Kabinet Burhanuddin Harahap

From Ensiklopedia

Setelah melakukan konsolidasi dukungan partai politik, kabinet Burhanuddin Harahap secara resmi dilantik oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 12 Agustus 1955. Burhanuddin Harahap didukung oleh 12 partai politik, yang semuanya mendapatkan posisi dalam kabinetnya (Fakih dkk. 2019: 393). Berdasarkan susunan kabinetnya, partai pendukung tersebut adalah Masyumi, PIR, PSII, Demokrat, NU, PSI, Partai Katolik, PRN, Partai Buruh, Parindra, dan Parkindo (Finch dan Lev 1965: 32-33)

Di tengah konflik politik di Jakarta yang semakin sengit, Kabinet Burhanuddin berhasil melaksanakan pemilihan umum pada September 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih dari 39 juta orang memberikan suara. Jumlah tersebut merupakan 91,5 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. Hasil Pemilihan Umum menempatkan empat partai yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI pada posisi atas (Ricklefs 1995: 376-377).

Dalam bidang ekonomi, kabinet ini melakukan usaha pengurangan defisit anggaran, penghapusan serangkaian sistem sertifikasi impor, penghentian diskriminasi terhadap pengusaha Tionghoa dan serangkaian kebijakan ekonomi untuk mencapai mekanisme harga yang lebih rasional berdasarkan pasar (Fakih dkk. 2019: 397). Sumbangsih paling signifikan dari kabinet ini terletak pada usahanya dalam pemberantasan korupsi. Pada akhir Kabinet Burhanuddin, enam belas orang telah ditangkap dan ditahan rumah dengan tuduhan melakukan korupsi, termasuk diantaranya dua pejabat polisi, tujuh pejabat sipil dan tiga warga partikelir (Fakih dkk. 2019: 398, 401).

Politik luar negeri Kabinet Burhanuddin adalah mendekati Belanda untuk memulai kKerjasama ekonomi dengan Barat. Burhanuddin bahkan tidak mengangkat masalah Irian Barat dalam Sidang Umum PBB 1955. Namun sikap bermusuhan Belanda tidak berubah sehingga Burhanuddin menggeser haluan ke arah sikap anti-Belanda, yang berakhir dengan pemutusan Uni Indonesia-Belanda pada Februari 1956 (Fakih dkk. 2019: 398). Pemerintah mengumumkan pembubaran Uni Belanda-Indonesia secara sepihak dan berjanji akan mengambil langkah-langkah sepihak lebih lanjut mengenai hasil-hasil Perundingan Meja Bundar (Ricklefs 1995: 378).

Hubungan yang dibangun sejak Perundingan Meja Bundar 1949 tersebut sejatinya ingin dihapuskan sejak masa Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo, dan Ali Sastroamidjojo I. Berakhirnya Uni Indonesia-Belanda dengan sendirinya merupakan salah satu keberhasilan program kabinet Burhanuddin, meskipun dalam beberapa kesempatan perundingan untuk membahas persoalan Irian Barat menemui kebuntuan hingga pemerintahan Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno (Fakih dkk. 2019: 405 dan 407).

Di dalam negeri, Kabinet Burhanuddin berhasil memperbaiki hubungan dengan tentara yang sejak awal sudah menaruh ketidakpercayaan terhadap kabinet ini karena dinilai akan banyak terlibat korupsi seperti kabinet sebelumnya. Pada Agustus 1955 kabinet menerima usulan pihak tentara untuk melupakan Peristiwa 17 Oktober, sehingga para perwira yang diskors kemudian, di antaranya Nasution, dapat kembali bertugas secara aktif. Setelah berlangsung perundingan dalam waktu lama, Nasution tampil sebagai calon utama pihak tentara untuk memenangkan jabatan kepala staf, dan pemerintah mengangkatnya pada Oktober 1955 dengan menaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal (Ricklefs 1995: 378).

Kebijakan pembubaran Uni Indonesia-Belanda ternyata tidak mendapatkan persetujuan dari Presiden Sukarno dan beberapa partai koalisi. Perpecahan koalisi dalam kabinet ditandai dengan upaya penarikan Menteri yang berasal dari NU dan PSII. Burhanuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada 3 Maret 1956, namun Kabinet Burhanuddin masih melaksanakan tugasnya sampai terbentuknya kabinet baru, Kabinet Alisastroamidjojo II. Kepada Alisastroamidjojo, Burhanuddin meminta agar tetap memperhatikan dua hal, yaitu penghapusan Uni Indonesia-Belanda yang secara formal sudah diselesaikan pada masa Burhanuddin dan pemulihan keamanan dalam negeri yang menjadi persoalan sejak Indonesia merdeka (Fakih dkk. 2019: 339: 408-409).

Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Fakih, Farabi; Winardi, Uji Nugroho dan Utama, Wildan Sena (2019). Perdana Menteri Republik Indonesia 1945-1959. Pergumulan Menegakkan Demokrasi. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat jenderal Kebudayaan, Kementerian pendidikan dan Kebudayaan.

Finch, Susan and Lev, Daniel S. (1965). Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast asia Program, Department of Asian Studies Cornell University

Ricklefs, M.C. (1995). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.