Harry Tjan Silalahi
Harry Tjan Silalahi atau Tjan Tjoen Hok adalah politisi dan pendiri lembaga kajian Central Strategic International Studies (CSIS). Ia lahir di Kampung Terban, Yogyakarta, pada 11 Februari 1934. Harry Tjan adalah anak kedua dari sepuluh bersaudara. Ayahnya adalah seorang mantri di Rumah Sakit Mata dr. Yap, salah satu rumah sakit khusus mata yang sangat terkenal di Yogyakarta. Dalam keterangan Jusuf Wanandi, ayah dari Harry Tjan adalah dr. Yap (Soedarmanta, 2014: 10; Budiman, 2017; Wanandi, 2014:1).
Sejak usia muda Harry Tjan sudah mulai aktif dalam berorganisasi, yang kemudian menjadi bukti bahwa ia adalah sosok yang terbuka dan moderat. Harry Tjan disebutkan oleh Jusuf Wanandi (2014: 1) sebagai seseorang yang sangat berminat sekali pada politik. Oleh karenanya, Harry Tjan bergabung dan sangat aktif dalam gerakan pemuda-pemudi peranakan Tionghoa yaitu Chun Lien. Harry Tjan menjadi ketua organisasi tersebut dan nama perkumpulannya berubah menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Dalam pemberitaan lainnya, disebutkan bahwa Harry Tjan juga bergabung di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (Zahroh, t.t).
Harry Tjan oleh keluarganya diharapkan menjadi orang yang berpendidikan guna memiliki pengetahuan yang tinggi dibandingkan masyarakat umumnya saat itu. Dengan demikian, dia diharapkan dapat menjadi seorang ‘priayi’ yang memiliki status sosial dan tingkatan hidup lebih baik di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, setelah lulus SMA De Brito, Yogyakarta, Harry Tjan kemudian pindah ke Jakarta untuk menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta, tepatnya setelah tahun 1955, Harry Tjan mulai aktif dalam perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ia juga aktif di Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Harry lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1962 (Soedarmanta, 2014: 10).
Setelah lulus, Harry Tjan bergabung dalam perhimpunan pekerja pada organisasi buruh Katolik atau Ikatan Buruh Pancasila yang memiliki ikatan politik nasional pada akhir masa orde lama (Wanandi, 2014: 1). Kegiatan organisasi buruh tersebut dapat diikuti, ketika Harry Tjan mulai bekerja di Pekan Baru pada sebuah perusahaan minyak Amerika Serikat Panam Oil pada tahun 1964. Selama aktif bekerja, Harry Tjan telah menjabat Sekretaris Jenderal Partai Katolik (Wanandi, 2014: 2).
Kondisi politik Indonesia menjadi tidak menentu bagi Harry Tjan ketika Sukarno menetapkan berlakunya Nasakom, yang membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat berkuasa. Sebagai seorang aktivis Partai Katolik, dia harus berseberangan dengan arus besar politik Indonesia saat itu. Dalam menghadapi hal tersebut, Harry Tjan dari Partai Katolik yang minoritas mengutamakan kerjasama dengan berbagai pihak dan kalangan. Harry Tjan dengan Partai Katoliknya aktif bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kelompok Subchan di Nahdlatul Ulama (NU) yang secara prinsipil sangat anti-komunis, dan kelompok militer yang mampu melawan kekuatan PKI (Wanandi, 2014: 3).
Jauh sebelum meletusnya peristiwa 30 September 1965, Harry Tjan sejak tahun 1958 juga sudah aktif berinteraksi dengan Badan-Badan Kerjasama Militer (BKS Sipil-Militer), seperti dengan pemuda, mahasiswa, buruh, petani, cendekia, wanita, dan sebagainya. Sejak tahun 1958, Harry Tjan telah berusaha keras mendorong agar kelompok keturunan Tionghoa dapat ikut aktif menciptakan Lembaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa (LPKB), yang akhirnya bersama BKS-BKS tersebut terbentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada 1963 dan pada 1973 menjadi Partai Golkar (Wanandi, 2014: 3).
Pasca 1965, Harry Tjan kemudian aktif dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Harry dan rekan-rekannya menyatukan kekuatan politiknya di bawah Soeharto setelah keputusan MPRS menarik mandat kepresidenan dari Presiden Sukarno pada tahun 1967 (Wanandi, 2014: 4). Setahun sebelumnya, atau pada tahun 1966, Harry Tjan disebutkan merintis berdirinya Yayasan Pendidikan Trisakti (Zahroh,t.t ). Dalam keterangan Soedarmanta (2014: 177) disebutkan bahwa ditengah-tengah aksinya sebagai politisi, Harry Tjan masih dapat menorehkan gagasan kemanusiannya tentang pendidikan bagi umat manusia di Indonesia. Bagi Harry Tjan, pendidikan merupakan kegiatan penting untuk masa depan Indonesia. Dengan itulah, maka ia kemudian aktif di berbagai yayasan pendidikan seperti di Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanegara di Jakarta, dan Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) di Surabaya (Soedarmanta, 2014: 177).
Setelah Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 1968 dan Golkar memenangkan Pemilu kedua tahun 1971, maka Harry Tjan mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) untuk memberikan ide alternatif dan berjangka panjang pada pemerintah (Wanandi, 2014: 4). CSIS memiliki kantor di Tanah Abang Jakarta. Harry Tjan mendirikan CSIS setelah dirinya selesai terlibat dalam partai politik dan organisasi kemasyarakatan (Front Pancasila dan LPKB). Harry Tjan kemudian berkarya secara intelektual di CSIS dengan menyumbangkan pemikiran dan analisisnya bagi masyarakat luas di Republik Indonesia (Soedarmanta, 2014: 10).
Setelah itu, mulai muncul permasalahan pada partai-partai beragama di Indonesia pada masa orde baru. Atas kejadian tersebut, muncul ide agar Partai Katolik yang sangat minor dilebur dalam partai nasional, terutama di Golkar (Wanandi, 2014: 4). Hary Tjan berpendapat bahwa seharusnya Partai Golkar harus menjadi partai kader, namun Soeharto tidak berkenan menerima pendapat Harry Tjan. Soeharto pada prinsipnya tetap menginginkan Golkar hanya sebagai alat pemenangan bagi dirinya untuk tetap berkuasa di Republik Indonesia (Wanandi, 2014:4).
Dalam pandangan Jusuf Wanandi (2014: 6), Harry Tjan adalah figur politisi di Indonesia yang memiliki strategi dengan corak yang terlihat lebih konservatif. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh masalah-masalah politik di dalam negeri yang menghadapi banyak kendala (Wanandi, 2014: 6). Masih menurut Jusuf Wanandi, Harry Tjan adalah orang yang memiliki pendapat untuk selalu mengedepankan nasib bangsa, negara, dan masyarakat pada umumnya. Ia tidak pernah memikirkan kepentingan pribadinya sendiri, apalagi mencari kedudukan, pangkat, atau uang. Bagi Harry Tjan, prinsip mendasar adalah tetap mempertahankan pluralisme dalam berbangsa, karena hal tersebut dapat menjamin kesatuan bangsa (Wanandi, 2014: 4).
Harry Tjan dalam berbagai keterangan disebutkan sebagai tokoh politik papan atas pada masa orde baru di negeri ini. Ia disebutkan pernah menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR periode 1967-1971. Selain pada bagian legislatif, Harry Tjan Silalahi juga disebutkan pernah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1978-1983 (Budiman 2017). Namun begitu, Harry Tjan Silalahi tetaplah seorang yang memiliki gagasan penting untuk ‘menjadi orang Indonesia’. Baginya, sebagai warga keturunan asing, untuk menjadi orang Indonesia sebaiknya harus memahami pentingnya republik ini didirikan. Harry Tjan percaya sekali bahwa republik ini berdiri bukan karena persamaan ras, agama, asal-usul, dan lainnya yang beraroma rasialis, namun lebih karena kesamaan cita-cita (Soedarmanta, 2014: 49).
Penulis: Ahmad Athoillah
Referensi
Budiman, Aditya (2017), “Harry Tjan Silalahi: Kita Jangan Sampai Ketularan Sektarian”, dalam https://nasional.tempo.co/read/847635/harry-tjan-silalahi-kita-jangan-sampai-ketularan-sektarian diakses 1 November 2021.
Fatimatus Zahroh (t.t), “Harry Tjan : Politisi”, dalam https://m.merdeka.com/harry-tjan/profil/ diakses 2 November 2021.
Jusuf Wanandi (2014), “Temanku Harry Tjan: Selamat!”, (prolog), Soedarmanta J.B, Mempertahankan Cita-cita Menjaga Spirit Perjuangan: Refleksi 80 Tahun Harry Tjan Silalahi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soedarmanta, J.B. (2014), Mempertahankan Cita-cita Menjaga Spirit Perjuangan: Refleksi 80 Tahun Harry Tjan Silalahi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.