasi Indonesia dan Belanda bersepakat untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Persetujuan pembubaran ini tertuang dalam Protokol Pembubaran Uni dan Pertukaran Surat. Lewat kedua surat tersebut, persetujuan pembubaran Uni Indonesia-Belanda resmi dilaksanakan. Hal ini juga menandai berakhirnya seluruh hubungan kerja sama di antara kedua negara (Yamin 1956:15).
Penulis: Ahmad Muhajir
Instansi: Universitas Islam Sumatera Utara
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI Edisi Pemutakhiran: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2016. Api Sejarah Jilid II: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Surya Dinasti.
Yamin, Muhammad. 1956. Pembentukan dan Pembubaran Uni. Jakarta: Bulan Bintang.