Hotel Des Indes
Des Indes merupakan hotel tempat Perjanjian Roem Royen ditandatangani pada 7 Mei 1949. Sebelumnya, saat proklamasi kemerdekaan sedang dipersiapkan pada 16 Agustus 1945, Hotel Des Indes direncanakan menjadi lokasi pertemuan para pemimpin bangsa. Namun, karena peraturan hotel yang tidak membolehkan adanya kegiatan setelah pukul 22.00, sebagaimana kesaksian Mohammad Hatta dalam buku “Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan”, lokasi pertemuan akhirnya pindah ke rumah Laksamana Maeda.
Hotel Des Indes telah berdiri sejak abad ke-19, yang bermula pada tahun 1829 ketika Antoine Surleon Chaulan yang berasal dari Perancis membeli tanah dan bangunan sekolah asrama putri milik pemerintah kolonial di ujung selatan Molenvliet West (kini Jalan Gajah Mada) Batavia. Oleh Chaulan bangunan yang ada diubah menjadi hotel dengan nama Hotel de Provence. Pada 1851 hotel ini berganti nama menjadi Rotterdamsch Hotel. Pada tahun 1852, hotel dibeli François Auguste Emile Wijss asal Swiss yang kemudian mengganti kembali nama hotel menjadi Hotel Des Indes pada tahun 1856.
Ada cukup banyak tulisan yang menyebut bahwa Douwes Dekker (Multatuli) merupakan orang yang mengusulkan nama Des Indes pada Wijss. Namun dalam bukunya yang berjudul Multatuli: Leven en Werk van Eduard Douwes Dekker, Dik van der Meulen menulis bahwa usulan tersebut merupakan rumor yang belum terkonfirmasi. Meskipun demikian, Van der Meulen juga mengutip koran De Java Bode tanggal 30 April 1856 yang memberitakan kedatangan Douwes Dekker ke Rotterdamsch Hotel dari tanggal 22 hingga 28 April 1856.
Pergantian nama hotel menjadi Des Indes tidak berubah hingga tahun 1960 meskipun kepemilikan atas hotel ini sempat berganti beberapa kali. Pada tahun tersebut, Hotel Des Indes yang kepemilikannya sudah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Ketika Hotel Indonesia diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1962, hotel megah yang baru ini segera saja menjadi saingan berat bagi hotel mewah yang sudah berdiri selama lebih dari satu abad sebelumnya. Pendapatannya pun terus menurun. Pada tahun 1971, bangunan hotel yang melegenda ini akhirnya dibongkar untuk dijadikan bangunan baru, Pertokoan Duta Merlin.
Dalam sejarahnya, Des Indes memang menjadi ikon hotel termewah dan mahal di Hindia Belanda. Pada masa kejayaannya di dasawarsa awal abad ke-20, tarif Hotel Des Indessetara dengan tarif menginap di hotel-hotel berkelas di Amerika Serikat. Luas hotel ini juga sama dengan salah satu ibukota daerah kanton (salah satu bentuk wilayah administratif) di Perancis. Berbentuk deretan rumah bertingkat, menurut Dorléans, Des Indes berada di tengah taman yang ditanami banyak pohon. Tarif menginap di Hotel Des Indes yang sejak awal mahal sejalan dengan layanan yang diberikan bagi para tamu memang berkelas. Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861 dan menginap di hotel ini pernah mengakui kepantasan antara harga dan layanan itu dalam bukunya, The Malay Archipelago.
Sebagai salah satu hotel yang paling dituju di Hindia Belanda, Hotel Des Indes mengedepankan makanan sebagai nilai jual. Rijsttafel misalnya, sangat lekat sebagai ciri hotel ini, di mana makanan disajikan secara berurutan dengan berbagai pilihan hidangan. John T. McCutcheon dalam In Africa: Hunting Adventures in the Big Game Country menulis pada tahun 1910 bahwa makan siang di Hotel Des Indes disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang mulai dari dapur hingga ke meja makan, lalu kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk untuk rijsttafel yang terdiri dari makanan tradisional di Hindia Belanda maupun makanan Eropa.
Cara penyajian makanan berikut menu hidangan seperti ini tentu saja berkesan bagi para tamu, terutama orang-orang Eropa. Kesan itu, menurut Sri Owen dalam Indonesian Regional Food and Cookery membuat orang-orang Belanda pada tahun 1920-an hingga 1930-an menjadi sering mengadakan pertemuan atau pesta dalam bentuk jamuan makan siang di Hotel Des Indes.
Kini, Hotel Des Indes memang sudah tidak ada lagi. Namun, sejarah mencatatnya sebagai hotel legendaris di Hindia Belanda. Berbagai peristiwa sejarah yang terkait perjalanan bangsa Indonesia berlangsung di dalamnya. Selain yang disebutkan di atas, hotel ini pernah menjadi tempat menginap para delegasi Konferensi Asia Afrika, meskipun konferensi diadakan di Bandung. Bahkan dalam harian Kedaulatan Rakjat tanggal 9 Januari 1958, diberitakan bahwa kamar 136 Hotel Des Indes menjadi tempat keberadaan “Otak Peristiwa Cikini” yang ingin membunuh Presiden Sukarno.
Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Dorléans, Bernard. Orang Indonesia dan Orang Perancis : Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.
Harian Kedaulatan Rakjat. “Otak Tjikini di Hotel Des Indes Kamar No.136 ?”. Edisi 9 Januari 1958.
Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku : Menuju Gerbang Kemerdekaan. Jilid 3. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. 2011.
McCutcheon, John T. In Africa: Hunting Adventures in the Big Game Country. Salt Lake City : The Project Gutenberg eBook. 2007.
Owen, Sri. Indonesian Regional Food and Cookery. London : Frances Lincoln. 1999.
Wallace, Alfred Russel. The Malay Archipelago. Vol. I. Salt Lake City : The Project Gutenberg eBook. 2001.
Van der Meulen, Dik. Multatuli : Leven en Werk van Eduard Douwes Dekker. Nijmegen : Sun. 2002