Gerakan Rakyat Indonesia
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dibentuk pada Mei 1937 di Jakarta sebagai respons atas bahaya fasisme yang mulai masuk ke Indonesia pada 1930-an (Legge 2010: 171). Pada 1933, rezim fasis Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler berhasil merebut kekuasaan yang kemudian direspons seorang pemimpin komunis di Bulgaria, G. Dimitov. Melalui sebuah pidatonya, Dimitov menekankan peringatan bahaya fasisme Jerman yang didukung oleh diktator Italia Mussollini serta rezim militer Jepang di Asia Pasifik. Ia kemudian menyerukan agar seluruh kekuatan demokratis di seluruh dunia bersatu (Setiono 2008: 514).
Dengan membawa seruan akan bahaya fasisme, Gerindo berhasil menjadi partai besar dari sayap kiri di bawah pimpinan Mr. Sartono, Mr. Amir Sjarifoeddin, Dr. A. K. Gani, Sanusi Pane, Wikana, dan Mr. Mohammad Yamin. Dalam gerakan-gerakannya, Gerindo berkembang menjadi partai yang menghubungkan sentimen nasionalis dengan gerakan fasisme global (Legge 2010: 171). Sebagaimana latar belakang pendiriannya, Gerindo juga memiliki orientasi internasional yang secara aktif mengkampanyekan bahaya fasisme dengan alasan bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan sangat bergantung pada hasil perjuangan kekuatan antifasisme (Setiono 2008: 516).
Sebagai gerakan yang menolak keras paham fasisme, Gerindo berpendirian tentang perlunya kerja sama dengan Belanda sementara waktu jika Indonesia ingin mencapai kemerdekaan. Semua itu semata-mata adalah untuk kemerdekaan jangka panjang. Pendirian tersebut berimplikasi pada berhentinya perlawanan terhadap Belanda, sebaliknya mempersiapkan diri apabila ada serangan dari militer Jepang. Salah satu langkah konkret yang dilakukan oleh Gerindo adalah tergabung dalam Volksraad (Setiono 2008: 147).
Gerindo lebih membuka diri untuk tidak saja memerhatikan golongan menengah dan kaum terpelajar, tetapi juga massa rakyat. Sikap Gerindo yang antifasis secara tidak langsung sangat menguntungkan Pemerintah Kolonial Belanda. Ketika melihat ancaman negara-negara fasis, konflik antara negara kolonialis dan negara kolonial tidak lagi penting. Gerindo justru fokus menganjurkan milisi untuk mengadakan perlawanan terhadap Jepang (Legge 2010: 10-16).
Meskipun bersikap kooperatif terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, gerakan para aktivis Gerindo secara politis ternyata sangat dibatasi. Hal itu terutama karena dugaan keterlibatan Gerindo dalam pendirian Partai Buruh. Sebagai gerakan berhaluan sosialis, Gerindo memiliki serikat buruh yang dipimpin oleh Suprapto dan Jusuf. Keduanya turut berkomentar dalam rencana pendirian Partai Buruh yang mengemuka pada 1941. Suprapto dan Jusuf berpendapat bahwa proposal pendirian Partai Buruh sangat prematur mengingat “kesadaran” para pekerja Indonesia yang belum cukup kuat. Mereka berpendapat bahwa lebih baik mengembangkan Gerindo menjadi Partai Buruh mengingat visi yang diusung Partai Buruh hampir sama dengan Gerindo (Ingleson 2014: 324).
Di lain sisi Gerindo, ada pula sosok yang begitu gencar membangun jaringan simpatisan dari sayap yang lebih condong pada nasionalis, yaitu Yamin. Ia dikenal sebagai sosok kharismatik dengan kelebihan dalam beretorika dan memiliki penilaian tajam terhadap rekan-rekan nasionalis lainnya. Karakter itu tampaknya tidak disukai oleh para anggota Gerindo dari generasinya sendiri. Yamin justru mendapatkan dukungan dari kelompok nasionalis yang lebih muda seperti Khaerul Saleh dan Johar Nur (Cribb 2008: 33-34).
Pada awal 1940-an terjadi perpecahan internal di tubuh Gerindo yang ditandai dengan skorsing keanggotaan Yamin karena pada waktu itu ia dicalonkan sebagai anggota Volksraad oleh perkumpulan Minangkabau yang enggan bekerja sama dengan Gerindo. Golongan yang menentang Yamin ini kemudian menjadi benih sikap nonkooperatif dan gerakan “bawah tanah” pada masa pendudukan Jepang. Hal itu ditunjukkan oleh Sutan Syahrir dan kawan-kawannya (Sudarmanto 2007: 223-224).
Penulis: Dhanang Respati Puguh
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Cribb, R., 2009. Gangster and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949. Jakarta: Equinox Publishing.
Ingleson, J., 2014. Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s. Netherlands: Brill, 2014.
Legge, J.D., 2010. Intellectuals and Nationalism in Indonesia. Indonesia: Equinox Publishing.
Setiono, Benny G., 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia.
Sudarmanto, J. B., 2007. Jejak-Jejak Pahlawan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.