Kabinet Gotong Royong

From Ensiklopedia

Kabinet Gotong Royong merupakan upaya Sukarno untuk mereduksi berbagai pertikaian yang terjadi di kalangan partai politik di Indonesia. Menurutnya, berbagai pertikaian ini pada gilirannya mengakibatkan perlambatan proses pembangunan nasional (Sukarno 1965). Bagi partai yang tidak memiliki representasi di parlemen, mereka lebih sering menjatuhkan parlemen. Belum lagi pertikaian antar partai politik yang tergabung dalam Badan Konstituante. Pada 21 Februari 1957, dalam sebuah pidato presiden berjudul “Menyelamatkan Republik Indonesia”, Sukarno mengumumkan sebuah konsepsi untuk mendorong penerapan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan karakter Indonesia (Sukarno 1965).

Konsepsi dari Sukarno terdiri dari dua poin utama. Pertama, pembentukan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari semua fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kabinet ini juga kerap dikenal dengan istilah “Kabinet Kaki Empat”, karena terdiri dari empat parta besar pemenang pemilu 1955: Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Feith dan Castles 1970: 83-89). Kedua adalah pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional dalam masyarakat dan militer. Tugas dari Dewan Nasional adalah mendampingi, membantu, memberi kewibawaan pada kabinet, dan menjadi jembatan antara Pemerintah dengan masyarakat (Feith dan Castles 1970: 63-72).

Dalam perjalanannya, konsepsi presiden Sukarno dihadapkan dengan pro dan kontra. Partai yang kontra, seperti Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia,  dan Partai Katolik Indonesia, berpendapat bahwa konsepsi tersebut dapat mengubah sistem dan susunan ketatanegaraan. Langkah yang ditempuh oleh Sukarno sudah dianggap melangkahi wewenang Konstituante (Mietzner 2008). Kontra juga datang dari Mohammad Hatta, yang sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956. Dalam tulisannya berjudul “Meninjau Konsepsi Presiden Sukarno”, Hatta menyampaikan bahwa dalam berdemokrasi memang sudah seharusnya ada partai oposisi. Keberadaan mereka diperlukan untuk mengkritik dan memberi masukan pada pemerintah dengan harapan dapat menciptakan kebijakan yang lebih konstruktif (Hatta 1981). Hatta menambahkan, menghilangkan partai oposisi maka sangat mungkin melahirkan sistem pemerintah yang diktator.

Sementara itu, bagi yang pro terhadap konsepsi Sukarno berpendapat sebaliknya. Partai seperti PKI, Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Rakyat Nasional (PRN), sebagian besar dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Rakyat Indonesia (PRI), dan partai-partai nasionalis lainnya menganggap ideal gagasan dari Sukarno. Konsepsi Presiden bahkan didukung oleh Persatuan Pegawai Politik Republik Indonesia (Nasution 1992: 388).

Tahun 1959 menjadi titik balik bagi kemunculan Parlemen Gotong Royong (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong, DPR-GR) yang sesungguhnya. Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena menganggap Badan Konstituante telah gagal. Mereka lebih sering melakukan perdebatan yang tidak membuahkan hasil. Lebih banyak perselisihan yang terjadi di antara partai politik. Di atas itu semua, muncul desakan untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 (Damian dan Hornick 1972).

Konstituante pun resmi dibubarkan bersamaan dengan keluarnya Dekrit Presiden. "Parlemen Gotong Royong" dipilih oleh Sukarno untuk menggantikan DPR yang terpilih pada pemilu 1955. Ini juga menjadi penanda dimulainya Demokrasi Terpimpin. Memang tidak terkesan demokratis, namun apa yang dilakukan oleh Sukarno ini dibenarkan dalam konteks gotong royong (Bowen 1986: 551). Dalam pidato Hari Kemerdekaan tahun 1959 berjudul “Manipol-USDEK”, Sukarno menyatakan bahwa prinsip yang melandasi Demokrasi Terpimpin adalah prinsip Gotong Royong, yakni “ho-lopis-kuntul-baris” atau juga bisa berarti bekerja sama-sama (Sukarno 1965: 384). Dalam pidato Hari Kemerdekaan tahun 1960, Sukarno menyerang keberadaan partai-partai politik yang bertentangan dengan konsepsi Gotong Royong: "Gotong Royong diperlukan dalam perang melawan imperialisme dan kapitalisme, di masa sekarang seperti di masa lalu. Tanpa menyatukan semua kekuatan revolusioner kita untuk dilemparkan melawan imperialisme dan kapitalisme, kita tidak bisa berharap untuk menang!" (Sukarno 1965:413).

Lebih jauh, setahun berselang, Sukarno berpidato yang isinya laporan tahun pertama Manipol-USDEK. Ia menyerukan ke “Gotong-Rojongan” antara kelompok Islam, Nasionalis, dan Komunis. "Semua rakyat harus di Gotong Rojongkan dalam perjuangan besar ini. “Dasar perjuangannya adalah menjadi ‘pemersatuan, dus penggotong-rojongan rakyat’” (Sukarno, 1965: 416). Sukarno juga mengelaborasi ide gotong royong yang berarti aktif bekerjasama dan setiap perjuangan kelompok-kelompok maupun faksi-faksi yang ada harus dilakukan secara sejajar dan horizontal (Bowen 1986: 552).

Gagasan gotong royong sebagai perjuangan nasional yang melibatkan kelompok-kelompok yang terkait secara horizontal tersebut kemudian disederhanakan menjadi NASAKOM, Ia adalah sebuah akronim yang dibentuk dari kata nasionalisme (NAS), agama (A), dan komunisme (KOM). Nasakom kemudian menjadi penanda bagi sebuah strategi politik yang menghubungkan kekuatan-kekuatan besar di Indonesia (Sidel 2021).

Lebih jauh, konsepsi gotong royong Sukarno semakin meluas sejak 1959. Hal ini memungkinkan kelompok-kelompok fungsional dari elemen masyarakat dan tentara masuk ke gelanggang politik dengan tujuan utama untuk mengimbangi kekuatan PKI. Beberapa kelompok fungsional di antaranya menggunakan istilah gotong royong sebagai namanya, di antaranya misal Kosgoro (Koperasi Serba Usaha Gotong Royong) dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong yang kemudian menjadi cikal bakal dari Golongan Karya (Golkar) di masa Orde Baru (Boileau 1983).

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Boileau, Julien M. 1983. Golkar: Functional Group of Politics in Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Bowen, John. R. 1986. “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia,” The Journal of Asian Studies, 45(3), h. 545-561.

Damian, Eddy dan Robert N. Hornick. 1972. “Indonesia’s Formal Legal System: An Introduction,” The American Journal of Comparative Law 20 (3), h. 492-530

Feith, Herbert, and Lance Castles. 1970. Indonesian Political Thinking, 1945-1965. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

Hatta, Muhammad. 1981. Kumpulan Pidato. Jakarta: Yayasan Idayu.

Mietzner, Marcus. 2008. “Comparing Indonesia's Party Systems of the 1950s and the Post-Suharto Era: From Centrifugal to Centripetal Inter-Party Competition,” Journal of Southeast Asian Studies 39 (3), h. 431-453.

Nasution, Adnan Buyung. The Aspiration for the Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-159. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sidel, John T. 2021. “Sukarno and the Promise of NASAKOM: From Rust en Orde through the Pacific War, 1926-1945,” dalam Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, h. 146-168.

Sukarno, Ir. 1965. Dibawah Bendera Revolusi. Vol. 2. Jakarta: Panitya Penerbit.