Boentaran Martoatmodjo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
Boentaran Martoatmodjo adalah Menteri Kesehatan yang pertama sejak terbentuknya kabinet presidensial RI yang pertama. Pada zaman pendudukan Jepang, dokter Boentaran Martoatmodjo menetap di Semarang dan bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut data pemerintah militer Jepang—yang terhimpun dalam ''Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa'' (1944: 328, 476)—istri Boentaran adalah wakil ketua ''Fujinkai'' (organisasi wanita) di Semarang. Selain menjadi dokter di rumah sakit, Boentaran juga pimpinan dari Komite Pembantoe Rakjat (KOPERA) dan Penolong Korban Perang (PEKOPE). PEKOPE adalah organisasi mirip palang merah yang didirikan orang-orang Indonesia. Diketuai dr. Muwardi, PEKOPE memiliki sejumlah anggota yang memiliki latar belakang kedokteran. Masa pendudukan Jepang adalah masa darurat. Boentaran terhubung dengan Sutardjo Kartahadikusumo—yang di zaman Hindia Belanda mencetuskan petisi Indonesia agar berparlemen. Menurut Nugroho Notosusanto, Sutardjo adalah orang yang menggagas milisi atau wajib militer di Indonesia (Notosusanto, 1979:71).  
[[File:Boentaran Martoatmodjo Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L0812.jpg|center|thumb|Boentaran Martoatmodjo. Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=586186 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.0812]]] 


Boentaran tidak berpolitik praktis pada zaman Hindia Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, dia sudah tergolong politisi kamitua. Boentaran kelahiran Loano, Purworejo, titimangsa 11 Januari 1896. Sejak 1918, ia berdinas sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah kejuruan bernama ''School tot Opleiding van Indische Artsen'' (STOVIA)—yang mendidik calon dokter Hindia atau dokter Jawa—Boentaran pernah menjadi dokter pemerintah di Semarang, Banjarmasin, Bulungan, Samarindah, Pulau Laut, Denpasar, Mataram Jember dan lainnya. Dia pernah memperdalam keahliannya di Universitas Leiden, Negeri Belanda, dan mengerjakan tugas akhir ''Bijdrage tot de studie V.H.- Ultra Virus Tuberculeus'' (Anderson, 2018: 482).  
[[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran Martoatmodjo]] adalah Menteri Kesehatan yang pertama sejak terbentuknya kabinet presidensial RI yang pertama. Pada zaman pendudukan Jepang, dokter [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran Martoatmodjo]] menetap di Semarang dan bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut data pemerintah militer Jepang—yang terhimpun dalam ''Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa'' (1944: 328, 476)—istri [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] adalah wakil ketua ''[[Fujinkai]]'' (organisasi wanita) di Semarang. Selain menjadi dokter di rumah sakit, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] juga pimpinan dari Komite Pembantoe Rakjat (KOPERA) dan Penolong Korban Perang (PEKOPE). PEKOPE adalah organisasi mirip palang merah yang didirikan orang-orang Indonesia. Diketuai dr. Muwardi, PEKOPE memiliki sejumlah anggota yang memiliki latar belakang kedokteran. Masa pendudukan Jepang adalah masa darurat. [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] terhubung dengan Sutardjo Kartahadikusumo—yang di zaman Hindia Belanda mencetuskan petisi Indonesia agar berparlemen. Menurut [[Nugroho Notosusanto]], Sutardjo adalah orang yang menggagas milisi atau wajib militer di Indonesia (Notosusanto, 1979:71).  


Selama di Negeri Belanda, menurut kesaksian Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional (1978: 175), dr. Boentaran bersama dr. Ahmad Mochtar pernah bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Padahal keduanya adalah dokter pemerintah kolonial. Bergabung dengan organisasi seperti itu bisa membuat mereka dipecat. Pada akhir masa pendudukan Jepang, Boentaran termasuk salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Jepang kalah dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Boentaran diangkat menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet presidensial pimpinan Presiden Sukarno. Sebelumnya, pada zaman Jepang, Boentaran pernah menjadi Kepala Bidang Kesehatan Departemen Dalam Negeri, yang berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang. Menjabat sejak 19 Agustus 1945, ia terhitung sebagai Menteri kesehatan Indonesia pertama (Neelakantan, 2019: 124).  
[[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] tidak berpolitik praktis pada zaman Hindia Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, dia sudah tergolong politisi kamitua. [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] kelahiran Loano, Purworejo, titimangsa 11 Januari 1896. Sejak 1918, ia berdinas sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah kejuruan bernama [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|''School tot Opleiding van Indische Artsen'' (STOVIA)]]—yang mendidik calon dokter Hindia atau dokter Jawa—[[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] pernah menjadi dokter pemerintah di Semarang, Banjarmasin, Bulungan, Samarindah, Pulau Laut, Denpasar, Mataram Jember dan lainnya. Dia pernah memperdalam keahliannya di Universitas Leiden, Negeri Belanda, dan mengerjakan tugas akhir ''Bijdrage tot de studie V.H.- Ultra Virus Tuberculeus'' (Anderson, 2018: 482).  


Tatkala dr. Boentaran menjadi menteri inilah, mimpi dr. R.C.L. Senduk dan dr. Bahder Djohan yang pada 1932 hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia bisa tercapai. Dulu, sebelum 1942, hanya ada ''Het Nederland-Indische Rode Kruis'' (NIRK) alias Palang Merah Hindia Belanda di Nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda. Usaha Senduk dan Djohan ditentang orang Belanda ketika hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia dan usaha itu gagal. Kali ini perintah mendirikan palang merah datang dari Presiden Sukarno. Boentaran Martoatmodjo melaksanakannya. Mulanya, titimangsa 5 September 1945, Boentaran terlebih dahulu membentuk Panitia Lima, yang terdiri dari para dokter Indonesia: Raden Mochtar, Bahder Djohan, Jacob Bernadus Sitanala, Djoehana Wiradikarta dan Marzuki. Hasil kerja panitia lima itu ialah terbentuknya organisasi Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua Umum Wakil Presiden Hatta. Ketua harian dijabat Boentaran. Raden Mochtar duduk di kursi sekretaris. Kabinet presidensial yang dipimpin oleh Sukarno tidak lama, hanya dari Agustus hingga November 1945. Kabinet selanjutnya adalah Kabinet Sjahrir Pertama. Posisi Boentaran dalam kabinet ini digantikan oleh dokter yang hampir seumuran dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yakni dr. Darmasetiawan, yang dibantu Menteri Muda Kesehatan dokter Johannes Leimena (Anderson, 2018: 482).
Selama di Negeri Belanda, menurut kesaksian Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional (1978: 175), [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|dr. Boentaran]] bersama dr. Ahmad Mochtar pernah bergabung dengan [[Perhimpunan Indonesia|Perhimpunan Indonesia (PI)]]. Padahal keduanya adalah dokter pemerintah kolonial. Bergabung dengan organisasi seperti itu bisa membuat mereka dipecat. Pada akhir masa pendudukan Jepang, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] termasuk salah satu anggota [[BPUPK/Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Chōsa-kai)|Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)]]. Setelah Jepang kalah dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] diangkat menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet presidensial pimpinan [[Sukarno|Presiden Sukarno]]. Sebelumnya, pada zaman Jepang, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] pernah menjadi Kepala Bidang Kesehatan Departemen Dalam Negeri, yang berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang. Menjabat sejak 19 Agustus 1945, ia terhitung sebagai Menteri kesehatan Indonesia pertama (Neelakantan, 2019: 124).  


Setelah tidak menjadi menteri, Boentaran masuk golongan oposisi dalam pemerintah Sjahrir. Bersama adiknya yang ahli hukum, Budhyarto Martoatmodjo, serta Muhammad Yamin, Boentaran mendekat kepada kelompok Tan Malaka yang juga berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Setelah 29 Juni 1946, setelah Sjahrir diculik dua hari sebelumnya, orang-orang yang dekat dengan Tan Malaka ditangkap—termasuk Ahmad Subardjo, Budhyarto, dan Boentaran. Mereka ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti para penjahat biasa.  
Tatkala [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|dr. Boentaran]] menjadi menteri inilah, mimpi dr. R.C.L. Senduk dan [[Bahder Djohan, Prof. DR.|dr. Bahder Djohan]] yang pada 1932 hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia bisa tercapai. Dulu, sebelum 1942, hanya ada ''Het Nederland-Indische Rode Kruis'' (NIRK) alias Palang Merah Hindia Belanda di Nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda. Usaha Senduk dan Djohan ditentang orang Belanda ketika hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia dan usaha itu gagal. Kali ini perintah mendirikan palang merah datang dari [[Sukarno|Presiden Sukarno]]. [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran Martoatmodjo]] melaksanakannya. Mulanya, titimangsa 5 September 1945, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] terlebih dahulu membentuk Panitia Lima, yang terdiri dari para dokter Indonesia: Raden Mochtar, [[Bahder Djohan, Prof. DR.|Bahder Djohan]], Jacob Bernadus Sitanala, Djoehana Wiradikarta dan Marzuki. Hasil kerja panitia lima itu ialah terbentuknya organisasi Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua Umum Wakil Presiden Hatta. Ketua harian dijabat [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]]. Raden Mochtar duduk di kursi sekretaris. Kabinet presidensial yang dipimpin oleh [[Sukarno]] tidak lama, hanya dari Agustus hingga November 1945. Kabinet selanjutnya adalah Kabinet Sjahrir Pertama. Posisi [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] dalam kabinet ini digantikan oleh dokter yang hampir seumuran dengan Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]], yakni dr. Darmasetiawan, yang dibantu Menteri Muda Kesehatan dokter Johannes Leimena (Anderson, 2018: 482).


Setelah ditahan beberapa hari, mereka kemudian dikeluarkan oleh Jenderal Mayor Sudarsono, panglima tentara daerah Yogyakarta. Mulanya Boentaran dan lainnya dibawa ke Wiyoro dan bertemu Sudarsono. Paginya, bekas tahanan Wirogunan itu dibawa ke depan Istana Gedung Agung Yogyakarta. Titimangsa 3 Juli 1946 Jenderal Mayor Sudarsono, yang membawa tuntutan untuk membubarkan kabinet Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan Politik dengan Tan Malaka sebagai ketua dan Yamin, Ahmad Subardjo, Boentaran, Budhyarto, Sukarno, Chaerul Saleh dan beberapa yang lainnya sebagai anggota. Sebuah maklumat terselip di dalamnya mendesak pengangkatan beberapa tokoh oposisi sebagai menteri—dan Boentaran diusulkan sebagai Menteri Kesehatan lagi. Sukarno tidak mewujudkan tuntutan tersebut. Peristiwa itu diingat sebagai Kudeta 3 Juli (Anderson, 2018: 483).  
Setelah tidak menjadi menteri, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] masuk golongan oposisi dalam pemerintah Sjahrir. Bersama adiknya yang ahli hukum, Budhyarto Martoatmodjo, serta [[Muhammad Yamin]], [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] mendekat kepada kelompok [[Tan Malaka]] yang juga berseberangan dengan [[Sutan Sjahrir]]. Setelah 29 Juni 1946, setelah Sjahrir diculik dua hari sebelumnya, orang-orang yang dekat dengan [[Tan Malaka]] ditangkap—termasuk Ahmad Subardjo, Budhyarto, dan [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]]. Mereka ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti para penjahat biasa.  


Setelah peristiwa itu, Boentaran dan bekas tahanan lain kembali masuk bui di Jawa Timur. Boentaran dapat hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan. Kudeta 3 Juli adalah kudeta paling penuh ampunan dalam sejarah konflik di Indonesia. Memang ada hukuman penjara bagi mereka yang terlibat, namun kehidupan mereka setelah hukuman tidak dipersulit. Boentaran kembali jadi pejabat pada 1950-an.  
Setelah ditahan beberapa hari, mereka kemudian dikeluarkan oleh Jenderal Mayor Sudarsono, panglima tentara daerah Yogyakarta. Mulanya [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] dan lainnya dibawa ke Wiyoro dan bertemu Sudarsono. Paginya, bekas tahanan Wirogunan itu dibawa ke depan Istana Gedung Agung Yogyakarta. Titimangsa 3 Juli 1946 Jenderal Mayor Sudarsono, yang membawa tuntutan untuk membubarkan kabinet Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan Politik dengan [[Tan Malaka]] sebagai ketua dan [[Muhammad Yamin|Yamin]], Ahmad Subardjo, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]], Budhyarto, [[Sukarno]], [[Chaerul Saleh]] dan beberapa yang lainnya sebagai anggota. Sebuah maklumat terselip di dalamnya mendesak pengangkatan beberapa tokoh oposisi sebagai menteri—dan [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] diusulkan sebagai Menteri Kesehatan lagi. [[Sukarno]] tidak mewujudkan tuntutan tersebut. Peristiwa itu diingat sebagai Kudeta 3 Juli (Anderson, 2018: 483).  


Sejak 30 Juni 1954, dr. Boentaran Martoatmodjo diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Pelaku lain, Muhammad Yamin belakangan menjadi Menteri pendidikan di bawah Presiden Sukarno. Tahun 1960-an, Boentaran pernah menjadi Ketua Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Soviet Uni, suatu Lembaga yang ikut membantu pelajar Indonesia kuliah di Rusia. Menteri kesehatan pertama Republik Indonesia—yang berpendapat seharusnya yang disebutkan dalam UUD 1945 RI adalah negara memelihara kesehatan rakyat bukan memelihara fakir miskin dan anak terlantar—ini tutup usia titimangsa 4 Oktober 1979 di Jakarta.
Setelah peristiwa itu, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] dan bekas tahanan lain kembali masuk bui di Jawa Timur. [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] dapat hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan. Kudeta 3 Juli adalah kudeta paling penuh ampunan dalam sejarah konflik di Indonesia. Memang ada hukuman penjara bagi mereka yang terlibat, namun kehidupan mereka setelah hukuman tidak dipersulit. [[Boentaran]] kembali jadi pejabat pada 1950-an.
 
Sejak 30 Juni 1954, dr. [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran Martoatmodjo]] diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Pelaku lain, [[Muhammad Yamin]] belakangan menjadi Menteri pendidikan di bawah [[Sukarno|Presiden Sukarno]]. Tahun 1960-an, [[Boentaran Martoatmodjo, dr.|Boentaran]] pernah menjadi Ketua Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Soviet Uni, suatu Lembaga yang ikut membantu pelajar Indonesia kuliah di Rusia. Menteri kesehatan pertama Republik Indonesia—yang berpendapat seharusnya yang disebutkan dalam UUD 1945 RI adalah negara memelihara kesehatan rakyat bukan memelihara fakir miskin dan anak terlantar—ini tutup usia titimangsa 4 Oktober 1979 di Jakarta.


Penulis: Muhammad Iqbal
Penulis: Muhammad Iqbal
Line 29: Line 31:


Notosusanto, Nugroho. (1979). ''Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia''. Jakarta: Gramedia.
Notosusanto, Nugroho. (1979). ''Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia''. Jakarta: Gramedia.
{{Comment}}
[[Category:Tokoh]]
[[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 11:25, 12 September 2024

Boentaran Martoatmodjo. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.0812

Boentaran Martoatmodjo adalah Menteri Kesehatan yang pertama sejak terbentuknya kabinet presidensial RI yang pertama. Pada zaman pendudukan Jepang, dokter Boentaran Martoatmodjo menetap di Semarang dan bekerja di rumah sakit pemerintah. Menurut data pemerintah militer Jepang—yang terhimpun dalam Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944: 328, 476)—istri Boentaran adalah wakil ketua Fujinkai (organisasi wanita) di Semarang. Selain menjadi dokter di rumah sakit, Boentaran juga pimpinan dari Komite Pembantoe Rakjat (KOPERA) dan Penolong Korban Perang (PEKOPE). PEKOPE adalah organisasi mirip palang merah yang didirikan orang-orang Indonesia. Diketuai dr. Muwardi, PEKOPE memiliki sejumlah anggota yang memiliki latar belakang kedokteran. Masa pendudukan Jepang adalah masa darurat. Boentaran terhubung dengan Sutardjo Kartahadikusumo—yang di zaman Hindia Belanda mencetuskan petisi Indonesia agar berparlemen. Menurut Nugroho Notosusanto, Sutardjo adalah orang yang menggagas milisi atau wajib militer di Indonesia (Notosusanto, 1979:71).

Boentaran tidak berpolitik praktis pada zaman Hindia Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, dia sudah tergolong politisi kamitua. Boentaran kelahiran Loano, Purworejo, titimangsa 11 Januari 1896. Sejak 1918, ia berdinas sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah kejuruan bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)—yang mendidik calon dokter Hindia atau dokter Jawa—Boentaran pernah menjadi dokter pemerintah di Semarang, Banjarmasin, Bulungan, Samarindah, Pulau Laut, Denpasar, Mataram Jember dan lainnya. Dia pernah memperdalam keahliannya di Universitas Leiden, Negeri Belanda, dan mengerjakan tugas akhir Bijdrage tot de studie V.H.- Ultra Virus Tuberculeus (Anderson, 2018: 482).

Selama di Negeri Belanda, menurut kesaksian Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional (1978: 175), dr. Boentaran bersama dr. Ahmad Mochtar pernah bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Padahal keduanya adalah dokter pemerintah kolonial. Bergabung dengan organisasi seperti itu bisa membuat mereka dipecat. Pada akhir masa pendudukan Jepang, Boentaran termasuk salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah Jepang kalah dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Boentaran diangkat menjadi Menteri Kesehatan dalam kabinet presidensial pimpinan Presiden Sukarno. Sebelumnya, pada zaman Jepang, Boentaran pernah menjadi Kepala Bidang Kesehatan Departemen Dalam Negeri, yang berada di bawah kendali pemerintah militer Jepang. Menjabat sejak 19 Agustus 1945, ia terhitung sebagai Menteri kesehatan Indonesia pertama (Neelakantan, 2019: 124).

Tatkala dr. Boentaran menjadi menteri inilah, mimpi dr. R.C.L. Senduk dan dr. Bahder Djohan yang pada 1932 hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia bisa tercapai. Dulu, sebelum 1942, hanya ada Het Nederland-Indische Rode Kruis (NIRK) alias Palang Merah Hindia Belanda di Nusantara yang kala itu bernama Hindia Belanda. Usaha Senduk dan Djohan ditentang orang Belanda ketika hendak mendirikan palang merah untuk orang Indonesia dan usaha itu gagal. Kali ini perintah mendirikan palang merah datang dari Presiden Sukarno. Boentaran Martoatmodjo melaksanakannya. Mulanya, titimangsa 5 September 1945, Boentaran terlebih dahulu membentuk Panitia Lima, yang terdiri dari para dokter Indonesia: Raden Mochtar, Bahder Djohan, Jacob Bernadus Sitanala, Djoehana Wiradikarta dan Marzuki. Hasil kerja panitia lima itu ialah terbentuknya organisasi Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua Umum Wakil Presiden Hatta. Ketua harian dijabat Boentaran. Raden Mochtar duduk di kursi sekretaris. Kabinet presidensial yang dipimpin oleh Sukarno tidak lama, hanya dari Agustus hingga November 1945. Kabinet selanjutnya adalah Kabinet Sjahrir Pertama. Posisi Boentaran dalam kabinet ini digantikan oleh dokter yang hampir seumuran dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yakni dr. Darmasetiawan, yang dibantu Menteri Muda Kesehatan dokter Johannes Leimena (Anderson, 2018: 482).

Setelah tidak menjadi menteri, Boentaran masuk golongan oposisi dalam pemerintah Sjahrir. Bersama adiknya yang ahli hukum, Budhyarto Martoatmodjo, serta Muhammad Yamin, Boentaran mendekat kepada kelompok Tan Malaka yang juga berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Setelah 29 Juni 1946, setelah Sjahrir diculik dua hari sebelumnya, orang-orang yang dekat dengan Tan Malaka ditangkap—termasuk Ahmad Subardjo, Budhyarto, dan Boentaran. Mereka ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti para penjahat biasa.

Setelah ditahan beberapa hari, mereka kemudian dikeluarkan oleh Jenderal Mayor Sudarsono, panglima tentara daerah Yogyakarta. Mulanya Boentaran dan lainnya dibawa ke Wiyoro dan bertemu Sudarsono. Paginya, bekas tahanan Wirogunan itu dibawa ke depan Istana Gedung Agung Yogyakarta. Titimangsa 3 Juli 1946 Jenderal Mayor Sudarsono, yang membawa tuntutan untuk membubarkan kabinet Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan Politik dengan Tan Malaka sebagai ketua dan Yamin, Ahmad Subardjo, Boentaran, Budhyarto, Sukarno, Chaerul Saleh dan beberapa yang lainnya sebagai anggota. Sebuah maklumat terselip di dalamnya mendesak pengangkatan beberapa tokoh oposisi sebagai menteri—dan Boentaran diusulkan sebagai Menteri Kesehatan lagi. Sukarno tidak mewujudkan tuntutan tersebut. Peristiwa itu diingat sebagai Kudeta 3 Juli (Anderson, 2018: 483).

Setelah peristiwa itu, Boentaran dan bekas tahanan lain kembali masuk bui di Jawa Timur. Boentaran dapat hukuman dua tahun penjara dipotong masa tahanan. Kudeta 3 Juli adalah kudeta paling penuh ampunan dalam sejarah konflik di Indonesia. Memang ada hukuman penjara bagi mereka yang terlibat, namun kehidupan mereka setelah hukuman tidak dipersulit. Boentaran kembali jadi pejabat pada 1950-an.

Sejak 30 Juni 1954, dr. Boentaran Martoatmodjo diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Pelaku lain, Muhammad Yamin belakangan menjadi Menteri pendidikan di bawah Presiden Sukarno. Tahun 1960-an, Boentaran pernah menjadi Ketua Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Soviet Uni, suatu Lembaga yang ikut membantu pelajar Indonesia kuliah di Rusia. Menteri kesehatan pertama Republik Indonesia—yang berpendapat seharusnya yang disebutkan dalam UUD 1945 RI adalah negara memelihara kesehatan rakyat bukan memelihara fakir miskin dan anak terlantar—ini tutup usia titimangsa 4 Oktober 1979 di Jakarta.

Penulis: Muhammad Iqbal


Referensi:

Anderson, Benedict. (2018). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. terj.: Jiman Rumbo. ed.: Muhammad Iqbal. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Gunseikanbu. (1944). Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa. Djakarta.

Matanasi, Petrik. (2021). “Boentaran Martoatmodjo: Perjalanan Politisi Pendiri PMI”, tirto.id. https://tirto.id/boentaran-martoatmodjo-perjalanan-politisi-pendiri-pmi-gi7L diakses pada 5 Oktober 2021, pukul 15.47 WIB.

Neelakantan, Vivek. (2019). Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno. terj.: Thomas Bambang Murtianto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Notosusanto, Nugroho. (1979). Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.