Peristiwa Tiga Daerah

From Ensiklopedia

Peristiwa Tiga Daerah adalah sebuah revolusi sosial yang terjadi pada bulan Oktober hingga Desember 1945 di tiga kabupaten di wilayah karesidenan Pekalongan, yaitu Brebes, Pemalang, dan Tegal. Peristiwa tersebut dimotori oleh satu faksi kaum komunis yang pernah dibuang di Boven Digul, Papua (Lucas 2004: 2; Ricklefs 2001: 269).  Revolusi sosial ini meledak selang dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akibat akumulasi kekecewaan dan amarah rakyat di tiga daerah tersebut selama masa kekuasaan Belanda dan Jepang yang telah mengekspolitasi sumber pangan dan tenaga fisik. Penderitaan tersebut diperkuat kepasifan pemimpin birokrasi,  dan berita kemerdekaan yang disusul dengan kabar akan kehadiran kembali Belanda di Jawa pada akhir Oktober 1945; semua itu memantik inisiatif tokoh lokal untuk melakukan aksi radikal (Lucas 1977: 99-101). Terlebih lagi wilayah Karesidenan Pekalongan, terutama Pemalang, pernah menjadi basis kegiatan "bawah tanah" satu faksi Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa penjajahan Belanda dan kurang mendapatkan pengawasan dalam masa penjajahan Jepang (Lucas 2012: 60-65).

Faksi PKI ini sebetulnya lemah secara nasional, karena itu dianggap sebagai PKI Ilegal, namun di tingkat lokal faksi ini sangat kuat. Salah satu tokohnya, K. Midjaja, pada 16 November 1945 berhasil membentuk jaringan Front Persatuan atau Front Rakyat di ketiga daerah tersebut dengan nama Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D) (Lucas 2004: 257). Tujuan utama dari front ini ialah merebut kekuasaan di ibukota Karesidenan Pekalongan  (Lucas 2012: 95). Peristiwa Tiga Daerah ini memiliki julukan lain seperti Negara Talang, Rakyat Bergerak, dan Gerakan Kutil (Lucas 2004: 151-152, 157-158). Julukan ini muncul untuk menggambarkan militansi sikap warga lokal, sifat massal dari aksi sosial, dan ketokohan dari seorang warga Talang, Sakhyani yang dikenal dengan sebutan masa kecilnya, Kutil. Ekspresi radikal yang dilakukan di tiga daerah ini bermula pada 7 Oktober 1945 di desa Cerih, Tegal Selatan (Lucas 1977: 108-109; Lucas 2004: 148-149). Pada 8 Oktober 1945, seorang Lurah Cerih dan istrinya menjadi sasaran amuk massa. Massa menuntut timbunan gabah yang disimpan dalam gudang lurah tersebut, yang merupakan hasil eksploitasi terhadap masyarakat pada masa sebelum Proklamasi Kemerdekaan, agar dibagikan kepada masyarakat.

Tanggapan lurah yang kurang sigap, dan justru menunjukkan kemegahan simbolis kekuasaannya dengan mengenakan busana lurah, memancing kemarahan massa yang kemudian mempermalukannya. Massa men-"dombreng"nya lurah tersebut, yakni memaksanya mengenakan pakaian yang terbuat dari karung goni, dan istrinya yang dikalungi untaian padi diarak berjalan sepanjang 5 km dengan iringan suara dari pukulan kaleng, kayu, atau apa saja yang dapat menjadi instrumen pentatonis yang menghasilkan suara "tong" dan "breng". Pasangan dari Cerih ini kemudian dipaksa meminum air mentah dari batok kelapa dan menyantap gerusan kulit padi, dêdak (Lucas 1977: 108-9; Lucas 2004: 148-149).

Aksi massa di Cerih menginspirasi daerah-daerah lainnya untuk melakukan tindakan serupa. Di Moga, massa merusak rumah-rumah penanggungjawab penggilingan padi, kepala sekolah yang beragama Katolik, mantri pasar, Cina, pemimpin Kakyo Sokai (perhimpunan Tionghoa, di masa sebelumnya disebut Chung Hua Hui),  penanggung jawab penanaman pohon Jarak, pengawas pembagian minyak tanah, matri keehatan, lurah, kepala lingkungan, kyai yang di masa Jepang menjadi panitia pembagian barang, dan kantor kecamatan (Lucas 2004: 158-161).

Beberapa lurah dan camat di daerah lain di tiga kabupaten ini juga mendapatkan perlakuan kasar dan memalukan. Nasib buruk juga menimpa para penguasa level di atasnya, seperti camat, wedana, bupati, dan residen. Sebagian dari mereka ada yang berhasil menyelamatkan diri, sebagian lainnya dibunuh. Aksi sosial massa juga telah menghanguskan rumah dan toko seorang Cina di Pemalang. Pada minggu ketiga bulan Oktober 1945, mayoritas pemimpin di ketiga daerah tersebut "didombreng" dan diganti dengan tokoh masyarakat yang baru (Lucas 2004: 157-172). Namun, tidak semua pergantian kekuasaan di ketiga daerah ini terjadi melalui jalan kekerasan. Di beberapa daerah di Brebes pergantian penguasa lokal terjadi secara damai (Lucal 2004: 161, 164).

Bahkan ada pula pejabat lama yang tidak diusik karena bersikap baik di masa Jepang, dengan membagikan bahan kain untuk celana pendek, dan di awal kemerdekaan membagikan beras sebelum adanya tuntutan dari warga setempat. Sasaran aksi massa ini bukan semata pada mereka yang terkait sebagai agen kolonial Belanda atau Jepang, namun mereka yang bertindak koruptif pada kedua massa tersebut. Pada bulan Oktober 1945, Kutil membentuk sebuah organisasi pemuda, Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) (Lucas 2004: 154). Organisasi ini bertujuan untuk membagi kekayaan, mencari dan melucuti sisa-sia orang Jepang, serta menumpas orang-orang yang dicurigasi sebagai agen NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Pada 10 Desember 1945, Front Persatuan berhasil menyingkirkan Residen Pekalongan dan menggantinya dengan Sardjio. Residen baru ini menyatakan bahwa pemerintah harus berdasarkan kerakyatan dan kekeluargaan. Ia pun menyerukan untuk menghapuskan gelar dan sebutan feodal seperti "padoeka" dan "hamba", seraya menggalakkan sebutan-sebutan yang lebih egalitarian seperti "bapak" dan "bung" (Lucas 2012: 97-98).  Para pejabat baru berasal dari golongan agama, guru sekolah, atau pemimpin perjuangan. Di Brebes, hampir separuh pejabat baru berasal dari elit lama. Para pejabat baru tersebut akan bertahan lama jika mendapatkan dukungan kekuatan dari lenggaong atau jagoan (Lucas 2004: 166).

Namun demikian, aksi sosial radikal relatif brutal ini tidak berlangsung terlalu lama. Aksi mereka mendapatkan tentangan justru dari masyarakat setempat yang semula menjadi pendukung, namun kemudian memiliki pandangan berseberangan.  Tanggal 14 Desember 1945, resimen Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibantu oleh kelompok-kelompok Muslim setempat  berhasil menangkap Reisden Sardjio (Lucas 2012: 99). Hampir sepuluh hari kemudian, mereka berhasil menangkap sekretarisnya, selain menangkap Bupati Pemalang, Soepangat, dan tokoh-tokoh lain. Satu perubahan penting sebagai hasil dari Revolusi Sosial tersebut adalah munculnya elit baru yang berbasis keagamaan (Lucas 2004: 174). Sejumlah 27% elit baru  memimpin di tingkat kecamatan dan kawedanan, dan 53% yang memimpin desa. Elit baru perkotaan yang semula selalu didominasi oleh para pangreh praja, beralih tangan ke para santri.

Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Lucas, Anton. 1977. "Social revolutionin Pemalang, Central Java, 1945", dalam Indonesia, No. 24, hlm. 86-122.

Lucas, Anton E. 2004. One soul one struggle, peristiwa tiga daerah dalam Revolusi Indonesia, Yogyakarta: Resist Book.

Lucas, Anton (ed.). 2012. Radikalisme lokal: oposisi dan perlawanan terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), Yogyakarta: Syarikat.

Ricklefs, M. C. 2001. A history of modern Indonesia since c. 1200, Hampshire: Palgrave.