Achmad Sjaichu
Achmad Sjaichu adalah seorang tokoh ulama, organisatoris, dan politisi yang terkemuka. Ia dilahirkan di Surabaya pada 29 Juni 1921, dari pasangan K.H. Abdul Chamid dan Nyai Hj. Fatimah. Pada 1923, saat Sjaichu berusia dua tahun, ayahandanya meninggal dunia. Kemudian, Sjaichu menyelesaikan pendidikan di Madrasah Tashwirul Afkar pada 1934 dan Madrasah Nahdlatul Wathan pada 1937 (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 3-5). Setelah Sjaichu tamat belajar, ibunya dipinang oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang tokoh ulama kharismatik dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 5). Pada 1938, saat berusia 17 tahun, Syaichu belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang di bawah asuhan K.H. Ma’shum. Namun, pada 1940, ia terpaksa pulang ke Surabaya, karena ia terserang tipes yang parah. Pada 5 Januari 1945 Achmad Sjaichu menikah dengan Solchah. Di Surabaya, ia membuka toko sepatu, sambil mengajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris bagi para pemuda (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 6-9).
Saat Belanda memasuki Kota Surabaya pasca 10 November 1945, Sjaichu mengungsi ke Bangil dan membentuk Persatuan Gabungan Perjuangan Surabaya (PGPS). Pada Juli 1947, PGPS dibubarkan setelah Belanda berhasil memasuki Bangil. Banyak anggota PGPS ditawan atau ditembak mati oleh Belanda. Pada 1948 ia pulang kembali ke Surabaya setelah kondisi aman (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 12). Sejak itu, Sjaichu mulai mengajar di sebuah Madrasah NU dan mulai aktif menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan. Pada 1950-1956, ia menjadi pegawai Kantor Pengadilan Agama Surabaya hingga Departemen Agama (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 13).
Setelah NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik pada 1952, nama Achmad Sjaichu semakin dikenal luas. Menurutnya, pecah kongsi antara NU dan Masyumi adalah konsekuensi logis dari sebuah realitas politik (Maarif, 1987: 120). Pada 1953, ia dan beberapa tokoh NU Surabaya membentuk Lajnah Pemilihan Umum (Lapunu) daerah Jawa Timur (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 23-24). Sjaichu mengusulkan agar tanda gambar Partai NU pada Pemilu 1955 tetap seperti simbol NU dengan tulisan Arab dan ditambah huruf latin NU di bawahnya (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 16). NU berhasil mengumpulkan 18,4% suara. Hal ini menempatkan NU sebagai empat besar, bersama PNI, Masyumi, dan PKI (Haidar, 1998: 175). Keberhasilan itu membawa Sjaichu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari daerah pemilihan Jawa Timur, dan secara resmi Sjaichu pindah ke Jakarta.
Karir politiknya semakin melesat saat rapat fraksi NU pada 25 November 1958. Ia terpilih sebagai Ketua Fraksi NU pada periode 1958 hingga 1960. Ia juga terpilih menjadi salah satu pengurus harian PBNU pada 1962-1967 dan sekaligus menjadi Ketua Fraksi NU di DPR (Fealy, 2007: 383-384). Pada masa itu pula, Achmad Sjaichu menyampaikan gagasannya tentang perlunya persatuan negara-negara Islam Asia-Afrika. Ia adalah orang pertama yang menggagas KIAA pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1963 dan mendapat respon positif dari beberapa pimpinan ormas Islam. Oleh karena saat itu, panitia persiapan belum memiliki gedung dan ruangan sendiri, Achmad Sjaichu menggunakan ruangan untuk golongan Islam, yakni fraksi NU di Gedung DPRGR Jalan Lapangan Banteng (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 85-86).
Berdasar atas arahan dari Presiden Sukarno, KIAA I ditetapkan pada 6-19 Maret 1965. Konferensi tersebut diikuti oleh 107 orang dari 33 negara dan 40 orang dari Indonesia. Adapun negara-negara yang mengirimkan utusannya antara lain, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia, Kamboja, India, Pakistan, Sri Lanka, Jepang, RRC, Aljazair, Angola, Ghana, Jordania, Senegal, Irak, Maroko, dsb. (Yayasan Islam Al-Hamidiyah 2020: 87). Konferensi tersebut juga menjadi tonggak lahirnya Organisasi Islam Asia-Afrika (OIAA), di mana Achmad Sjaichu terpilih sebagai Presiden OIAA setelah sebelumnya terpilih sebagai Sekretaris Jenderal KIAA. Ia juga aktif dalam Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Dunia Islam) dan Dewan Tertinggi Masjid Dunia di Makkah (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 79; Bruinessen, 1994: 286).
Saat Presiden Sukarno mengumumkan Demokrasi Terpimpin, beberapa pucuk pimpinan NU, dengan mudah dapat beradaptasi dengan konsep tersebut. Menurut Achmad Sjaichu, dalam memandang Demokrasi Terpimpin, umat Islam berada pada dua kelompok, yakni di dalam maupun di luar sistem. Keduanya adalah ijtihad yang sama-sama berlandaskan pada agama (Maarif, t.t.: 90). Pada Maret 1960, Sukarno membubarkan parlemen yang telah terpilih pada 1955 dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang kemudian diketuai oleh K.H. Achmad Sjaichu (Bruinessen, 1994: 74).
Sebagai Ketua DPRGR, Achmad Sjaichu kritis terhadap pemerintah Sukarno. Setidaknya ada dua hal yang menjadi kritik utama, yaitu rencana pendirian Menara Bung Karno dan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 45). Melalui DPRGR, Achmad Sjaichu juga meloloskan Memorandum DPRGR yang dikeluarkan pada 9 Februari 1967 sebagai respon atas Pidato Presiden Sukarno di depan sidang MPRS pada 22 Juni 1966 (Nawaksara) yang dinilai gagal. Isi dari memorandum tersebut adalah pemberhentian Presiden Sukarno dan mengangkat pejabat presiden sesuai dengan pasal 3 Tap MPRS No.XV/MPRS/1966, serta desakan sidang istimewa (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 49). Pada Maret 1967, MPRS menggelar sidang istimewa dengan agenda tunggal memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Jenderal Soeharto (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 50).
Pada 1966, Achmad Sjaichu menyetujui Resolusi DPRGR yang berisi desakan kepada pemerintah agar dapat melakukan penyegaran lembaga. Akibatnya, Orde Baru semakin menguat pada 1973 dan NU terpaksa menerima fusi tiga partai. NU bersama partai-partai Islam yang lain bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara itu partai nasionalis dan Kristen bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sebagai wakil ketua PBNU, Achmad Sjaichu justru melihat hal itu sebagai sesuai yang menguntungkan, karena sebelumnya NU telah mengorbankan tugas-tugas pendidikan dan dakwahnya (Bruinessen, 1994: 102). Meskipun demikian, NU tetap mampu menolak penghapusan asas Islam dan penyeragaman asas tunggal bagi partai (Feillard, 2008: 157-158).
Pasca-Muktamar NU di Semarang pada 1979, Achmad Sjaichu memutuskan mundur dari NU (Feillard, 2008: 192-193; Ridwan, 2020: 133). Meskipun ia mundur dari arena politik dan organisasi, tidak menyurutkan langkahnya dalam berdakwah. Ia kembali menggeluti organisasi dakwah yang telah ia dirikan pada 31 Agustus 1978, yaitu Ittihadul Muballighin (Persatuan para pendakwah) (Bruinessen, 1994: 286). Setelah istrinya, Solchah wafat pada 24 Maret 1986, Achmad Sjaichu mulai menggagas pembangunan pesantren. Tidak lama, Achmad Sjaichu menikah dengan Azizah Sri Wedari Imam seorang aktivis Muslimat NU di Banyuwangi. Ia menemani hari-hari K.H. Achmad Sjaichu. Pada 1987, pembangunan pesantren mulai dilakukan dan selesai pada 17 Juli 1988. Pada tahun itu, pesantren yang ia beri nama Al-Hamidiyah, mengikuti nama ayahnya, Abdul Chamid, mulai dibuka dan mulai menerima santri (Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 2020: 107). Pada 1989, K.H. Achmad Sjaichu mulai resmi pindah dari rumahnya di Kawasan Slipi ke Pondok Pesantren Al-Hamidiyah di Depok hingga akhir hayatnya.
Penulis: Rabith Jihan Amaruli
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terjemahan Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, Ali M. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia.
Fealy, Greg. 2007. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, terjemahan Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar. Yogyakarta: LKiS.
Feillard, Andree. 2008. NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, terjemahan Lesmana. Yogyakarta: LKiS.
Maarif, Ahmad Syafii. 1987. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Press.
Ridwan, Nur Khaliq. 2020. Ensiklopedia Khitah NU Jilid IV. Yogyakarta: Diva Press.
Yayasan Islam Al-Hamidiyah. 2020. KH. Achmad Sjaichu Kembali ke Pesantren Menebar Manfaat & Maslahat. Jakarta: Pustaka Compass.