Perumusan Naskah Proklamasi

From Ensiklopedia

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 didahului oleh proses perumusan naskah proklamasi pada malam sebelumnya hingga dini hari tanggal 17 Agustus tersebut. Persiapan perumusan naskah proklamasi berlangsung dramatis dan dalam tempo tinggi. Para pemuda, yang telah mendengar berita kekalahan Jepang dari Sekutu, mendesak para pemimpin nasionalis senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa persetujuan Jepang. Desakan ini berujung pada penculikan dua tokoh nasionalis terkemuka, Sukarno dan Mohammad Hatta, ke Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945. Aksi penculikan ini dilakukan Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Dr. Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih dan Dr. Sutjipto (Anderson 2006: 74). Sementara itu, militer Jepang menolak keinginan kaum nasionalis Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan, karena Jepang diperintahkan menjaga status quo. Namun, perumusan naskah proklamasi tetap berlangsung di rumah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana Muda Tadashi Maeda, yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Perumusan naskah proklamasi merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Proses perumusannya menunjukkan respon cepat kaum nasionalis Indonesia untuk segera mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan sejak lama. Mereka juga memperlihatkan kehati-hatian yang tinggi dalam proses ini mengingat sikap yang ofensif pada Jepang yang masih berkuasa harus dihindari. Perumusan naskah proklamasi mencerminkan perebutan pengaruh antara para pemuda revolusioner dengan kalangan nasionalis berpengalaman seperti Sukarno dan Hatta.

Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Berita penyerahan diri Jepang ini sampai ke telinga para pemuda nasionalis Indonesia yang mendengarkannya lewat siaran radio bawah tanah. Salah satu tokoh pemuda anti-fasis, Sjahrir, meneruskan berita kekalahan Jepang kepada Sukarno dan Hatta. Ia juga menyerukan agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan. Sukarno dan Hatta menolak karena mempertimbangkan kemungkinan terjadinya pertumpahan darah apabila kemerdekaan diproklamasikan secara sepihak dengan Jepang masih berkuasa di Indonesia (Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi 1991: 38).

Sukarno, Hatta dan Soebardjo pada 15 Agustus 1945 mencoba mencari informasi terbaru tentang jalannya perang kepada sejumlah pejabat Jepang di Jakarta. Dari Maeda mereka mendapat kabar tentang kekalahan Jepang, yang beritanya disiarkan lewat radio Sekutu. Kalangan pemuda, yang ingin agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan tanpa intervensi Jepang, mendesak Sukarno, Hatta dan kalangan nasionalis senior lainnya untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sukarno menolak.

Guna menjauhkan Sukarno dan Hatta dari pengaruh Jepang, para pemuda memutuskan untuk mengamankan keduanya ke luar Jakarta, tepatnya ke markas pasukan Pembela Tanah Air (Peta) di Rengasdengklok. Kabar hilangnya Sukarno dan Hatta membuat khawatir nasionalis lain di Jakarta. Soebardjo bertemu Maeda, yang kemudian memerintahkan stafnya, Shigetada Nishijima, untuk mencari keberadaan Sukarno dan Hatta. Para pemuda kemudian melepaskan Sukarno dan Hatta setelah mendapat jaminan dari Soebardjo bahwa Maeda mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sekembalinya ke Jakarta, Soebardjo mengatur sebuah rapat membicarakan proklamasi kemerdekaan. Rapat diadakan pada 16 Agustus 1945 di rumah Maeda (Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi 1991: 39).

Sejumlah pihak hadir dalam rapat perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia di rumah Maeda yang beralamat di Jalan Meiji Dori No. 1 (kini Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat). Tuan rumah terdiri atas Maeda, Nishijima dan Mijoshi. Dari pihak Indonesia hadir Sukarno, Hatta, Soebardjo, Soediro, dan para pemuda Indonesia lainnya dari kesatuan Peta. Mulanya Sukarno, Hatta, Mijoshi dan Maeda menemui Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer), tapi mereka hanya bertemu dengan Nishimura, yang menyampaikan bahwa tentara Jepang tidak boleh mengubah status quo. Sukarno dan Hatta kecewa dengan pernyataan Nishijima dan memutuskan untuk kembali berunding dengan kalangan nasionalis lainnya di rumah Maeda.

Rumah Maeda juga didatangi oleh para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejumlah pemuda, khususnya Sjahrir dan kelompoknya, memilih untuk tidak hadir karena meyakini bahwa teks proklamasi yang akan ditulis tidak akan memuat sentimen anti-Jepang (Kahin 2003: 136). Para pemimpin Indonesia di pertemuan itu sepakat bahwa Indonesia tidak boleh diserahterimakan oleh Jepang kepada Sekutu. Mempertimbangkan hal tersebut, proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera diumumkan.

Rapat penyusunan draf proklamasi dimulai sekitar pukul 03.00 tanggal 17 Agustus 1945. Awalnya, naskah teks proklamasi akan diberi judul ‘maklumat kemerdekaan’. Namun, Iwa Kusumasumantri menganjurkan istilah ‘proklamasi’, yang menurutnya lebih mencerminkan aspirasi nasional. Sukarno, Hatta dan Soebardjo mendiskusikan kata demi kata yang akan ditulis dalam draf tersebut. Sukarno menulis dengan tangan naskah teks proklamasi. Mereka sepakat untuk menggunakan kata ‘proklamasi’ sebagai judul teks dan kalimat ‘Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia’ sebagai kalimat pembuka. Naskah teks yang sudah jadi sempat dikoreksi beberapa kali.

Sukarno membacakan konsep teks itu di hadapan para peserta rapat. Setelah dibaca berkali-kali, hadirin bersama-sama menyatakan persetujuan mereka. Langkah terakhir adalah penandatanganan naskah proklamasi. Di sini terjadi perbedaan pendapat. Ada tiga usul yang dikemukakan, yaitu: 1) semua hadirin yang hadir ikut menandatangani naskah tersebut, 2) tanda tangan oleh utusan dari kelompok-kelompok yang hadir, dan 3) cukup tanda tangan dari ketua dan wakil ketua. Kalangan pemuda, dalam hal ini Sayuti Melik dan Soekarni, mendukung usulan agar cukup Sukarno dan Hatta yang menandatangani. Hadirin akhirnya sepakat dengan usulan tersebut (Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi 1991: 50-51).

Sukarno, Hatta dan para nasionalis senior lain berhasil mengekspresikan dengan tegas tentang Indonesia yang merdeka namun dengan kalimat-kalimat yang moderat untuk mencegah respon keras Jepang  (De Graaf 1959: 324; Siong 2000: 245). Mereka menghindari penggunaan frasa yang mengindikasikan pengambilalihan kekuasaan dengan sesegera mungkin dan dengan paksaan (De Graaf 1959: 323-324; Siong 2000: 244). Hatta meyakini bahwa walaupun Jepang merestui sebuah Indonesia yang merdeka, pasukan Jepang bisa saja diperintahkan oleh Sekutu untuk menindas gerakan kemerdekaan Indonesia guna memberi jalan pada kembalinya kolonialisme Belanda (Hatta 1972: 521). Teks yang akhirnya disepakati ialah yang mengandung pernyataan kemerdekaan Indonesia sekaligus yang tidak menunjukkan pemindahan kekuasaan secara formal ataupun yang mendorong perlawanan terhadap Jepang (Anderson 2006: 82).

Sayuti Melik ditugaskan untuk mengetik naskah yang telah disetujui itu. Ia membuat tiga perubahan dalam teks yang ia ketik. Sukarno dan Hatta membubuhkan tanda tangan mereka di teks tersebut. Para peserta rapat juga sepakat bahwa upacara pembacaan proklamasi kemerdekaan akan dilakukan di halaman depan rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.

Perumusan naskah proklamasi berjalan efektif mengingat singkatnya waktu dan besarnya tekanan kepada para perumusnya. Keberhasilan dalam proses perumusan naskah proklamasi ini akhirnya memberi jalan pada proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang dilangsungkan hanya beberapa jam setelah proses perumusan naskah tersebut tuntas. Sesuai rencana, Sukarno, dengan didampingi oleh Hatta dan sejumlah kalangan nasionalis lainnya, membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di halaman depan rumahnya pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi. Dengan demikian, lahirlah negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

----- (1991). Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anderson, Benedict R.O’G. Anderson (2006 [pertama kali terbit tahun 1972]). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Jakarta & Singapore: Equinox.

De Graaf, H (2000). ‘The Indonesian Declaration of Independence, 17th August 1945.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 115, No. 4.

Hatta, Mohammad (1972). Portrait of a Patriot: Selected Writings by Mohammad Hatta. The Hague & Paris: Mouton Publishers.

Kahin, George McTurnan (2003 [pertama kali terbit tahun 1952]). Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: Southeast Asia Program, Cornell University.

Siong, Han Bing (2000). ‘Sukarno-Hatta versus the Pemuda in the First Months after the Surrender of Japan (August-November 1945).’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 156, No. 2.