Mohammad Rasjidi: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
Line 19: Line 19:


Endang Basri Ananda. 1985. ''70 Tahun Prof.Dr. H.M. Rasjidi''. Jakarta: Pelita.
Endang Basri Ananda. 1985. ''70 Tahun Prof.Dr. H.M. Rasjidi''. Jakarta: Pelita.
{{Comment}}
[[Category:Tokoh]]
[[Category:Tokoh]]

Revision as of 01:08, 9 August 2023

Haji Mohammad Rasjidi, atau yang semasa kecil bernama Saridi, lahir pada tanggal 20 Mei 1915 di Kotagede, Yogyakarta. Berangkat dari sekolah Angka Loro, sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, ia kemudian memutuskan pindah ke sekolah Muhammadiyah Kotagede. Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia kemudian melanjutkan pembelajarannya di Al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur. Sekira dua tahun mengenyam pendidikan di Lawang, Rasjidi memperoleh gelar diploma pada usia 15 tahun (Ananda, 1985: 4-5).

Pada tahun 1931 Rasjidi memantapkan hati berangkat ke Kairo, dan mendaftarkan diri di Qisim A-am, sekolah bagian umum. Selama di sana, ia aktif berorganisasi, terutama setelah bergabung dan diangkat sebagai wakil ketua Persatuan Pemuda Indonesia Malaya. Untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab, Rasjidi melanjutkan ke sekolah guru tinggi Darul Umum dengan terlebih dahulu mengikuti persiapan. Minatnya akan ilmu filsafat agama semakin meningkat setelah ia terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Filsafat dan Agama, Fakultas Sastra, Universitas Kairo, Mesir (Ananda, 1985: 12-16).

Setelah kurang-lebih tujuh tahun menimba ilmu di Kairo, Rasjidi kembali ke tanah air. Setibanya di Indonesia, ia tertarik bergabung dengan PII (Partai Islam Indonesia) yang didirikan pada bulan Desember 1938 di Solo. Selain aktivitas politik, Rasjidi diketahui mulai meniti karir di dunia pendidikan dengan mengambil tawaran mengajar di Pesantren Luhur, Solo, meski hanya dapat bertahan selama delapan bulan tersebab pecahnya Perang Pasifik. Dalam situasi politik yang tengah memanas ketika invasi Jepang terjadi, Rasjidi menerima sebuah surat dari Suwandi (Pejabat Tinggi Departemen Pengajaran dan Peribadatan) yang berisi tentang perintah dari Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon untuk mengelola perpustakaan di Jakarta. Perpustakaan tersebut nantinya akan diberi nama Perpustakaan Islam (Ananda, 1985: 18-25).

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanpa disangka nama Rasjidi tercantum sebagai Menteri Negara dalam susunan Kabinet Sjahrir I yang dibentuk pada 14 November 1945. Setelah menerima kabar yang mengejutkan itu, Rasjidi menjalankan tugasnya selama dua bulan sebelum ia ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Dalam pidato pengukuhannya, ia mengemukakan tentang pentingnya toleransi antar umat beragama di Indonesia, terutama pada situasi awal revolusi yang rawan konflik. Pada tanggal 3 Januari 1946, bertepatan dengan dipindahkannya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta, melalui siaran Radio Republik Indonesia, Rasjidi menyampaikan bahwa Kementerian Agama telah dibentuk. Ketika Kabinet Sjahrir III disusun, nama Rasjidi tidak lagi termaktub dalam daftar menteri. Ia ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, yang berkedudukan di Yogyakarta (Ananda, 1985: 31-35).

Tugas negara kembali diemban oleh Rasjidi ketika ia diutus menyambut Mohammad Abdul Mounem (Konsul Jendral Mesir) yang tanpa pemberitahuan sebelumnya, telah mendarat di Maguwo Yogyakarta pada Maret 1947. Sebagai utusan Liga Arab, kedatangan Mounem di Indonesia bertujuan mengadakan dialog mengenai bantuan yang dapat diberikan oleh negara-negara Arab dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Delegasi Diplomatik RI pun segera dibentuk dengan Haji Agus Salim sebagai ketuanya. Rasjidi ditunjuk sebagai sekretaris sekaligus bendahara delegasi. Delegasi Indonesia yang diberangkatkan pada 17 Maret 1947 ini berhasil menggalang dukungan dengan penandatanganan Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dan Mesir pada 10 Juni 1947 (Ananda, 1985: 37).

Sementara itu, Indonesia digempur oleh Agresi Militer I. Rasjidi ditunjuk H. Agus Salim untuk menjadi Perwakilan RI di Kairo. Berbekal kedudukan barunya, Rasjidi melanjutkan perjuangan dalam menggalang dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi, terutama kepada Pemerintahan Saudi. Pasca Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949, Rasjidi kembali mendapat kepercayaan dari Pemerintah RI. Ia ditugaskan menjadi Duta Besar Indonesia di Mesir, dan pada tahun 1953 menjadi Duta Besar Indonesia di Iran. Setelah 11 bulan, Rasjidi kembali ke Indonesia dan ditugaskan di Dirjen Penerangan Deplu (Ananda, 1985: 37-51).

Memasuki periode Demokrasi Liberal, Rasjidi bertugas di Akademi Dinas Luar Negeri, yang pada waktu itu diketuai oleh Subardjo. Di sana, ia memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan sumber-sumber terkait disertasinya. Ia melanjutkan studi ke Universitas Sorbonne ketika datang tawaran beasiswa Rockefeller Foundation. Pada tahun 1956, Rasjidi mampu mempertahankan disertasinya dan mendapat gelar doktor. Begitu menyelesaikan studi, Rasjidi ditunjuk menjadi Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Pakistan. Sementara itu, aktivitas dunia akademiknya kembali dimulai setelah ia menerima tawaran mengajar di McGill University, Kanada, sebagai Associate Professor dalam Ilmu Agama Islam (Ananda, 1985: 56-60). Setelah lima tahun mengajar kemudian ia menjadi wakil direktur Islamic Centre di Washington D.C., Rasjidi pulang ke tanah air pada 1967. Ia diminta menjadi pengajar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 20 April 1968, Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam. Di usia senjanya, Rasjidi masih disibukkan dengan kegiatannya menyusun karya tulis filsafat Islam (Ananda, 1985: 65-71).

Penulis: Florentinus Galih Adi Utama


Referensi

Endang Basri Ananda. 1985. 70 Tahun Prof.Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Pelita.