Musyawarah Nasional Pembangunan Tahun 1957

From Ensiklopedia

Musyawarah Nasional Pembangunan atau, disingkat dengan Munap, adalah satu agenda besar pemerintah Indonesia pada masa Presiden Sukarno untuk menstabilkan dan mempercepat pembangunan negara. Munap diselenggarakan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang memimpin Kabinet Karya (1957-1959) pada tanggal 25 November hingga 4 Desember 1957 di Jakarta. Musyawarah dihadiri oleh peserta yang berjumlah sekitar empat ratus orang. Mereka merupakan delegasi dari berbagai kalangan, seperti anggota pemerintah pusat, dewan daerah, petinggi militer, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Nasional, partai politik, pedagang, industri, perbankan, buruh, petani, pemuda, perempuan, wartawan, veteran, seniman, dan pemuka agama (Keng Po, 26 November 1957; Fakih 2021: 178).

Sebelumnya pada tanggal 10 sampai 14 September 1957, kabinet Djuanda menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) atas usulan dari Dewan Nasional. Desakan diadakannya Munas gencar disuarakan guna mengatasi ketegangan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang semakin memanas (Feith 2007: 582; Ricklefs 2001: 513-514). Konflik ini sudah terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957). Dewan-dewan daerah yang dikuasai pihak militer tidak puas dengan kinerja pemerintah pusat. Mereka merasa bahwa pejabat pemerintah pusat banyak melakukan korupsi dan tidak memperhatikan kepentingan daerah. Sentralisasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dianggap gagal (Kahin & Kahin 1995: 71).

Hasil dari diselenggarakannya Munas nampaknya berjalan dengan baik untuk sementara waktu. Beberapa kesepakatan dan penyelesaian konflik mulai menemui jalan terang. Salah satunya pembentukan Tim Tujuh yang beranggotakan Presiden Sukarno, Perdana Menteri Djuanda, KSAD Nasution, Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Johannes Leimena, dan dr. Aziz Saleh, untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam tubuh militer. Oleh karena itu, agenda dilanjutkan dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pembangunan dua bulan kemudian (Feith 2007: 583). Pembahasan mengenai pembangunan, ekonomi, dan perbaikan hubungan pusat-daerah dilanjutkan.

Namun, serangkaian perubahan secara tiba-tiba yang terjadi pada akhir bulan November dan awal Desember membuat kedua musyawarah tersebut berujung pada kegagalan. Kesepakatan penyelesaian yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan negara baru ini tidak signifikan. Meskipun para delegasi dari dewan-dewan daerah memilih untuk bekerja sama, namun tidak diperoleh kesepakatan bersama (Ricklefs 2001: 514). Jalan buntu kembali ditemui dan kondisi ini diperparah dengan kegagalan Indonesia dalam perebutan Irian Barat melawan Belanda di sidang PBB dan peristiwa percobaan pembunuhan Presiden Sukarno (Peristiwa Cikini) pada 30 November 1957. Pemberian amnesti oleh Tim Tujuh kepada para dewan daerah diambil ebagai salah satu penyelesaian konflik pusat-daerah dibatalkan pada tanggal 7 Desember 1957 (Kedaulatan Rakjat, 10 Desember 1957 dalam Hariyono 2005: 306).

Penulis: Fernanda Prasky Hartono
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Fakih, F., 2021, Authoritarian Modernization in Indonesia’s Early Independence Period: The Foundation of the New Order State (1950-1965), Leiden/Boston: Brill.

Feith, H., 2007, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Jakarta: Equinox Publishing.

Hariyono, 2005. Musyawarah Nasional dan Musyawarah Nasional Pembangunan 1957: Sebuah Kegagalan Rekonsiliasi, Jurnal Bahasa dan Seni, Vol. 33, No. 2.

Kahin, A. R. & Kahin, G. M. 1995. Subversion as Foreign Policy, the secret eisenhower and dulles debacle in indonesia. New York: The New Press.

Ricklefs, M. C., 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.