Gerakan 3-A
Pendudukan Jepang dari 1942 sampai 1945 merupakan salah satu periode penting dalam sejarah Indonesia setelah berakhirnya era Hindia Belanda. Dalam rangka menghadapi Perang Asia Timur Raya, pihak militer Jepang mendekati pemimpin-pemimpin dari kalangan lokal guna membantu memobilisasi masyarakat (khususnya di Jawa dan Sumatera). Di Jawa, Legiun/Angkatan Darat ke-16 mulai melirik para politisi nasional praperang dan para kyai (ulama tradisional) di wilayah pedesaan. Mereka kemudian memberi para pemimpin Islam sejumlah kesempatan yang belum pernah diberikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebelumnya. Kampanye propaganda mulai dilakukan guna meyakinkan masyarakat lokal, bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang luhur untuk menciptakan suatu tatanan baru di kawasan Asia. Pihak militer Jepang juga mempekerjakan orang-orang Indonesia, seperti guru-guru sekolah, para seniman, dan tokoh-tokoh sastra yang dikenal anti-Belanda seperti Mohammad Yamin, Sanusi Pane, dan Armijn Pane untuk mengimplementasikan tujuan propaganda mereka.
Pada April 1942, sebagai usaha pertama dalam membentuk gerakan rakyat, maka Legiun/Angkatan Darat ke-16 di Jawa mendirikan “Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A”. Nama gerakan ini didasarkan pada slogan bahwa Jepang adalah “Pemimpin Asia”, “Pelindung Asia” dan “Cahaya Asia”. Gerakan ini dipimpin oleh Mr. Rd. Sjamsoeddin (Sudiyo dkk. 1997: 95). Sebagai bagian dari Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A, maka dibentuklah San A Seinen Kunrensho atau “Pusat Latihan Pemuda 3-A” di Jatinegara (Kurasawa 2015: 374). Selain itu, dibentuk pula organisasi pemuda bernama “Barisan Pemuda Asia Raya” pada 11 Juni 1942 yang diketuai oleh dr. Slamet Sudibyo dan SA Saleh. Selanjutnya, pada Juli 1942, di dalam Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A didirikan suatu subseksi Islam bernama “Persiapan Persatuan Umat Islam” dipimpin oleh R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso. Beliau dipandang oleh pihak militer Jepang sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang dapat diajak bekerjasama. Namun, tidak lama kemudian, pihak militer Jepang mulai meragukan para pemimpin Islam, khususnya dari Islam modernis, yang aktif berpolitik dan tidak pernah sepenuhnya mempercayai mereka (Ricklefs 2007: 411).
Akhirnya, Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A tidak berhasil mencapai tujuannya. Para tokoh politik di Indonesia tidak terkesan dengan gerakan fasis tersebut dan hanya memberikan sedikit dukungan. Bahkan, tidak ada seorang pun nasionalis Indonesia yang terkenal yang ikut serta dalam Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A. Propaganda gerakan tersebut, yang dilancarkan dengan keras pada masa awal pendudukan Jepang, mengundang hanya sedikit dari orang-orang Indonesia yang menanggapinya secara serius (Ricklefs 2007: 412). Pada Maret 1943, Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A dibubarkan. Jepang kemudian menyadari bahwa jika mereka hendak memobilisasi gerakan rakyat, terutama di Jawa, maka mereka harus memanfaatkan para tokoh penting dari gerakan nasionalis sebelum Perang Dunia II yang dikenal anti-kolonial. Sehingga, mereka pun mengalihkan fokus perhatian kepada Sukarno, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang pada saat itu baru dibebaskan dari penahanan Belanda.
Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Dwi Mulyatari. 2000. ““Buku Putih” Masa Pendudukan Jepang”. Wacana. Vol. 2. No. 1.
Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa, Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Sudiyo. et.all. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Kebangkitan Nasional.