Perang Cumbok Januari 1946 (Aceh)

From Ensiklopedia

Perang Cumbok atau Peristiwa Cumbok merupakan konflik sosial antara golongan ulama yang tergabung dalam organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kelompok uleebalang (bangsawan) di wilayah Pidie di bawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Cumbok pada masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena pusat konflik berada di wilayah Cumbok (Kecamatan Lameuloe, Kabupaten Pidie sekarang), maka peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Cumbok atau Peristiwa Cumbok. Setelah peristiwa ini, jalannya revolusi kemerdekaan di Aceh berada di bawah satu kendali, yaitu di bawah komando para pemimpin PUSA.

Peristiwa Cumbok selain dilatarbelakangi oleh faktor historis persaingan antara kedua kelompok, juga terjadinya perbedaan interpretasi terhadap situasi yang berubah sangat cepat di Aceh pasca-kekalahan Jepang terhadap Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Informasi kekalahan Jepang yang datang tiba-tiba telah mengejutkan para pemimpin Aceh, sehingga menyebabkan masing-masing kelompok mengambil sikap berdasarkan interpretasi masing-masing terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Kelompok yang menjadi kolaborator Jepang, terutama kelompok PUSA dan sebagian uleebalang seperti Teuku Nyak Arief dan T. M. Ali Panglima Polem, merasa sangat khawatir kalau Belanda kembali ke Aceh. Sebaliknya, sebagian besar uleebalang yang sangat dirugikan oleh Jepang menyambut baik kekalahan Jepang dan berharap kedatangan kembali Belanda, karena status mereka sebagai penguasa wilayah di Aceh akan terjamin. Alasan inilah yang menyebabkan kelompok uleebalang banyak yang tidak tertarik dengan berita proklamasi. Saat diperoleh kabar bahwa Belanda akan kembali ke Aceh, sebagian mereka sempat membentuk Comite van Ontvangst (Panitia Penyambutan) (Insider 1950: 5; Sulaiman 1997: 115– 16).

Tindakan kelompok uleebalang ini dianggap oleh golongan PUSA dan dan pengikutnya sebagai tindakan menentang Republik menyebabkan mereka berpendapat bahwa sikap uleebalang itu perlu dihentikan. Implikasinya adalah terjadi ketegangan, yang akhirnya mengakibatkan pecah konflik terbuka antara kedua kelompok di wilayah Pidie sejak awal Desember 1945. Konflik yang berlangsung sampai pertengahan Januari 1946 ini dimenangkan oleh kelompok PUSA yang didukung oleh milisi rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) (Alfian 1982: 75–76).

Setelah berakhirnya Peristiwa Cumbok, atmosfer permusuhan terhadap uleebalang benar-benar menyelimuti perpolitikan di Aceh. Situasi inilah yang mempercepat terjadinya revolusi sosial yang digerakkan oleh Ketua Pemuda PUSA, Tgk. Amir Husin Al Mujahid. Bersama wadah militer bentukannya yang diberi nama Tentara Perjuangan Rakyat (TPR), Tgk. Amir Husin Al Mujahid bergerak dari Idi, Aceh Timur, pada akhir Februari 1946 ke arah barat menuju Kutaraja untuk melucuti dan membersihkan semua uleebalang yang ada di sepanjang wilayah yang dilewatinya. Teuku Nyak Arief sendiri menjadi korban dari gerakan TPR ini. Ia ditangkap dan diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah, sampai ia meninggal tidak lama kemudian. Jabatan militer (Jenderal Mayor) milik Teuku Nyak Arief kemudian diambil alih oleh Tgk. Amir Husin Al Mujahid dan menempatkan dirinya menjadi pimpinan militer berpengaruh di Aceh. Gerakan Tgk. Amir Husin Al Mujahid ini menyebabkan berakhirnya masa kekuasaan uleebalang di Aceh, dan wilayah kekuasaan turun-temurun uleebalang kemudian dijadikan kabupaten dan kecamatan. Revolusi sosial di Aceh telah menghilangkan 102 “swa-pemerintahan” kecil yang sebelumnya menjadi andalan Belanda (Reid 2018: 267; Umar 2021: 203-205).

Berakhirnya kekuasaan uleebalang menyebabkan kuatnya pengaruh kelompok PUSA di Aceh. Kondisi ini telah mengubah jalannya revolusi kemerdekaan Indonesia di Aceh. Sejak saat itu jalannya revolusi kemerdekaan di Aceh menjadi satu arah, sepenuhnya berada di bawah kendali PUSA yang diketuai oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Pengaruh Tgk. M. Daud Beureueh semakin kuat dengan pengangkatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo (Amin 1978: 40).

Penulis : Mawardi Umar


Referensi

Alfian,T. Ibrahim dkk., 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh 1945–1949. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh.

Amin, S.M., 1978. Kenang-kenangan dari Masa Lampau. Jakarta: Pradnya Paramita.

Insider, 1950. Atjeh Sepintas Lalu. Jakarta: Archapada. 

Reid, Anthony, 2018. Indonesia, Revolusi, & Sejumlah Isu Penting. Jakarta: Prenada Media.

Sulaiman, M. Isa 1997. Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Umar, Mawardi dkk., 2021. Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Modal: Bank Indonesia dalam Dinamika Perekonomian Aceh. Jakarta: Bank Indonesia Institute.