Assaat
Mr. Assaat yang juga bergelar Datuk Mudo, merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan berdarah Minangkabau yang pernah menjadi pemangku jabatan pelaksana Presiden Republik Indonesia pada 27 Desember 1949. Ia lahir pada 18 September 1904, di Kampung Pincuran Landai, Agam, Sumatera Barat (Susanti, 2015: 26). Riwayat pendidikan Assaat dimulai dari sebuah sekolah agama swasta Adabiah di Padang, yang kelak menjadi pelopor pembaharuan pendidikan Islam modern di Padang. Pendidikannya lalu berakhir di Universitas Leiden, Belanda, dengan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau sarjana hukum (Tirto.id). Latar belakang pendidikan Assaat di bidang hukum ini, menjadi modal besar baginya untuk kemudian bisa berperan di panggung politik tanah air.
Mr. Assaat tergabung kedalam KNIP sejak 1945, lalu kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) pada 1946. BPKNIP merupakan sebuah badan legislatif yang berdiri pada masa awal kemerdekaan, yang menjalankan fungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Di bawah kepemimpinannya, BPKNIP mengeluarkan dua resolusi penting yaitu, pertama mengenai pengakuan atas hak yang sepenuhnya untuk menentukan nasib dan bentuk pemerintahan sendiri berdasarkan demokrasi. Kedua, yakni mengenai usul kepada presiden untuk mengadakan tindakan perbaikan atas susunan pemerintah maupun KNIP. Mr. Assaat terpilih menjadi ketua BPKNIP secara berturut-turut hingga tahun 1949 (historia.id; Susanti, 2015: 52).
Setelah penandatanganan hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1947, diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Sukarno kemudian terpilih sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RIS. Berdasarkan konstitusi yang berlaku saat itu, jika presiden dan wakil presiden berhalangan dalam memimpin, maka tanggung jawab dan tampuk kepemimpinan akan dipegang oleh Ketua BPKNIP. Oleh karena itu, Mr. Assaat ditunjuk sebagai pemangku jabatan pelaksana (acting) Presiden Negara Republik Indonesia (Affairs, 1950: 611). Pada periode kepemimpinan Mr. Assaat dan Kabinet Halim, program kerja utamanya adalah mewujudkan pemindahan kekuasaan ke tangan bangsa Indonesia dan agar terjadinya demokratisasi di bidang politik dan pemerintahan (Susanti, 2015: 75).
Pada periode ini, pemerintahan RI berjalan dengan baik dan lancar meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan amanat UUD 1945. Hukum dan pemerintahan menjadi lebih terjamin, terutama dalam rangka demokratisasi kehidupan politik dan pemerintah. Kemudian, pada 14 Agustus 1950, UU No. 20 Tahun 1950 tentang pembentukan NKRI ditetapkan. Berdasarkan undang-undang tersebut, RIS secara resmi dibubarkan dan negara-negara bagian yang tergabung di dalam RIS menyatakan kembali bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembalinya bentuk negara menjadi NKRI membuat Sukarno kembali menjadi Presiden RI, dan hal ini menandakan berakhirnya kepemimpinan Mr. Assaat secara resmi pada 17 Agustus 1950 (Affairs, 1950:611).
Setelah kembalinya bentuk negara menjadi NKRI, Presiden Sukarno membentuk sebuah kabinet baru, yakni Kabinet Natsir. Atas pertimbangan pengalaman di bidang politik, akhirnya Natsir menunjuk Assaat untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri (Lihat: Finch, 1965: 24). Selama masa jabatannya, Assaat berhasil mengatasi beberapa masalah, dua di antaranya yaitu masalah yang terjadi di Aceh (ketika Aceh menolak untuk digabungkan dengan Sumatera Utara) dan yang terjadi di Sumatera Tengah (ketika Gubernur Nasrun tidak seaktif pendahulunya, lalu Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah menuntut pengganti) (Kahin, 2008: 260).
Asaat juga memiliki beberapa inisiatif tentang perbaikan ekonomi Indonesia. “Gerakan Assaat” merupakan salah satu kebijakan ekonomi cukup kontroversial yang dicetuskan pertama kali oleh Mr. Assaat dalam Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia (KENSI) pada Maret 1956 (Winarni dan Bardiyanto, 2012: 149). Gerakan ini menuntut agar dalam bidang perekonomian harus ditarik garis tegas antara masyarakat asli dengan warga Tionghoa, dan menuntut pembedaan perlakuan serta pemberian fasilitas kepada para pengusaha asli Indonesia (Indrayanti, 2009: 92). Alasan awal dicetuskannya gerakan ini agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi antara warga Tionghoa dan warga asli Indonesia (Pujiatiningtyas, 2015: 92). Akan tetapi, pada praktiknya justru dianggap mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap para warga Tionghoa (Wibowo, 2004: 1). Oleh karena itu, gerakan ini menjadi gagal terlaksana, juga karena tidak adanya dukungan sama sekali dari partai-partai politik saat itu (Wardjojo, 2018: 100).
Mr. Assaat tergabung menjadi bagian dari PRRI pada 1958, bersama dengan tokoh politik lainnya seperti Muhammad Natsir. Alasan Mr. Assaat tergabung menjadi bagian dari PRRI adalah karena adanya perbedaan pandangan politik antara Assaat dan Presiden Sukarno (Lev, 1966:28; Leirissa, 1997:66). Mr. Assaat sebagai seorang demokrat dan Islam yang taat, menentang sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dijalankan oleh Sukarno. Ia merasa bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan kediktatoran terselubung, yang akan melunturkan nilai-nilai demokrasi di dalam pemerintahan. Keterlibatan Mr. Assaat dalam PRRI berakhir pada 1961, ketika PRRI memutuskan untuk menghentikan perlawanannya (The Straits Times, 14 September 1961; The Singapore Free Press, 7 September 1961).
Pasca keterlibatannya di PRRI, karir politik Assaat meredup. Perjalanan hidup Mr. Assaat berakhir etika beliau tutup usia pada 16 Juni 1976, pada usia 71 tahun di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta, dan prosesi pemakamannya dilakukan dengan upacara kebesaran militer, serta dihadiri pula oleh para sahabat dan rekan-rekan seperjuangan (https://khastara.perpusnas.go.id/landing/detail/597627/1).
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Australian Department of Foreign Affairs. “Republic of the United States of Indonesia: Political Development”, dalam Currents Note on International Affairs., Vol. 21, No. 9, (September, 1950), hlm. 609.
De Nieuwe Courant, edisi 04 Januari 1950. “Presiden baru Negara Republik Indonesia”.
Finch, Susan dan Daniel S. Lev. 1965. Republic of Indonesia Cabinets, 1945-1965. New York: Cornell University.
Hidayati, Hasna Fuadila. “Yang (Tak) Terlupakan”, dalam Majalah Arsip Edisi 67, 2015. Hlm.43-45.
https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/cabinet_personnel/popup_profil_pejabat.php?id=113&presiden_id=1&presiden=sukarno, diakses pada 8 September 2021.
https://khastara.perpusnas.go.id/landing/detail/597627/1, diakses pada 9 September 2021.
Indrayanti, Elyas Rochani. 2009. Perekonomian Etnis Tionghoa di Surakarta Tahun 1959-1974: Studi Pasca Keluarnya PP No. 10 Tahun 1959. Skripsi: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kahin, Audrey. 1999. Rebellion to Intergration: West Sumatra and the Indonesia Polity. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Koleksi Arsip Departemen Kehakiman dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional. (Artikel dalam Surat Kabar): Wibowo, Ivan. “Kebijakan yang Diskriminatif bagi Orang Tionghoa”, dalam Suara Pembaruan edisi Sabtu, 28 Agustus 2004.
Koleksi Arsip Nasional Indonesia, Kementerian Penerangan Republik Indonesia Serikat (Kempen RIS), Peliputan Sosial dan Budaya, No. 500422 FG 2-4, Jakarta, 1950.
Leirissa, R.Z. 1997. PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Lev, Daniel S. 1966. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959. New York: Cornell University.
M. Fazil Pamungkas, “Kisah Dua Presiden RI yang Terlupa”, dalam historia.id, https://historia.id/politik/articles/kisah-dua-presiden-ri-yang-terlupa DWqpe, diakses pada September 2021.
Pesat, edisi No. 17, Juli, 1950. “Hikmah puasa jg. Sebesar2-nja”.
Petrik Matanasi, “Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara”, dalam tirto.id, https://tirto.id/mr-assaat-presiden-yang-tak-dihitung-oleh-negara cLQy, diakses pada September 2021.
Pujiatiningtyas. 2015. Gerakan Assaat tahun 1956. Skripsi, Universitas Indonesia.
Susanti, Desima Fer. 2015. Peranan Mr. Assaat dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia (1946-1951). Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta.
The Singapore Free Press, edisi 7 September 1961. “Two Rebels to Give Up.”
The Straits Times, edisi 14 September 1961. “A Minsiter Rebel Surrenders”.
Wardjojo, Waskito Widi. “Ekonomi Indonesia 1950-an dan Penguasaan Nefara terhadap perusahaan Kereta Api Pasca KMB 1949”, dalam Indonesian Historical Studies, Vol. 2, No. 2, (2018), hlm. 96-106.
Winarni, Retno dan Bambang Samsu Badriyanto. “Kerusuhan Anti-Cina di Kabupaten Situbondo Tahun 1967”, dalam Mozaik: Jurnal Ilmu Humaniora.Vol. 12, No. 2, (Juli-Desember 2012), hlm. 92-209