Soenario

From Ensiklopedia

Mr. Soenario adalah seorang ahli hukum yang memegang sejumlah jabatan penting di Indonesia pada 1950 hingga 1960-an. Pemikirannya tentang negara kesatuan memiliki makna tersendiri bagi bangunan negara Indonesia.

Soenario  lahir di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 28 Agustus 1902, anak dari Wedana di Uteran Geger, Madiun, Sutejo Sastrowardoyo. Soenario mengikuti Taman Kanak kanak (TK) Frobelschool di  Madiun pada tahun  1908-1909 dan melanjutkan ke  ELS (Europeesche Lagere School)  1909-1916 dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun 1917.

Pada tahun 1917, Soenario pindah ke Batavia dan tinggal di rumah pamannya. Ia bersekolah di Rechtschool (1917-1923), sekolah hukum setingkat dengan SMK selama enam tahun. Di samping belajar hukum dan bahasa Perancis, Soenario juga menggunakan kesempatan untuk terlibat dalam organisasi kepemudaan, antara lain  menjadi anggota Jong Java. Melalui organisasi ini Soenario bersahabat dengan antara lain T.M. Hanafiah. Kemudian pada 1923-1925 Soenario mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan dalam bidang Ilmu  Hukum di Universitas Leiden  di Belanda.

Dari beberapa sumber, dikabarkan bahwa Soenario dengan dana sendiri kuliah di Belanda, berangkat dengan menggunakan kapal melalui Genoa menuju Eropa. Di Leiden, Soenario mengikuti kuliah doktoral di Universitas Leiden dan pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten. Selama di Belanda,  Soenario menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Pada 1924, Indische Veeerniging mengganti nama menjadi Indonesisiche atau Perhimpoenan Indonesia (PI) (Hatta 2011: 225). Lewat organisasi ini Soenario  berjumpa dengan para pelajar dan mahasiswa yang yang terlibat dalam PI, antara lain: Ahmad Subardjo, Sutomo, Hermen Karstowisatro, Iwa Koesoema Soemantri, Naszir Pamuntjak (Hatta, t.t.: 225).

Pada 1926, Soenario berhasil menyelesaikan pendidikannya di Leiden dan kembali  ke Indonesia dan mulai aktif sebagai pengacara dan  membantu rakyat dalam kehidupan keseharian dalam kaitan dengan pemerintah kolonial. Bahkan Soenario tetap berpegang teguh tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Pada tahun 1927 Soenario bersama sahabat -sahabatnya mendirikan partai politik yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI). Tokoh-tokohnya antara lain: Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Raden Mas Sartono, dan Iskak Cokroadisuryo.

Terkait konsep bentuk negara, Mohammad Hatta ternyata berbeda pendapat dengan Soenario kendati keduanya berkarib. Soenario mengakui hal itu dengan mengungkapkan bahwa Hatta lebih cenderung memilih konsep federasi untuk negara Indonesia kelak, sementara dirinya tetap yakin terhadap negara kesatuan. Pemikiran tentang kebangsaan sebenarnya sudah menjadi fokus Soenario semasa di Leiden dan aktif di Perhimpunan Indonesia itu, ketika usianya masih sangat muda, 23 tahun. Ia berandil besar dalam merumuskan Manifesto Politik yang dirilis PI dari Belanda pada 1925.

Manifesto Politik PI sebenarnya lebih fundamental dari Sumpah Pemuda tahun 1928. Manifesto Politik 1925 pada intinya berisi prinsip-prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Sementara Sumpah Pemuda “hanya” menonjolkan persatuan melalui slogan populer "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Soenario Sastrowardoyo adalah satu-satunya tokoh yang terlibat sentral di dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional itu, yakni Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 serta Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kongres Pemuda II itu sendiri bisa terlaksana berkat perjuangan Soenario (Djokopranoto 2010: 44). Ia ditugaskan meminta izin kepada pemerintah kolonial agar diperbolehkan menggelar kongres tersebut secara resmi. Meskipun sempat dipersulit dengan berbagai macam alasan, akhirnya izin berhasil didapatkan. Soenario juga merupakan tokoh kepanduan, ia berusaha keras memupuk rasa kebangsaan kepada generasi muda meskipun masih hidup di alam penjajahan. Soenario memimpin Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), salah satu organisasi kepanduan yang berpusat di Batavia atau Jakarta.

Soenario juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri, Soenario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Soenario juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai. Soenario juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956-1961. Setelah itu Soenario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972) yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setelah pensiun, ia diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945. Soenario menguraikan bahwa pada saat menjadi pembicara di Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Mengutip pemikiran filsuf Prancis, Ernest Renant, dalam artikel berjudul “Qu'est-ce Qu'une Nation”, ia tidak sepakat dengan konsep negara federal dengan memaparkan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Berbicara pada sesi terakhir di depan peserta kongres melalui pidatonya yang bertajuk "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”, Soenario berkeyakinan bahwa perbedaan ras, bahasa, agama, kepentingan, hingga melimpahnya sumber daya alam akan membuat bangsa ini lebih kuat jika punya keinginan untuk hidup bersama, atau dalam istilah Renant: le desir de vivre ensemble. Menurut Soenario, sebuah bangsa merupakan hasil masa silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia memberikan pengorbanan yang lebih besar lagi demi kepentingan bersama. Bertolak dari Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda dengan menyepakati “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” itu, apa yang dipaparkan Soenario akhirnya terwujud setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 kendati baru mendapatkan kedaulatan secara penuh sejak 27 Desember 1949.

Kariernya selama itu antara lain Pengacara di Bandung, Medan, dan Makassar 1926-1940, Pemimpin Redaksi Majalah Sedio Tomo, Yogyakarta 1940-1942, Pegawai Tinggi Departemen Kehakiman (Syihoobu) 1943, Anggota dan Badan Pekerja KNIP 1945, Dekan Pertama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 1946, Ketua Seksi Luar Negeri DPR Sementara 1950-1953, Menteri Luar Negeri RI 1953-1955, Duta Besar RI untuk Britania Raya 1956-1961, Rektor Universitas Diponegoro 1963-1966 dan Badan Pekerja MPRS 1968 sedangkan organisasi yang melibatkannya antara lain: Sekretaris II Perhimpunan Indonesia, Belanda 1925, Komisaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Sulawesi Selatan, Komisaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Jawa Tengah, Ketua Pertama Non Governmental Organization (NGO), Ketua Pertama Interparlementary Union Indonesia dan Penasehat Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).

Penulis: Bernada Materay


Referensi

Hatta, Mohamad. 2011. Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Kompas, Jakarta.

Richardus, Djokopranoto.dkk. 2010. Memoar Alumni Pemuda Katolik. Obor: Jakarta.

https://tirto.id/jejak-panjang-pengabdian-sunario-sastrowardoyo-coZu, diunduh 23 Oktober 2021

https://aldoluthfan.wordpress.com/2020/05/23/prof-mr-sunario-sastrowardoyo/, diunduh 22 Oktober 2021

https://initu.id/amp/biografi-sunario-sastrowardoyo-tokoh-manifesto-1925-dan-      konggres-pemuda-ii/, diunduh 22 Oktober 2021.

https://aldoluthfan.wordpress.com/2020/05/23/prof-mr-sunario-sastrowardoyo/, diunduh 22 Oktober 2021