Mohammad Roem

From Ensiklopedia

Mohammad Roem adalah salah satu tokoh populer sebagai negosiator dalam perundingan Roem-Royen tahun 1949. Ia terkenal sebagai diplomat ulung dalam perundingan-perundingan yang melibatkan Indonesia dan Belanda. Mohammad Roem lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan suami istri Dulkarnaen Djojosasmito dan Siti Tarbijah. Masa kecil Mohammad Roem dilewatkan di dua tempat, yakni Parakan (1908-1919) dan Pekalongan Jawa Tengah (1919-1924). Masa kecil Mohammad Roem banyak dihabiskan di Parakan bersama ayah, ibu dan neneknya. Namun, pada tahun 1919 ketika terjadi wabah di kota kelahirannya, Roem dan adik perempuannya diungsikan ke tempat tinggal kakak perempuanya Mutiah di Pekalongan.

Mohammad Roem menempuh Pendidikan formal pertamanya di Pendidikan Sekolah Desa (Volkschool) tahun 1915 selama dua tahun, kemudian Roem melanjutkan pendidikannya ke Hollandsche Inlandsche School (HIS). Ia dapat masuk ke HIS karena ayahnya seorang lurah. Pendidikan di HIS diselesaikan di dua tempat, yakni di Temanggung (1917-1919) dan di Pekalongan (1919-1924),

Setelah lulus dari HIS Roem melanjutkan pendidikannya ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen)  di Jakarta. Pendidikan di STOVIA itu ditempuh selama 10 tahun dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan selama 3 tahun dan bagian Geneeskundig (Kedokteran) selama 7 tahun. STOVIA kemudian dihapuskan pada tahun 1927, suatu keuntungan bagi Roem karena ia dapat masuk STOVIA dan selesai pada 1924. Setelah itu penerimaan untuk STOVIA dihentikan. Mohammad Roem kemudian melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemene Middelbare School) dan selesai pada tahun 1927.

Setelah tamat dari AMS Roem kemudian melanjutkan pendidikannya ke Geneeskundige Hogeschool (GHS) selama 2 tahun namun tidak lulus. Kemudian di tahun 1932 Mohammad Roem melanjutkan studinya ke RHS (Rechts Hogeschool) di Jakarta setelah 2 tahun sempat berhenti sekolah. Roem kemudian berhasil lulus dari RHS pada tahun 1939 dan kemudian mendapat gelar Meester in de Rechten (MR) atau Sarjana Hukum. Semenjak lulus dari RHS ia kemudian memulai karirnya sebagai advokat  yang membela rakyat kecil.

Pada saat studi di STOVIA, Mohammad Roem mulai mengenal dunia organisasi kepemudaan, seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB) yang pada saat itu berkembang dilingkungan STOVIA. Melalui dua organisasi ini Roem mulai berkenalan dengan dunia politik. Dari JIB lah karir politik Roem dimulai. Di organisasi ini Roem lebih aktif melakukan kegiatan, karena di JIB ini keanggotaanya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah yang beragama Islam.  Di JIB inilah Roem pertama kalinya berkenalan dengan Haji Agus Salim, yang pada saat itu duduk sebagai penasehat JIB.

Kedekatannya dengan Agus Salim juga telah mendorong dirinya menjadi anggota dan terlibat aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Di PSII ini pula Roem kemudian mengenal tokoh tokoh nasional lainnya seperti H.O.S Tjokroaminoto. Secara resmi Mohammad Roem menjadi anggota PSII pada tahun 1932. Ketika PSII terpecah pada tahun  1936, Roem bersama Haji Agus Salim kemudian membentuk Barisan Penyadar PSII.

Pada masa pendudukan Jepang, semua partai-partai politik yang ada dibubarkan, termasuk Barisan Penyadar PSII. Ketika Jepang merestui berdirinya Barisan Pelopor di bawah Jawa Hokokai dan Barisan Hizbullah yang didirikan pada Oktober 1944 di bawah Masyumi, barulah Mohammad Roem kembali aktif dalam dunia pergerakan nasional. Roem dipercaya sebagai Ketua Muda Barisan Hizbullah di Jakarta.

Perlu dijelaskan bahwa Masyumi didirikan pada 24 Oktober 1943 karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia melalui lembaga Islam. Kegagalan Jepang mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat) juga menjadi salah satu faktor dibentuknya Masyumi. Awalnya, Masyumi belum menjadi partai politik, melainkan federasi yang menaungi organisasi Islam yang diizinkan pada masa pendudukan Jepang. Masyumi mendeklarasikan diri sebagai partai politik setelah Indonesia merdeka.

Masyumi ditetapkan menjadi partai politik pada 7-9 November 1945 di Yogyakarta. Dalam kongres pertama itu, Masyumi mendeklarasikan diri sebagai partai Politik dan bukan lagi organisasi yang menghimpun organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Salah satu alasan berubahnya haluan Masyumi disebabkan oleh keluarnya maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran untuk mendirikan partai politik.

Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 menandakan dimulainya babak baru bagi Indonesia. Indonesia pun mulai menyusun perangkat kenegaraan. Salah satunya adalah dengan membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat pada 29 Agustus 1945. KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden dengan anggota terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai golongan dan daerah. Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, 15 orang berasal  dari kalangan Islam, Mohammad Roem termasuk salah satu dari wakil kalangan Islam, dan terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta Raya. Sebagai ketua KNI Jakarta Raya, Mohammad Roem banyak berhubungan dengan Walikota Jakarta yang dijabat oleh Suwiryo, mereka berhasil menggalang rapat raksasa di Lapangan Ikada  pada 19 September 1945.

Mohammad Roem dikenal sebagai diplomat ulung. Kehebatannya diatas meja perundingan membuatnya ditunjuk oleh Sukarno menjadi anggota tim perunding  Indonesia dalam meja perundingan sejak perjanjian gencatan senjata dengan Sekutu, Perjanjian Linggarjati (1946), Perjanjian Renville (1948), Pernyataan/Perjanjian Roem-Royen (1949), hingga Konferensi Meja Bundar (KMB). Puncak prestasi diplomasinya adalah ketika menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di Jakarta pada tanggal 14 April -1 Mei 1949 yang mengabadikan namanya untuk nama perundingannya yaitu Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian Roem-Royen diwakili oleh Herman van Royen dari Belanda serta Mohammad Roem dari pihak Indonesia. Perjanjian Roem-Royen ini membuka jalan kepada Indonesia untuk diakui kedaulatannya oleh Belanda dan dunia internasional.

Setelah pembubaran RIS, dan Indonesia memasuki era Demokrasi Parlementer, Mohammad Roem pun kembali terlibat dalam pemerintahan sebagai wakil dari Partai Masyumi, antara September 1950 – 27 April 1951, Mohammad Roem duduk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Natsir. Selanjutnya beliau duduk kembali sebagai Menteri dalam Negeri pada Kabinet wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953). Ketika Kabinet Wilopo jatuh dan digantikan secara berturut-turut oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dan Kabinet Burhanudin Harahap (1955-1957) beliau tidak duduk dalam kedua kabinet tersebut, baru setelah Kabinet Burhanudin Harahap jatuh dan digantikan Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957) Mohammad Roem kembali dalam kabinet dan menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Sukarno. Dikutip dari M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1991), beberapa tokoh Masyumi dianggap terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958. PRRI disebut-sebut melancarkan aksi pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Meningkatnya aktivitas PRRI membawa dampak negatif bagi Masyumi, terutama di daerah-daerah yang bergolak. Pemerintahan Sukarno pun mengeluarkan peringatan tertanggal 5 September 1958 tentang larangan terhadap sejumlah partai politik atau organisasi, termasuk Masyumi, di Tapanuli, Sumatra Barat, Riau, serta Sulawesi Utara dan Tengah.

Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena tekanan Sukarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya. Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan selama empat tahun (1962-1966). Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.

Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Sukarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.

Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M. Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Roem kemudian meninggal dunia di Jakarta 24 September 1983 pada umur 75 tahun akibat gangguan paru-paru, dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Insaniwati, Iin Nur. Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangan. Magelang: Indonesiatera, 2002

Soemarsono, Soemarso. Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding. Jakarta:  Bulan Bintang, 1978.