Peristiwa Bandar Betsy
Peristiwa Bandar Betsy merupakan konflik agraria antara massa rakyat yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan pengelola perkebunan. Puncak dari konflik tersebut adalah tewasnya seorang prajurit TNI berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu) Sujono akibat aksi kekerasan massa pada 14 Mei 1965 saat bertugas sebagai perwira pengamanan perkebunan. Peristiwa itu terjadi di Perkebunan Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, sehingga ia dikenal dengan Peristiwa Bandar Betsy.
Perkebunan Bandar Betsy awalnya merupakan perkebunan milik Belanda di bawah naungan perusahaan Handels Vereeniging Amsterdam (HVA) yang didirikan tahun 1918. Dalam perkembangannya perkebunan ini telah beberapa kali mengalami restrukturisasi. Pada saat pemerintah RI melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahan Belanda tahun 1957, Perusahaan Perkebunan Bandar Betsy diambil alih oleh pemerintah RI dari Perusahaan HVA dan dinasionalisasi menjadi Perseroan Perkebunan Negara (PPN). Setelah beberapa kali mengalami perubahan, perkebunan ini kemudian menjadi PT. Perkebunan Nusantara III di Kabupaten Simalungun.
Sebelum dikuasai negara, perkebunan Bandar Betsy sebetulnya pernah dikuasai oleh masyarakat. Penguasan tersebut terjadi dalam dua periode waktu, yakni masa pendudukan Jepang dan tahun 1951-1952. Kebijakan mobilisasi penduduk pada masa Jepang menjadi pintu masuk dan legitimasi awal okupasi lahan oleh penggarap terhadap perkebunan tersebut. Gelombang kedua terjadi saat terjadinya migrasi besar-besaran dari Tapanuli ke areal perkebunan sebagai dampak dari kemarau panjang selama 13 bulan pada tahun 1951-1952. Menggarap perkebunan yang terlantar merupakan upaya yang dilakukan para pendatang untuk mencoba bertahan hidup.
Ketika perusahaan HVA ingin mengolah perkebunannya kembali tahun 1953, lahannya telah dikuasai dan digarap secara masif oleh masyarakat. Inilah awal konflik di Perkebunan Bandar Betsy. Keluarnya Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat ternyata tidak bisa menjembatani kepentingan kedua pihak yang berkonflik. Keadaan ini yang kemudian ditumpangkan pada sebuah momen, yang menjadikan persoalan ini masuk ke ranah politik (Pujiriyani 2013: 49-53).
Untuk memperkuat posisi mereka dalam menghadapi pihak perkebunan, para penggarap perkebunan menggabungkan diri mereka ke BTI yang berafliasi dengan PKI. Agitasi BTI/PKI inilah yang membuat para penggarap berani melawan pihak perkebunan (Leirissa 2012: 491; Poesponegoro 1993: 367). Dengan adanya dukungan BTI para penggarap mulai menanami kembali lahan dengan berbagai tanaman seperti ubi, pisang dan jagung. Kegiatan tersebut dilarang oleh Peltu Sudjono dan tiga orang anggotanya saat melakukan patroli. Larangan tersebut mendapat perlawanan dari penggarap. Saat salah satu anggota BTI berupaya merampas helmnya, Peltu Sudjono memukul anggota BTI itu dengan tongkatnya. Tidak terima dengan tindakan Peltu Sujono, anggota BTI yang berjumlah sekitar 200 orang marah dan kemudian balik menyerang Peltu Sudjono dengan peralatan pertanian yang mereka bawa, yang mengakibatkan Peltu Sudjono tewas mengenaskan. Melihat Peltu Sudjono jadi bulan-bulanan anggota BTI, tiga orang anggotanya melarikan diri. Tidak lama kemudian, polisi datang ke lokasi dan mengamankan anggota BTI yang berada di perkebunan tersebut. Kematian tragis Peltu Sudjono ini membuat Jenderal Ahmad Yani marah besar dan memerintahkan agar kejadian itu diusut tuntas (Rusman Siregar, https://daerah.sindonews.com/berita/1246375/29/peristiwa-bandar-betsy-kekejaman-pki-yang-terlupakan?showpage=all)..
Untuk mengenang jasa Peltu Sudjono yang gugur dalam mempertahankan perkebunan dari aksi anarkis massa BTI, pada tahun 1970-an dibuat sebuah tugu dengan nama Tugu Letda Sudjono (pangkatnya dinaikkan) di Perkebunan Bandar Betsy, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun. Kemudian pada tahun 1997 dibuat tambahan 7 patung Pahlawan Revolusi di belakangnya dengan latar ornamen Garuda Pancasila. Di tempat inilah setiap tahunnya pada tanggal 1 Oktober dilaksanakan upacara tingkat Provinsi Sumatra Utara (https://medan.tribunnews.com/2021/06/24/profil-letda-sudjono-pahlawan-dan-korban-keganasan-pki-di-simalungun-masa-lalu?page=2).
Penulis : Mawardi Umar
Referensi
https://medan.tribunnews.com/2021/06/24/profil-letda-sudjono-pahlawan-dan-korban-keganasan-pki-di-simalungun-masa-lalu?page=2
Leirissa, RZ dan Saleh As’ad Djamhari (ed.), 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah, Pasca Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pujiriyani, Dwi Wulan dan Sutan Hasudungan Limbong, 2013. “Petani Penggarap dan Pengusaha Perkebunan”: Dinamika Konflik Agraria di Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dalam Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Hasil Penelitian Strategis STPN). Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada MasyarakatSekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI (edisi keempat). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka.
Rusman Siregar, “Peristiwa Bandar Betsy, Kekejaman PKI yang Terlupakan”, https://daerah.sindonews.com/berita/1246375/29/peristiwa-bandar-betsy-kekejaman-pki-yang-terlupakan?showpage=all