Imam Syafe’i
Imam Sjafe’i—dikenal juga sebagai Pi’i, bang Pi’i atau Letkol Imam Syafe’i—adalah seorang jagoan Jakarta terkemuka dan kharismatik yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Negara diperbantukan kepada presiden khusus urusan pengamanan. Riwayat jagoan yang melekat pada Pi’i terbangun dari pengalaman hidupnya yang kental dengan dunia kriminalitas. Pria Betawi kelahiran Pejaten, Pasar Minggu, tahun 1923, sejak usia 15 tahun sudah mengorganisir penjambret, pencopet, preman, dan pengemis di Pasar Senen. Imam Syafe’i muncul seiring dengan peran wilayah Senen sebagai salah satu pusat perjuangan dan pertempuran sejak sebelum kemerdekaan hingga masa revolusi. Tempat ini juga menjadi salah satu pusat perekonomian dan pintu masuk utama ke Jakarta. Pada usia yang masih belia, tahun 1930-an, Pi’i berhasil mengalahkan para jagoan di wilayah Senen dan menjadi salah seorang pendiri organisasi pencopet yang ditakuti warga Jakarta, ‘Koempoelan 4 Cent’.
Pada sekitar proklamasi kemerdekaan, Pi’i berperan dalam menggerakkan dan mengumpulkan masyarakat sekitar Senen untuk perjuangan kemerdekaan. Pasukan yang dipimpin Pi’i mempunyai persenjataan lengkap karena kemampuannya merampas dan mencuri persenjataan baik dari Belanda maupun Jepang. Di awal kemerdekaan, ia mendirikan laskar dan menjadi komandannya dengan menghimpun para pemuda Senen yang sebagian besar terdiri dari pemuda nakal sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan. Beliau mempunyai andil menggerakkan massa untuk menghadiri Rapat Ikada pada 19 September 1945. Pi’i dikenal berani dan berada di barisan depan saat bertempur melawan pasukan Belanda. Peran itu membawanya menjadi bagian dari ketentaraan yang dibentuk pemerintah. Syafe’i diberi pangkat militer dan Batalon Syafei’i inilah yang pernah sukses memenangkan pertempuran melawan NICA di daerah Senen dan Galur, Jakarta. Pada 1948, Pi’i ikut bergabung dalam penumpasan Peristiwa Madiun. Di masa revolusi, Pi’i dikenal dekat dengan Jenderal A.H. Nasution dan perwira di tubuh Divisi Siliwangi, Jawa Barat.
Pasca revolusi, Pi’i tetap masuk dalam organisasi ketentaraan, sedangkan banyak anak buahnya yang tidak bisa bergabung dalam ketentaraan akibat kebijakan rasionalisasi. Pi’i kemudian mengorganisir dan menampung anak buahnya itu dengan membentuk organisasi penjaga keamanan yang diberi nama ‘Cobra’. Pihak militer memberikan izin organisasi ini yang dalam praktiknya menguasai wilayah dari Jatinegara hingga Ancol, dan dari Tanah Abang sampai Cempaka Putih. Cobra merupakan salah satu organisasi jagoan penting sejak 1950-an. Cobra beranggotakan selain anak buah Pi’i di masa revolusi juga pemuda dari berbagai latar belakang terutama yang dekat dengan dunia kriminal.
Anggota organisasi ini kemudian bertambah dari kalangan perkumpulan orkes Melayu, penyanyi serta penari, dan waria. Selain sebagai organisasi penjaga keamanan, Cobra juga membuka tempat perjudian di berbagai tempat seperti di Glodok, Tanah Tinggi, Jatinegara, dan lain-lain. Ketenaran Pi’i membuatnya disegani di tengah-tengah masyarakat. Foto-fotonya banyak terpampang di tempat usaha atau toko-toko untuk menghindari gangguan atau terbebas dari jagoan lain. Pi’i adalah seorang kapten pada KMKB (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya), tetapi juga pemimpin kelompok Cobra, sekaligus dekat dengan pihak kepolisian. Pada tahun 1958, Pi’i menempuh Pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Ia kemudian sering menjadi pengawal presiden Sukarno saat melakukan perjalanan dinas, dan juga pernah menjadi anggota staf Jenderal A.H. Nasution.
Situasi Jakarta sejak meletusnya Peristiwa G.30 S terus diramaikan dengan demonstrasi setiap hari. Presiden Sukarno berusaha meredam gejolak politik di Jakarta dengan mempertimbangkan Pi’i masuk jajaran kabinetnya. Pada 22 Februari 1966, Pi’i ditetapkan sebagai menteri negara urusan pengamanan dalam kabinet Dwikora yang Disempurnakan oleh Presiden Sukarno atau populer sebagai “Kabinet 100 Menteri”. Ia berusia 43 tahun ketika Sukarno menetapkannya sebagai menteri.
Imam Syafe’i adalah orang pertama di kalangan jagoan Jakarta yang menduduki posisi puncak setingkat menteri di pemerintahan. Hal ini dapat dipandang sebagai pengakuan pemerintah atau Presiden Sukarno terhadap jagoan sebagai faktor penting dalam pengelolaan kekuasaan. Pi’i berbeda dari sebagian besar jagoan Jakarta yang tetap berada dalam kedudukan marjinal dan di luar kekuasaan. Pengangkatan Pi’i sebagai pembantu Presiden Sukarno secara tidak langsung merupakan pengakuan terhadap jagoan sebagai elemen penting revolusi dan perjuangan melawan imperialisme dalam segala bentuk seperti disuarakan oleh Sukarno.
Gejolak politik yang terus berlangsung pasca Peristiwa G.30 S akhirnya mengakhiri kekuasaan Presiden Sukarno dan juga mengakhiri perjalanan panjang Imam Syafe’i dari dunia kriminalitas hingga kedudukan tertinggi di pemerintahan. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dituduh terlibat dalam peristiwa G 30 S. Pi’i hanya duduk di kursi kabinet selama dua bulan yaitu sejak 24 Februari hingga 18 Maret 1966. Bagi organisasi jagoan atau terutama pada kalangan Cobra, penangkapan Pi’i sangat berpengaruh terhadap mereka karena tidak ada figur yang disegani dan dihormati lagi.
Karir Pi’i sangat singkat di pemerintahan bukan karena ia tak mampu bekerja dalam posisi menteri, tetapi langkahnya justru dihentikan sebagai dampak dari pergolakan politik sejak terjadinya peristiwa G30S. Pi’i termasuk pembantu presiden yang ikut tersingkir dari kursi kekuasaan dan kemudian mendekam dalam penjara Orde Baru tanpa ada kesempatan untuk membela diri. Sejak ditangkap dan dalam sembilan tahun kemudian, dia berada dalam tahanan penguasa Orde Baru. Tahun 1975, ia dibebaskan dari penjara dan kemudian sakit parah hingga dirawat di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto. Ia meninggal dunia dalam usia 59 tahun pada tanggal 9 September 1982.
Pi’i ditahan tanpa pernah diadili oleh penguasa Orde Baru. Karir Pi’i sebagai jagoan Senen yang menduduki kursi Menteri terhenti oleh keputusan politik berupa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Dia menjadi target penangkapan dan pengejaran aparat keamanan. Keluarganya ikut menanggung penderitaan akibat persoalan yang menimpa Pi’i dan rumah mereka digeledah oleh aparat keamanan. Ia mengalami nasib seperti halnya pejabat tinggi atau menteri dari kabinet Presiden Sukarno yang terakhir.
Akhirnya sang jagoan yang dikenal dalam sejarah Jakarta hingga disebut sebagai “Robin Hood daerah Senen” menjalani hari-hari terakhir hidupnya dalam penjara politik rezim yang berkuasa. Jika kepahlawanan seseorang diukur dari kontribusi terhadap perjuangan pada republik dan pengabdian kepada negara, Pi’i mungkin patut menerima gelar kehormatan ini. Namun kedekatan dirinya dengan kalangan istana dan jabatannya sebagai Menteri negara urusan pengamanan justru menjadikan Pi’i sebagai tertuduh tanpa pernah tahu kesalahan yang dituduhkan kepada dirinya. Kekuasaan telah membawah Pi’i hingga lingkaran tertinggi di republik ini tetapi kekuasaan pula yang membawa dirinya menuju penjara selama bertahun-tahun. Itulah kisah penuh liku sang jagoan legendaris Senen dalam kancah sejarah Jakarta dan Indonesia.
Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Muhammad Fauzi, “Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan 1950-1966”, Depok: Tesis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Program Studi Ilmu Sejarah, 2010)
Jerome Tadie, Wilayah Kekerasan di Jakarta, Jakarta: Masup, 2009.