Gedung Pemetaan Nasional (PENAS)
Gedung kantor Pemetaan Nasional atau lebih dikenal sebagai Gedung PENAS adalah salah satu gedung di Jakarta yang sempat dijadikan markas koordinasi dan persembunyian para petinggi Gerakan 30 September. Terletak di sebelah barat laut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, dekat Angkasa Puri, sebelah timur Djakarta By-Pass (saat ini lokasi gedung berada di utara Jalan Laksamana Malahayati, Jakarta Timur), Gedung PENAS digunakan oleh lima pemimpin utama Gerakan 30 September sebagai salah satu markas persembunyian mereka selama G30S berlangsung (Roosa 2006: 43; Katoppo 1999: 314-315). Kelima tokoh tersebut terdiri atas tiga perwira militer; Letnan Kolonel Untung dari Resimen Tjakrabirawa—resimen pengawal presiden, Kolonel Inf. Abdul Latief—komandan Brigif I DAM V/Djaja, dan Mayor Udara Sujono—komandan Resimen Pengawal Pangkalan Udara Halim; serta dua warga sipil anggota Biro Chusus PKI yang dipimpin oleh ketua Partai Komunis Indonesia, Sjam dan Pono (Anonim, 1966: 19).
Sebelum menjadi markas koordinasi dan persembunyian para petinggi G30S, Gedung PENAS sehari-hari dipakai oleh Perusahaan Negara Aerial Survey (PENAS), salah satu perusahaan negara yang bergerak di bidang pengadaan potret udara dan pemetaan untuk memenuhi kebutuhan militer. Perusahaan negara ini dibentuk pada 1961 bersama dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah RI no. 197 tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara “Aerial Survei” (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 197, Tahun 1961).
Posisi Gedung PENAS yang tidak jauh dari pangkalan udara Halim, serta hubungannya dengan Angkatan Udara RI membuat lokasi ini dapat dengan mudah dijangkau oleh kalangan militer. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu alasan mengapa gedung ini dipilih untuk menjadi lokasi pertemuan koordinasi Gerakan 30 September. Oleh karena keterbatasan informasi, tidak diketahui secara pasti berapa kali Gedung PENAS digunakan sebagai lokasi pertemuan koordinasi untuk persiapan Gerakan 30 September. Namun, yang pasti, gedung ini digunakan sebagai lokasi persembunyian oleh lima petinggi utama (central komando) G30S yang telah disebut di atas pada saat gerakan tersebut berlangsung (Roosa, 2008: 61).
Menurut kesaksian Sjam (anggota Biro Chusus PKI) tentang G30S pada 7 Juli 1967, Gedung PENAS disebut sebagai ‘markas besar’ bagi gerakan tersebut (Roosa 1967: 352). Gedung PENAS bersama fasilitas-fasilitas lain yang digunakan untuk mendukung berlangsungnya G30S—persenjataan AURI, dua rumah, truk-truk, dan Lubang Buaya—kemungkinan disediakan oleh Mayor Sujono, mengingat ia bertugas di Pangkalan Udara Halim sehingga ia memiliki akses terhadap semua fasilitas tersebut, termasuk Gedung PENAS (Roosa 1967: 64). Dari kesaksian Sjam, dapat diketahui bahwa Gedung PENAS telah digunakan sebagai lokasi rapat lebih dari sekali hingga dapat disebut sebagai markas.
Kesaksian dari pihak lainnya, Mayor Sujono, menyebutkan bahwa Gedung PENAS yang berlokasi di Angkasa Puri tersebut merupakan markas cenko atau Central Komando G30S (Anonim 1966: 95). Ia menyebutkan bahwa Gedung PENAS merupakan lokasi rapat-rapat yang digelar sebelum pelaksanaan G30S. Menurutnya, Gedung PENAS adalah salah satu dari beberapa lokasi rapat yang pernah digunakan seperti, antara lain, rumah Sjam, rumah Kolonel Abdul Latief, dan rumah Kapten Wahjudi (Anonim 1966: 95). Namun begitu, menurut Mayor Sujono, Gedung PENAS bukan merupakan lokasi rapat G30S pada tanggal 29 September 1965 yang menjadi rapat penentu hari dan waktu pelaksanaan. Lokasi rapat itu di Lubang Buaya. Pada tanggal 30 September, disebutkan bahwa Gedung PENAS menjadi lokasi persiapan akhir G30S. Pada pukul 13.30 WIB, Gedung PENAS kemudian menjadi ‘ruang tunggu’ bagi persiapan fasilitas seperti persenjataan dan juga kendaraan (Anonim 1966: 98).
Pada saat pelaksanaan G30S itu sendiri, yakni selama tanggal 1 Oktober 1965, Gedung PENAS menjadi tempat koordinasi dari lima anggota pimpinan cenko. Sekitar pukul 2:00 dini hari, Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief, Mayor Sujono, Sjam, dan Pono, duduk bersama di Gedung PENAS untuk mengkoordinasi jalannya G30S atau yang disebut Sujono sebagai Operasi Takari (Roosa 2008: 61). Oleh sebab operasi yang tujuan utamanya adalah menculik tujuh jenderal ini kemudian gagal, karena tiga target dibunuh di kediamannya (Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal M.T. Harjono, dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan), sementara tiga lainnya—Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, dan Brigadir Jenderal Sutoyo—dibawa ke Lubang Buaya dan dieksekusi beberapa waktu kemudian, sedangkan target utama, yakni Jenderal A.H. Nasution berhasil menyelamatkan diri (Anderson dan Ruth 1971: 8-9; Ricklefs 2001: 339; Tornquist 1984: 224; Kingsbury 2003: 54-55). Dari sini, Gedung PENAS menjadi tempat persembunyian bagi kelimanya. Melihat situasi yang melemah (atau alasan lainnya), sekitar pukul 9:00 pagi kelimanya kemudian memutuskan untuk meninggalkan Gedung PENAS dan bergerak menuju rumah Sersan Sujatno yang terletak di kompleks perumahan Pangkalan Halim (Roosa 2006: 61). Di rumah ini, kelima tokoh tersebut berdiam selama tanggal 1 Oktober 1965.
Setelah peristiwa G30S beserta peristiwa-peristiwa yang menyertainya berakhir, Gedung PENAS tetap menjadi kantor Perusahaan Negara Aerial Survey. PENAS sendiri kemudian mengalami dua kali perubahan status pasca-1965. Pertama adalah pada tahun 1974 ketika PENAS berubah nama dan statusnya dari Perusahaan Negara Aerial Survey menjadi Perusahaan Umum Survai Udara (PENAS) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 1974 tentang Perusahaan Umum Survai Udara (PENAS). Kemudian sejak 1991, melalui Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 48 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Survai Udara (PENAS) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha. Terakhir, pada tahun 2021, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 104 Tahun 2021 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aviasi Pariwisata Indonesia, PT Survai Udara PENAS ditetapkan menjadi induk holding bidang pariwisata yang membawahi PT Angkasa Pura I (Persero), PT Angkasa Pura II (Persero), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Inna Hotels & Resorts, PT Sarinah (Persero), Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), dan Taman Wisata Candi (TWC); dengan nama baru, yakni PT Aviasi Pariwisata Indonesia. Sementara itu, Gedung PENAS sendiri sejak penetapannya menjadi perseroan pada 1991 sudah tidak lagi berada di gedung sebelumnya, melainkan di Puri Sentra Niaga B/36, Jalan Raya Kalimalang, Jakarta.
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Arsip, Terbitan Berkala, Produk Hukum
“Advertentie: Photografie School,” Java-bode, 3 April 1951
“M.J. van Yzendoorn met studie-opdracht,” De Preangerbode, 10 September 1956
G-30-S Dihadapan Mahmillub 2 di Djakarta (Perkara Untung), Jakarta: Pusat Pendidikan Kehakiman A.D., 1966.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 104 Tahun 2021 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aviasi Pariwisata Indonesia
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 197 Tahun 1961 Tentang Pendirian Perusahaan Negara “Aerial Survey”
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 1974 Tentang Perusahaan Umum Survai Udara (PENAS)
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 48 Tahun 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Survai Udara (PENAS) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
Buku dan Artikel
Anderson, Benedict R. dan Ruth T. McVey. (1971). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, New York: Modern Indonesia Project Cornell University.
Aristides Katoppo. (1999). Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kingsbury, Damien. (2003). Power Politics and the Indonesian Military, London: Routledge Curzon.
Muhammad Choirul Anwar, “Mengenal PT Aviasi Pariwisata Indonesia, Induk Holding BUMN Pariwisata,” https://money.kompas.com/read/2021/10/05/114754326/mengenal-pt-aviasi-pariwisata-indonesia-induk-holding-bumn-pariwisata, diakses pada 15 Juli 2022.
Ricklefs. M.C. (2001). A Modern History of Indonesia since c.1200, edisi ketiga, London: Palgrave.
Roosa, John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, terjemahan Hersri Setiawan, Jakarta: Hasta Mitra.
_________.(2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia, Madison, WI: The University of Wisconsin Press.
Sudiro Sumbodo. “PENAS: Dari Survei Udara sampai Produksi Film,” AviaHistoria: Sejarah Penerbangan Indonesia, 15 Juli 2017. https://aviahistoria.com/2017/07/15/penas-dari-survei-udara-sampai-produksi-film/, diakses pada 14 Juli 2022.
Törnquist, Olle. (1984). Dilemmas of Third World Communism: The Destruction of the PKI in Indonesia, London: Zed Books.