Rosihan Anwar
Rosihan Anwar adalah seorang jurnalis terkemuka dalam sejarah Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari pasangan Anwar gelar Maharadja Soetan dan Siti Safiah. Anwar gelar Maharadja Soetan, ayah Rosihan, bekerja sebagai pegawai bumiputra Hindia Belanda dengan pangkat Asisten Demang. Rosihan lahir tanggal 10 Mei 1922 di Kubang Nan Duo, Sumatra Barat (Anwar 1983: 19 & 24). Rosihan Anwar menempuh pendidikan formal pada HIS (Holland Inlandsche School) lulus 1935, dan MULO (Meer Uitgbreid Lager Onderwijs) lulus 1939, di kota Padang. Setamat MULO, Rosihan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) Bagian A di Yogyakarta (lulus 1942) dan memilih bidang Klasik Barat (Anwar 1983: 31 & 36). Pada masa inilah, bacaan Rosihan Anwar meluas mencakup berbagai ideologi dunia, dan membandingkan wacana ideologi itu dalam refleksi bahasa. Hal ini dibuktikan saat menjadi reporter muda di Harian Asia Raya pada 1943–1945 (Anwar, 1983: 159). Rosihan juga mendapat pelatihan di “Drama Workshop”, Yale University, Amerika Serikat (1950), dan School of Journalism, di Columbia University, New York, Amerika Serikat (1954).
Rosihan Anwar menyenangi ideologi sosialisme yang bersandarkan persamaan semua manusia, sehingga membawanya dekat dengan Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, dan Subadio Sastro Satomo. Rosihan menjadi orang sosialis adalah pengaruh langsung dan tidak langsung dari pemikiran Sutan Sjahrir (seperti soal perjuangan martabat kemanusiaan melalui penggunaan rasio dan akal), Soedjatmoko (soal filsafat, pandangan hidup, politik, dan sosialisme), dan Subadio Sastro Satomo (terutama sifat non-kompromis). Dari ideologi itu, Rosihan memimpikan terwujudnya nilai-nilai “kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan” di tengah kehidupan bangsanya (Anwar 1983: 113).
Cita-cita Rosihan Anwar tersebut telah membawanya menjadi orang yang lebih cenderung kepada suara hati dan kemanusiaan, daripada kekuasaan. Jacob Oetama menyebut Rosihan Anwar sebagai ”wartawan sejati” (Chaniago 2010: 456). Gambaran demikian terlihat dalam berbagai pelaporan berita berdasarkan perjalanan dan peristiwa yang diliputnya. Apalagi, ia adalah juga redaktur pertama Harian Merdeka (1945–1946), pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat (1947–1957), dan Surat kabar Pedoman (1948–1961).
Dalam berbagai pemberitaan di surat kabar terlihat upaya Rosihan dalam membela kaum terpinggirkan atau menunjukkan keberpihakan kepada kaum papa dan tertindas. Surat kabarnya bersikap kritis terhadap para penguasa, dan sering berseberangan dengan pemerintah. Misalnya, soal paham liberal yang tidak sepenuhnya bermakna jelek. Bagi Rosihan, liberalisme adalah aliran kebebasan yang berperan saling mengontrol dan mengawasi satu sama lain (Anwar 1983: 170). Oleh sebab itu, pemberitaan di surat kabarnya tegas mengkritisi kebijakan dan tindakan pemerintah, sehingga ia pun menerima konsekuensinya. Pada 9 Januari 1961, surat kabar Pedoman diberangus oleh Presiden Sukarno, karena dianggap menjadi corong dari partai-partai, terutama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Rosihan Anwar memang dikenal seorang sosialis dan Sjahririan (Rusmiati dkk. 2018: 125).
Harian Pedoman diterbitkan kembali pada bulan November 1968, ketika pemerintahan sudah beralih ke Orde Baru. Pemerintah Orde Baru menganugerahi Bintang Mahaputra Utama atas pengabdian Rosihan sebagai wartawan senior. Meskipun demikian, beberapa bulan setelah penyerahan penghargaan itu, pada bulan Januari 1974, Soeharto mencabut izin harian Pedoman menyusul terjadinya peristiwa Malari pada 15–16 Januari 1974. Pada waktu itu, surat kabarnya mulai lepas landas dan oplahnya mencapai 60.000 eksemplar (Anwar, 1983: 159–264). Rosihan Anwar tetap berada dalam garis yang diyakininya, “sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan budaya” dan kesejatiannya sebagai wartawan terlihat di sana.
Rosihan Anwar aktif di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan menjabat Ketua Umum PWI (1970–1973), Ketua Pembina PWI Pusat (1973–1978), serta Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983–2011). Sejak tahun 1971, Rosihan menjadi guru bagi wartawan-wartawan muda anggota PWI di Karya Latihan Wartawan (KLW). Program pendidikan wartawan ini digagas dan dipimpin oleh Rosihan Anwar. Bagi Rosihan, seorang wartawan itu “harus mempunyai sesuatu untuk dikatakan dan mengatakannya secara efektif. Dia harus memiliki komitmen, stamina, flair, pengalaman, keahlian, pengertian, dan timbangan”. Sifat itulah yang harus diusahakan dan dimiliki seorang wartawan (Anwar, 1983: 271). Selanjutnya, Rosihan pernah menjadi anggota Tim ahli Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dan konsultan di UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), di Srilanka tahun 1980 (Chaniago 2010: 454).
Pasca pembredelan surat kabarnya, Rosihan merepresentasikan diri sebagai koresponden media asing pada Forum World Features (London, 1966-1968), mengisi kolom tamu di Straits Times (Singapura 1976-1981), New Straits Times (Kuala Lumpur, Malaysia 1976-1981), dan Asiaweek (Hongkong 1979) (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/). Profesi ini terhenti tahun 1980-an, ketika adanya kebijakan redaksional dari berbagai media yang lebih memfungsikan para wartawannya (Padiatra, 2019: 12). Di dalam negeri, tulisan Rosihan Anwar mengisi berbagai kolom media, seperti buletin Business News, Surat kabar Kompas, Sinar Harapan, Tempo, dan media-media yang terbit di berbagai kota Indonesia, selain Jakarta.
Rosihan Anwar adalah pelaku sejarah, sekaligus sejarawan yang mampu mengungkap realitas kesejarahan. Keterampilannya ini didukung oleh kekuatan daya ingat, pengamatan tajam, dan pengetahuannya tentang orang-orang dan peristiwa. Karya tulisnya didukung dengan bukti dokumen, pengalaman pribadi, dan interaksinya dengan banyak tokoh terkait berbagai kejadian di tengah masyarakat bangsa. Rosihan Anwar pun menjadi salah satu anggota Kehormatan dari organisasi Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) (Chaniago 2010: 455).
Ada banyak karya sejarah yang dilahirkan Rosihan Anwar, yang berharga bagi generasi bangsa, misalnya Petite Histoire Indonesia (7 Jilid), In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002); Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006); Sutan Sjahrir Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya (2011). Di samping itu, Rosihan tercatat pendiri perusahaan film Perfini. Film pertama yang digarap adalah “Darah dan Doa”, selanjutnya “Lagi-Lagi Krisis” (1956), “Big Billage” (1970), “Karmila” (1975), dan “Tjoet Nja’ Dien” (1987-1988), serta “Sandiwara Mahkamah” (1989). Rosihan Anwar menjadi anggota Dewan Film Nasional (DFN) sejak tahun 1977 dan Ketua Dewan Pembina Persatuan Perusahaan Film Indonesia (1986-1989), serta Ketua Dewan Kehormatan (1989-1992). Ia juga penghasil karya puisi, penulis cerita pendek, kisah-kisah perjalanan, dan otobiografi.
Rosihat Anwar sebagai wartawan tiga zaman telah berjasa dalam perjuangannya lewat pena. Penyandang Bintang Mahaputra Utama, dan penerima penghargaan dari dalam dan luar negeri ini meninggal dunia pada tanggal 14 April 2011 dalam usia 89 tahun.
Penulis: Nopriyasman
Instansi: Universitas Andalas
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Anwar, Rosihan. 1983. Menulis Dalam Air Sebuah Otobiografi. Jakarta: Sinar Harapan.
Chaniago, Hasril. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Rusmiati, Desi, dkk. 2018. “Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965”, dalam Susur Galur Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah. Volume 6 (2), September 2018.
Ensiklopedia Sastra Indonesia. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/
Padiatra, Aditia Muara. 2019. “Wartawan Tiga Zaman: Biografi Singkat Perjalanan dan Pemikiran Rosihan Anwar 1948-1983”, dalam Journal of Indonesia History Vol. 8 (1) (2019). Semarang: Unnes. Versi Online: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih.