Wolter Monginsidi

From Ensiklopedia
Revision as of 17:01, 25 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)

Terlahir dengan nama Robert Wolter Monginsidi (pada sumber lain disebut Mongisidi) pada 14 Februari 1925, sejak kecil ia lebih dikenal dengan sebutan Bote, dalam bahasa Bantik bermakna ajakan “mari”. Pasangan Petrus Monginsidi dan istrinya Lina Suawa dikaruniai 11 orang anak, dan Wolter adalah yang ketiga. Ia lahir di Malalayang, pesisir sebelah Timur kota Manado (Kementerian Penerangan 1953: 366). Karakter keras Wolter sejak dini telah ditempa oleh lingkungan yang menantang. Jauh sebelum kelahirannya, Tanah Minahasa, khususnya Menado (ejaan lama) sudah dikenal luas oleh bangsa-bangsa Eropa. Tercatat banyak ilmuwan yang pernah mengunjungi wilayah ini, salah satunya adalah Alfred Russel Wallace pencetus garis Wallacea (Wallace, 2009: 179). Oleh sebab itu, walau tidak berasal dari keluarga bangsawan, Wolter memilih jalan pendidikan sebelum menceburkan diri pada perang fisik.

Meskipun tertatih, ia masuk di dua sekolah berbahasa pengantar Belanda yakni HIS (Holland Inlandsche School) dan MULO. Di HIS ia menempuh pendidikan selama 7 tahun, setelah tamat ia melanjutkan ke MULO Frater di Manado namun tidak selesai karena pendudukan Jepang. Wolter masuk sekolah Jepang, selanjutnya sekolah pegawai di Tomohon. Selesai dari dua lembaga tersebut, ia ditugaskan sebagai Guru di Liwutung (Distrik Ratahan, wilayah Minahasa). Hanya beberapa bulan di tempat tersebut ia dipindahkan ke Luwuk untuk menjadi guru bahasa Jepang di sana bertepatan juga kakaknya sudah lebih dahulu berada di wilayah itu (Kementerian Penerangan, 1953: 366; Sinansari, 1981: 10).

Kisah perjuangan Wolter Monginsidi melawan bangsa penjajah dimulai saat ia berkesempatan keluar dari kampung halaman, yakni pada masa pendudukan Jepang. Ia diajak kakaknya yang telah bekerja di Luwuk (Sulawesi Tengah). Hanya beberapa bulan di kota kecil tersebut, ia mendapat surat dari kakak tertuanya yang bertugas sebagai Polisi di Makassar. Ia diminta untuk melanjutkan pendidikan di kota Makassar. Mendapat surat itu ia segera bersiap untuk kembali merantau di Makassar. Ia berangkat pada 1945 saat Jepang telah mengumumkan menyerah kepada sekutu. Bersamaan dengan peristiwa itu pula, Kemerdekaan Indonesia diumumkan dan segera menjadi kehebohan serta menjadi pemantik jiwa patriotisme, terutama di kota-kota besar, termasuk Makassar. Pada kondisi seperti itulah, ia tiba dan segera dimasukan oleh kakaknya di sekolah menengah negeri yang dibentuk setelah proklamasi.

Datang pada situasi yang cukup revolusioner membuat jiwa liar Wolter tersalurkan pada arena perang sesungguhnya. Sebelum ke medan perang, sebenarnya jiwa berontak Wolter telah terlihat, saat kesebelasan SMP-nya berhadapan dengan klub sepak bola Marine Belanda. Mereka sebenarnya bukanlah klub yang akan bertanding pada hari itu, akan tetapi mereka meminta diberi kesempatan bermain. Saat klub yang sesungguhnya datang dan menghentikan klub Wolter dan kawan-kawan yang sementara bertanding, ia marah. Sesaat kemudian terjadi adu jotos dan ia menyebut bahwa lapangan ini milik orang Indonesia bukan Belanda sehingga Wolter dan kawannya lebih berhak menggunakan (Sinansari, 1981: 13). Suatu ekspresi jiwa nasionalisme yang tidak banyak dimiliki anak berusia di bawah 20 tahun.

Jiwa revolusioner semakin membara saat pemerintahan nasional Indonesia di Sulawesi di bawah Gubernur Ratulangi yang baru seumur jagung, diambil alih secara paksa oleh sekutu dan diserahkan kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Kejadian ini membuat banyak pemuda, termasuk Wolter berontak. Pada tahun-tahun berikutnya, hingga disepakatinya perjanjian damai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada penghujung 1949, menjadi arena perang yang sesungguhnya antara elemen-elemen pemuda revolusioner Indonesia dan bangsa penjajah. Perang gerilya terjadi di banyak tempat di Indonesia, termasuk di Makassar (Ricklefs, 2005: 447).

Di kota Makassar, Wolter menjadi salah satu penggerak dalam serangkaian serangan terhadap polisi maupun tentara NICA yang bertugas di Kota Makassar. Tergabung dalam “Harimau Indonesia”, ia banyak memimpin penyergapan dan perampasan senjata api dari tangan penjajah. Kelompok ini merupakan salah satu bagian dari Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi (Lapris) yang merupakan gabungan dari belasan organisasi kelaskaran. Di organisasi induk itu, Wolter dipercaya sebagai sekretaris, ini tentu karena pendidikan dan pengalamannya (Raditya, 2019).

Banyak laskar yang bergerak pada saat itu, namun yang paling terkenal adalah Harimau Indonesia satu tokoh kuncinya Wolter Monginsidi. Ia terkenal karena pada aksi-aksi penyerangan tersebut tidak segan menyebutkan namanya. Sebuah wujud dari keberanian yang tidak lazim pada masa perang gerilya, misalnya saat mereka melakukan perampasan senjata dan seragam polisi. Setelah melumpuhkan keduanya, ia mencabut pistol dan mengatakan dengan lantang, saya Wolter Monginsidi. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali. Pada kejadian lain, ia bahkan mengikat dan menelanjangi dua opsir Belanda (Ecip, 1981: 36).

Setelah mengorganisir kawan-kawan yang punya pemikiran sama dengannya, tiba saatnya Wolter membuat serangan yang lebih terbuka. Siang pada 3 November 1946, Wolter dan kawan-kawan sedang berkumpul untuk makan bersama. Sebelum makanan dihidangkan, muncul ide di kepalanya untuk merampas senjata dua tentara KNIL yang sedang berpatroli. Sebagian kawan-kawannya menentang ide itu, tetapi menurutnya kesempatan emas pantang dibuang. Sebagian teman yang setuju dengan Wolter kemudian mengatur siasat, dan akhirnya tepat pukul 12 siang ia memulai serangan. Sangat disayangkan, perkiraan Wolter meleset, yang mereka hadapi lebih dari dua orang. Bahkan dua jam setelah pertempuran dimulai, pasukan tambahan dari tangsi militer kota Makassar mulai datang dan memukul mundur pasukan Wolter Monginsidi. Menjelang petang mereka akhirnya memilih opsi mundur, beruntung beberapa warga bersimpati dan bersedia merawat para pemuda tersebut (Ecip, 1981: 42).

Kisah lain dari keberanian Wolter terjadi pada 3–7 Januari 1947 saat puluhan pasukannya harus menghadapi 14 mobil tentara Belanda yang bersenjata lebih lengkap dan modern. Pada pertempuran tersebut dua sahabatnya Emmy Saelan dan Maramis gugur, sementera ia hanya terluka dan masih terus bertekad meneruskan perjuangan (Kementerian Penerangan, 1953: 367). Setelah kejadian tersebut intensitas patroli untuk menangkap Wolter makin ditingkatkan. Hasilnya pada 27 Februari 1947 ia berhasil ditangkap dan dimasukan dalam penjara. Di dalam penjara ia masih mengatur siasat dengan sahabat-sahabatnya yang diberi kesempatan menjenguk. Kemudian disusun strategi untuk memasukkan granat di dalam roti. Granat tersebut digunakan untuk meledakkan penjara. Melalui cara itu, ia berhasil lolos dan kembali menyusun strategi untuk melawan Belanda. Menjelang pagi, saat menyusun strategi di rumah sahabatnya, Wim Wairuhu, ia berhasil disergap tentara Belanda. Akhirnya pelariannya harus berhenti dan kembali masuk dalam penjara militer yang lebih ketat. Tangan dan kakinya dirantai dan tidak lagi bebas bertemu pembesuk (Kementerian Penerangan, 1953: 367).

Selama ditahan, ia didakwa dengan pasal berlapis, setidaknya sebelas tuduhan mulai dari pembunuhan, perampokan berulang kali pada polisi, pembakaran, hingga kepemilikan senjata api ilegal (Nieuwe Courant, 11 Februari 1949). Ia mengakui semua tuduhan tersebut, bahkan pada persidangan untuk teman-temannya dia bertanggung jawab dan mengaku sebagai pimpinan yang memerintahkan aksi-aksi tersebut. Atas tuduhan itu, pada 26 Maret 1949 Wolter divonis hukuman mati oleh Hakim Negara Meester Dr. B. Damen. Ia diberi waktu untuk memohon grasi, namun kesempatan tersebut tidak diambil. Melalui surat kepada keluarganya dengan penuh keyakinan ia menulis:

“...pun saya tidak minta grasi, jatuh atau bangun tidak usah saya cari dari manusia, sebab walau bagaimana keadilan tidak ada di dunia. Manusia hanyalah alat dari keadilan, dan keadilan itulah pada Tuhan sendiri. Sekali saya minta grasi berarti keyakinanku akan keadilan telah kendur dan sedetik saja saya gentar hadapi maut berarti kendurnya keyakinanku terhadap Tuhan” (Ecip, 1981: 130).

Kalimat di atas hanya bagian kecil dari banyaknya surat Wolter yang dikirimkan kepada keluarga, terutama setelah vonis hukuman mati dibacakan. Atas vonis tersebut, pemerintah republik bereaksi dan meminta kepada pemerintah Belanda untuk menunda eksekusi Wolter Monginsidi di Makassar dan tujuh pemuda lainnya yang dijatuhi hukuman yang sama di Sidoarjo, Jawa Timur (Het Dagblad, 12 September 1949). Meskipun berbagai upaya oleh pemerintah Republik dan teman-teman Wolter untuk menunda dan menggagalkan eksekusi tersebut, akhirnya menjelang pagi pada 5 September 1959, Wolter dieksekusi. Sebelum eksekusi, ia sempat menulis beberapa kata luar biasa pada secarik kertas yang terselip pada Bibel yang terus menemaninya hingga akhir hayat (Kementerian Penerangan, 1953: 370). “Setia hingga akhir dalam keyakinan” itulah kalimat terakhir yang ia tuliskan sebagai penegasan atas sikap dan jiwa nasionalisme yang membara hingga akhir hayat.

Penulis: Helman Manay


Referensi

Ecip, S. Sinansari, Jejak Kaki Wolter Monginsidi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).

Het Dagblad, edisi 12 September 1949 “Executie van Monginsidi” hal. 2 kolom 7

Iswara N. Raditya, Wolter Monginsidi; Ia yang Mati Muda Demi Indonesia dalam tirto.id edisi 5 September 2019. Diakses pada 20 Oktober 2021 https://tirto.id/wolter-monginsidi-ia-yang-mati-muda-demi-indonesia-ciZT

Kementerian Penerangan RI, Republik Indonesia Propinsi Sulawesi (Makassar: Kementerian Penerangan, 1953).

Nieuwe Courat, edisi 10 Februari 1949 “Harimau Indonesia” halaman 1 kolom 7

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 terjemahan Satrio Wahono, dkk (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005).

Wallace, Alfred Russel., Kepulauan Nusantara; Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam terjeman Tim Komunitas Bambu (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).