Aksi Sepihak PKI

From Ensiklopedia

Aksi sepihak bermakna suatu tindakan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu secara bersama-sama dan terorganisir untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Aksi sepihak PKI menunjukkan tindakan keras dari satu pihak yang dilakukan oleh anggota PKI dan atau organisasi massa yang berafiliasi dengan PKI. Peristiwa aksi sepihak PKI terjadi di berbagai tempat, antara lain Jengkol (1961), Klaten (1964), Indramayu (1964), Kanigoro (1965), dan Bandar Betsy (1965). Bahkan, aksi sepihak PKI di Jawa Timur tersebar luas di banyak tempat dari ujung barat di Ngawi sampai ujung timur di Banyuwangi (Abdullah 2012: 491)

Peristiwa Bandar Betsy, kecamatan Bandar Huluan, Simalungun, Sumatera Utara, dilakukan dengan cara penguasaan paksa perkebunan negara. Pada peristiwa ini, yang menjadi korban adalah Sudjono (anggota TNI) sebagai penjaga yang mempertahankan lahan perkebunan. Kasus sengketa telah berlangsung sebelum peristiwa itu terjadi, bahkan berlarut-larut pada tahun berikutnya (Pujiriyani dan Limbong 2013). Salah satu desa di kabupaten Kediri juga dikenal aksi sepihak pada Peristiwa Jengkol yang dikenang dalam bentuk aksi demonstrasi yang berlanjut pada upaya penguasaan tanah perkebunan tebu yang terjadi pada 15 November 1961. Pelaku tidak hanya melibatkan penduduk dusun setempat, tetapi banyak orang dari luar dusun ikut terlibat dengan korban tewas adalah pelaku aksi (Anwar 2006).

Peristiwa aksi sepihak lainnya terjadi di Klaten tahun 1964. Aksi sepihak di Klaten berlangsung di Jogonalan kelurahan Kraguman menyangkut sengketa tanah seluas kurang dari seperempat hektar antara dua warga di kelurahan. Satu pihak mendapatkan pembelaan dari tokoh-tokoh Barisan Tani Indonesia (BTI) setempat, sehingga menggerakkan mereka untuk melakukan aksi. Sengketa lahan terjadi pula di desa Soge, Indramayu, melibatkan kuwu (pemimpin desa) yang berujung pada pemenjaraan pelaku aksi (Safitri 2018). Suasana panas dan menegangkan terjadi pada tanah yang sudah diwaqafkan oleh Anwar Shodiq kepada Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Waqaf Pondok Modern Gontor digugat oleh petani penggarap di Desa Sambirejo, Mantingan, Ngawi. Bahkan, aksi sepihak telah dilakukan oleh petani yang mengakibatkan bentrok antara petani penggarap dan pemuda Islam (Kasdi 2001: 26; Abdullah 2012: 491). Kasus ini sebagai contoh sasaran aksi pada kalangan yang terhimpun dalam organisasi Islam. Tanah untuk perluasan pondok tetapi diklaim oleh PKI dan dengan tiba-tiba menggarapnya. Tindakan ini menimbulkan kegusaran dan kemarahan umat Islam (Abdullah 2012: 491).

Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda terkait dengan aksi sepihak ini. Latar belakang peristiwa aksi sepihak terkait dengan reformasi agraria (landreform) sebagai program negara berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Regulasi ini sebagai upaya perubahan atau perombakan mendasar struktur pertanahan supaya penguasaan atas tanah menjadi lebih adil. Namun, kondisi sosial justru terganggu disebabkan oleh munculnya friksi antar kelompok pemilik tanah luas yang berusaha melakukan penolakan dengan kelompok tanpa atau memiliki tanah terbatas. Sengketa lahan yang berujung pada kekerasan melibatkan kekuasaan formal di masyarakat dan kelompok kecil yang digerakkan oleh PKI/BTI. Landasan yang digunakan PKI/BTI adalah revolusi agraria yang antifeodalisme yang diimplementasikan dengan pendekatan supaya tanah-tanah yang dikuasai oleh tuan tanah, perkebunan, dan kehutanan, untuk dapat digarap oleh petani kecil (Safitri 2018).

Menurut Kuntowijoyo, aksi sepihak merupakan taktik dari kelompok tertentu (PKI) memanfaatkan sekelompok petani untuk menyasar tuan tanah yang dilandasi oleh regulasi. Sebelum maraknya sebutan aksi sepihak antara tahun 1960 - 1965, taktik yang bertujuan untuk meningkatkan anggota, memenangkan pemilihan umum, dan mengesahkan regulasi dilaksanakan dengan menyasar pada target-target tertentu. Pada tahun 1950 -1955, strategi itu diterapkan agak lunak yang menyasar pada perkebunan besar. Dibandingkan periode sebelumnya, demi pemenangan pemilihan umum 1955, sasaran tertuju pada lawan-lawan partai yang dianggap kontrarevolusi (Kuntowijoyo 2002: 15-22). Periode 1960-1965 sebagai aksi paling keras karena yang menjadi lawan dari sekelompok petani sesungguhnya adalah kawan meskipun dilabel tuan tanah.

Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Abdullah, Taufik (ed.) (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid VII. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Anwar, Rosihan (2006). Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961 - 1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Kasdi, Aminuddin (2001). Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI Di Jawa Timur. Yogyakarta : Jendela

Kuntowijoyo (2002). Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Pujiriyani, Dwi Wulan dan Limbong, Sutan H. (2013). "Petani Penggarap dan Pengusaha Perkebunan: Dinamika Penguasaan dan Konflik Pertanahan dalam Kasus Reklaiming Lahan di Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara" Laporan Penelitian Strategis, Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta.

Safitri, Hilma (2018). "Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Land Reform dan Peristiwa 65 di Desa Soge, Kabupaten. Indramayu, Jawa Barat" dalam Archipel, nomor 95.