Go Gien Tjwan
Go Gien Tjwan adalah politisi dan tokoh nasionalis Tionghoa. Ia lahir di Malang, 22 September 1920. Ia mengenyam pendidikan doktoral, dan dinyatakan lulus ujian doktoral dari Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte dari Rijksuniversiteit Leiden pada tahun 1950. Go Gien Tjwan pernah menjadi anggota Angkatan Muda Tionghoa di Malang tahun 1945-1946. Ia pernah bergabung di Dewan Partai-Partai Sosialis pada tahun 1946-1947. Pada tahun 1947, ia bekerja di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Go Gien Tjwan kemudian berangkat ke Belanda karena mendapatkan tugas dari Kementerian Pemuda Republik Indonesia pada akhir tahun 1947. Selanjutnya, ia menjadi anggota pimpinan Perhimpunan Indonesia di Amsterdam pada 1948-1952. Go Gien Tjwan juga pernah menjadi pimpinan kantor cabang Berita Antara tahun 1952 di Amsterdam. Pada akhir tahun tersebut, ia ditahan pemerintah Belanda karena alasan politik (Anonim, 1955: 39).
Go Gien Tjwan tidak sendirian saat ditangkap di Den Haag, 25 November 1952, ia ditangkap bersama Sunito. Penangkapan tersebut membuat Komisaris Tinggi Indonesia di Den Haag mempertimbangkan untuk mengajukan protes serius kepada pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan Sunito dan Go Gien Tjwan ditahan tanpa prosedur penahanan sebagaimana tahanan politik, tetapi menggunakan prosedur tahanan kriminal. Berita penangkapan Go Gien Tjwan dan Sunito kemudian tersebar luas. Komisaris Tinggi telah meminta informasi dari Kementerian Luar Negeri Belanda tentang pemberitahuan penangkapan dan deportasi terhadap Go Gien Tjwan, Direktur Antara, dan Sunito, ketua Perhimpunan Indonesia. Terdapat tuntutan kuat untuk pengungkapan alasan-alasan yang menjadi dasar penangkapan dan deportasi. Asosiasi Pers Asing di Belanda kemudian diminta turun tangan dalam kasus tersebut untuk membebaskan Go Gien Tjwan. Selanjutnya, Go Gien Tjwan dan Sunito juga menuntut banding terhadap kasus tersebut. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia bersama Kantor Berita Antara mempertimbangkan langkah lanjut sehubungan dengan penangkapan Go Gien Tjwan dan Sunito. Kepala Departemen Hukum Komisioner Tinggi Indonesia di Den Haag kala itu (Mr. Karni) sempat diberikan izin oleh Belanda untuk mengunjungi kedua tahanan. Atas permintaan informasi dari Asosiasi Pers Asing, Kementerian Luar Negeri Belanda menjawab bahwa tindakan hukum yang ditempuh terkait Go Gien Tjwan tidak terkait dengan aktivitas jurnalistik yang dilakukannya (De Waarheid, 25 November 1952).
Go Gien Tjwan dan Sunito ditangkap karena dicurigai sebagai simpatisan komunis. Go Gien Tjwan sebenarnya melakukan protes anti diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda. Protes anti-asing (Belanda) banyak terjadi pada periode tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan atas tindakan Belanda saat memecahkan beberapa masalah dengan Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia yang terlalu berhati-hati (kurang keras dan tegas) terhadap Belanda menimbulkan ketidakpuasan serta berujung pada pemberontakan dan separatisme. Berbagai tokoh politik dan surat kabar di Jakarta sebenarnya telah memperingatkan bahaya dari gerakan separatis pada saat itu.
Guna membebaskan Go Gien Tjwan, pengurus Persatuan Surat Kabar Harian Nasional Indonesia meminta pejabat Menteri Dalam Negeri RI untuk mengambil tindakan dengan menghubungi pemerintah Belanda. Sekretariat Asosiasi menyatakan bahwa penangkapan Go Gien Tjwan lebih disebabkan oleh kebijakan kantor Antara di Amsterdam pada bidang penegakan hukum yang sengaja mengaitkan aksi Go Gien Tjwan dengan aktivitas komunis (Algemeen Handelsblad, 26 November 1952). Go Gien Tjwan berhasil dibebaskan dengan bantuan Adam Malik, kolega sekaligus atasannya di kantor berita Antara.
Setelah dibebaskan oleh pemerintah Belanda Go Gien Tjwan kemudian kembali ke Indonesia. Pada 1955 ia menjabat sebagai Kepala Kantor Berita Antara. Selain itu, ia juga aktif dalam kepengurusan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang berdiri pada tahun 1954, sebagai Sekretaris Jenderal Badan Pusat periode 1954-1955 (Suryadinata, 1995: 23). Di Baperki Go Gien Tjwan sempat berselisih paham dengan Yap Thiam Hien. Hal ini disebabkan Go Gien Tjwan, Siauw Giok Tjhan (Ketua I) dan anggota lain diyakini telah melanggar semua tujuan awal Baperki dan membahayakan komunitas peranakan. P.K. Oyong menyetujui penangkapan Siauw, Go Gien Tjwan, dan para pemimpin Baperki lainnya. Go Gien Tjwan sangat dibenci dan tidak dipercaya oleh Yap Thiam Hien. Meski demikian Go Gien Tjwan menyempatkan diri datang ke Grogol untuk menemui Yap sebelum berangkat lagi ke Belanda setelah dibebaskan. Go Gien Tjwan mengatakan bahwa pada akhirnya kritik Yap terhadap Demokrasi Terpimpin dan dukungan Baperki terhadap Sukarno ternyata benar. Yap berpesan kepada Go Gien Tjwan sebelum kembali ke Belanda untuk tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang dianggap dapat menyakiti peranakan di dalam negeri (Lev, 2011: 233). Perselisihan Go Gien Tjwan dengan Yap cukup serius, hingga masalahnya sampai ke Konstituante. Selain itu juga tampak dari pendapat Khing Nio bahwa Go Gien Tjwan telah menyudutkan Yap dengan pernyataan "Fraksi Lima Kurang Satu" (lima orang minus Yap) mendukung pemerintah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (Wijaya dan Zulkifli, 2013: 51).
Konflik dalam tubuh Baperki terjadi ketika organisasi tersebut baru berusia setahun. Terjadi pertentangan antara kelompok Peng Koen dengan kelompok Siauw Giok Tjhan. Puncak konflik terjadi pada akhir kampanye pemilu tahun 1955. Peng Koen menemui Siauw Giok Tjhan dan memintanya agar mencoret nama Go Gien Tjwan dari daftar calon di nomor dua, mengingat Go Gien Tjwan dicap sebagai seorang komunis. Usul tersebut ditolak sehingga Peng Koen mengundurkan diri. Meskipun Go Gien Tjwan dan Peng Koen bersitegang dalam mimbar-mimbar persidangan, hubungan personal tetap terbina dengan baik. Mereka saling menghormati dan tidak ada permusuhan pribadi di antara mereka (Wijaya dan Zulkifli, 2013: 49).
Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan, dan lain-lain, berkembang dengan sangat pesat dan menjadi organisasi politik etnis Tionghoa yang terbesar dalam sepanjang sejarah Indonesia. Baperki bahkan mendirikan universitas yaitu Universitas Baperki yang pada 1963 diganti nama menjadi Universitas Respublica (Ureca). Pada 15 Oktober 1965, kampus Ureca dibakar massa. Hal tersebut merupakan ekses dari peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan Kampus Ureca dituduh berafiliasi pada PKI. Go Gien Tjwan pasang badan dan memimpin sejumlah mahasiswa Ureca untuk mempertahankan kampus Ureca yang diserbu, dijarah, dan dibakar oleh masyarakat. Akhirnya Baperki yang berafiliasi pada PKI dibubarkan oleh rezim Orde Baru. Ureca ditutup dan gedungnya diambil alih pemerintah (Ksp, 2018: 56).
Setelah peristiwa 30 September 1965, Go Gien Tjwan pergi ke Belanda dan menjadi dosen di Universitas Amsterdam hingga pensiun pada tahun 1985. Go Gien Tjwan banyak menghasilkan karya terutama yang menyuarakan pluralisme dan kebhinekaan, salah satunya berjudul Eenheid in Verscheidenheid in een Indonesische Dorp yang dipublikasikan oleh Universitas Amsterdam pada 1966 (Suryadinata, 1995: 23-24). Go Gien Tjwan telah berjasa besar bagi Indonesia. Ia sangat memikirkan masalah kewarganegaraan warga peranakan Tionghoa di Indonesia agar bersama-sama mampu membangun bangsa Indonesia seutuhnya. Sebagai pendiri Baperki ia juga bertekad mempertahankan status warga Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai WNI, sesuai dengan UU Kewarganegaraan Indonesia tahun 1946.
Penulis: Siska Nurazizah Lestari
Instansi: IKIP PGRI Wates, DIY
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Anonim (1955). Pedoman kampanje perdjoangan Baperki dalam pemilihan umum. Jakarta: Pengurus Harian Baperki Pusat
“Arrestatie Go Gien Tjwan zou gericht zijn tegen Antara” dalam Algemeen Handelsblad, 26 November1952.
Lev, D. S. (2011). No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer. Washington: University of Washington Press
Feith, H. (2006). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Pasir Panjang: Equinox Publishing,
“Hoge Commissariaat overweegt ernstig protest” dalam De Waarheid, 25 November 1952
Ksp, R. A (2018). Strela Senjaya: A simple woman with a golden heart. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suryadinata, L. (1995). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (3rd ed.). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies
Wijaya, A., Zulkifli, A. (2013). Yap Thiam Hien : 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).