Mohammad Rasjidi

From Ensiklopedia
Mohammad Rasjidi. Sumber: Repro dari buku Pekan Buku Indonesia (1954), Hal. 245


Haji Mohammad Rasjidi, atau yang semasa kecil bernama Saridi, lahir pada tanggal 20 Mei 1915 di Kotagede, Yogyakarta. Pendidikan dasar ditempuhnya dengan berpindah-pindah sekolah. Berangkat dari sekolah Angka Loro, sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, ia kemudian memutuskan pindah ke sekolah Muhammadiyah Kotagede. Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia melanjutkan pembelajarannya di Kweekschool Muhammadiyah. Di sekolah ini, baik pelajaran agama maupun umum diberikan secara intensif. Namun, sekali lagi ia pindah sekolah. Al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur menjadi pilihannya untuk meneruskan pendidikan. Sekira dua tahun mengenyam pendidikan di Lawang, Rasjidi memperoleh gelar diploma pada usia 15 tahun (Ananda, 1985: 4-5).

Periode tahun 1925, pada masa ini mulai berkembang minat bumiputra untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Tidak terkecuali bagi Rasjidi. Pada tahun 1931 ia memantapkan hatinya berangkat ke Kairo, dan mendaftarkan diri di Qisim A-am, sekolah bagian umum. Selama di sana, Rasjidi turut aktif berorganisasi, terutama setelah bergabung dan diangkat sebagai wakil ketua Persatuan Pemuda Indonesia Malaya. Untuk memperdalam kemampuan bahasa Arab, Rasjidi melanjutkan ke sekolah guru tinggi Darul Umum dengan terlebih dahulu mengikuti persiapan. Minatnya akan ilmu filsafat agama semakin meningkat setelah ia terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Filsafat dan Agama, Fakultas Sastra, Universitas Kairo, Mesir (Ananda, 1985: 12-16).

Setelah kurang-lebih tujuh tahun menimba ilmu di Kairo, Rasjidi kembali ke tanah air. Setibanya di Indonesia, ia tertarik bergabung dengan PII (Partai Islam Indonesia) yang didirikan pada bulan Desember 1938 di Solo. Selain aktivitas politik, Rasjidi diketahui mulai meniti karir di dunia pendidikan dengan mengambil tawaran mengajar di Pesantren Luhur, Solo, meski hanya dapat bertahan selama delapan bulan tersebab pecahnya Perang Pasifik. Dalam situasi politik yang tengah memanas ketika invasi Jepang terjadi, Rasjidi menerima sebuah surat dari Suwandi (Pejabat Tinggi Departemen Pengajaran dan Peribadatan) yang berisi tentang perintah dari Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon untuk mengelola perpustakaan di Jakarta. Perpustakaan tersebut nantinya akan diberi nama Perpustakaan Islam (Ananda, 1985: 18-25).

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanpa disangka nama Rasjidi tercantum sebagai Menteri Negara dalam susunan Kabinet Sjahrir I yang dibentuk pada 14 November 1945. Setelah menerima kabar yang mengejutkan itu, Rasjidi menjalankan tugasnya selama dua bulan sebelum ia ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Sjahrir II. Dalam pidato pengukuhannya, ia mengemukakan tentang pentingnya toleransi antar umat beragama di Indonesia, terutama pada situasi awal revolusi yang rawan konflik. Pada tanggal 3 Januari 1946, bertepatan dengan dipindahkannya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta, melalui siaran Radio Republik Indonesia, Rasjidi menyampaikan bahwa Kementerian Agama telah dibentuk. Kabinet Sjahrir II hanya berusia kurang-lebih tujuh bulan. Ketika Kabinet Sjahrir III dibentuk, nama Rasjidi tidak lagi termaktub dalam daftar menteri. Meski demikian, ia ditetapkan sebagai Sekretaris Jendral Kementerian Agama, yang berkedudukan di Yogyakarta (Ananda, 1985: 31-35).

Tugas negara kembali diemban oleh Rasjidi ketika ia diutus menyambut Mohammad Abdul Mounem (Konsul Jendral Mesir) yang tanpa pemberitahuan sebelumnya, telah mendarat di Maguwo, Yogyakarta pada Maret 1947. Sebagai utusan Liga Arab, kedatangan Mounem di Indonesia bertujuan mengadakan dialog mengenai bantuan yang dapat diberikan oleh negara-negara Arab dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Delegasi Diplomatik RI pun segera dibentuk dengan Haji Agus Salim sebagai ketuanya. Rasjidi ditunjuk sebagai sekretaris sekaligus bendahara delegasi. Delegasi Indonesia yang diberangkatkan pada 17 Maret 1947 ini berhasil menggalang dukungan dengan penandatanganan Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dan Mesir pada 10 Juni 1947 (Ananda, 1985: 37).

Sementara itu, Indonesia digempur oleh Agresi Militer I. Rasjidi ditunjuk H. Agus Salim untuk menjadi Perwakilan RI di Kairo. Berbekal kedudukan barunya, Rasjidi melanjutkan perjuangan dalam menggalang dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi, terutama kepada Pemerintahan Saudi. Pasca Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949, Rasjidi kembali mendapat kepercayaan dari Pemerintah RI. Ia ditugaskan menjadi Duta Besar Indonesia di Mesir, dan pada tahun 1953 menjadi Duta Besar Indonesia di Iran. Setelah 11 bulan, Rasjidi kembali ke Indonesia dan diangkat sebagai Dirjen Penerangan Deplu (Ananda, 1985: 37-51).

Memasuki periode Demokrasi Liberal, Rasjidi ditugaskan di Akademi Dinas Luar Negeri, yang pada waktu itu diketuai oleh Subardjo. Di sana, ia memanfaatkan waktu untuk mengumpulkan sumber-sumber terkait disertasinya. Ia melanjutkan studinya ke Universitas Sorbonne ketika datang tawaran beasiswa Rockefeller Foundation. Pada tahun 1956, Rasjidi mampu mempertahankan disertasinya dan mendapat gelar doktor. Begitu menyelesaikan studi, Rasjidi ditunjuk menjadi Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Pakistan. Selain itu, aktivitas dunia akademiknya kembali dimulai setelah ia meneriwa tawaran mengajar di Mc Gill University, Kanada, sebagai Associate Professor dalam Ilmu Agama Islam (Ananda, 1985: 56-60).

Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1965, ia mendapati bahwa Partai Komunis Indonesia sedang mendominasi percaturan politik negara. Secara tersirat, Rasjidi menampilkan diri sebagai penentang terhadap partai tersebut, yang disajikannya dalam buku berjudul Islam Menentang Komunisme. Tersebab tekanan PKI terhadap tokoh-tokoh Islam semakin meningkat, menyebabkan Rasjidi berangkat ke Arab Saudi dan menjadi anggota Rabitah al- ‘Alam al-Islami (Liga Dunia Islam). Setelah masa pergolakan mulai mereda, Rasjidi pulang ke tanah air pada 1967. Ia diminta kesediaannya untuk menjadi pengajar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 20 April 1968, Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam (Azra, 1994:105-106).

Setelah malang-melintang dalam dunia politik dan pendidikan, pandangan Rasjidi semakin matang terhadap konsep pendidikan dalam konteks Indonesia masa itu. Menurutnya, negara sepenuhnya bertanggung jawab terhadap asupan pendidikan agama bagi rakyat. Ia menentang sikap pemerintah yang membedakan antara sistem pendidikan formal dan nonformal. Apalagi jika pendidikan agama diajarkan di luar sekolah pemerintah. Ia menegaskan bahwa sudah sepatutnya bila pendidikan agama Islam diberikan secara berimbang di lembaga-lembaga pendidikan pemerintah, alih-alih hanya berfokus di pesantren (Sagala, 2016:137).

Tidak hanya melalui jalur pendidikan, Rasjidi secara kontinyu memperjuangkan kemurnian Islam di Indonesia melalui pemikiran. Sikap tegas Rasjidi jelas terlihat terutama ketika muncul adanya potensi gagasan atau kebijakan pemerintah yang dapat mengancam ajaran-ajaran agama Islam beserta pemeluknya. Meskipun demikian, keberpihakannya terhadap ideologi Republik Indonesia tidak dapat diragukan (Azra, 1994:116).

Di usia senjanya, Rasjidi masih disibukkan dengan kegiatan menyusun karya tulis filsafat Islam, menuangkan pandangan-pandangannya dalam mempertahankan kemurnian Islam Indonesia (Ananda, 1985: 65-71).

Penulis: Florentinus Galih Adi Utama
Instansi: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Sumber

Azyumardi Azra. 1994. “Guarding The Faith of The Ummah: Religio-Intellectual Journey of Mohammad Rasjidi”, dalam Studi Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. I, No. 1, 1994, hlm. 89-119.

Endang Basri Ananda. 1985. 70 Tahun Prof.Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Pelita.

Saadiyah Ratnasari Sagala. 2016. “Filsafat Pendidikan Islam H.M. Rasjidi (1915-2001)”, dalam Rayah al-Islam: Jurnal Ilmu Islam, Vol. 1, No. 1 (April), hlm. 134-139.