Sam Ratulangi
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (G.S.S.J) atau Sam Ratulangi adalah seorang politikus, jurnalis, dan juga guru. Selain itu, dia matematikawan serta doktor ilmu pasti pertama di Indonesia. Dia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi usai proklamasi dikumandangkan. Dia juga termasuk dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berhasil merumuskan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Daniel Dhakidae (2000) menyebutnya "Bintang Kejora dari Timur".
Sam Ratulangi adalah Pahlawan Nasional asal Minahasa, Sulawesi Utara. Ia lahir pada 5 November 1890 di suatu kota kecil yang tenang di pinggir Danau Tondano, Minahasa Timur. Ratulangi berasal dari keluarga aristokrat Minahasa yang berpengaruh. Kedua orang tuanya memiliki jabatan yang baik di pemerintahan. Ayahnya, Jozias Ratulangi, dikirim pemerintah kolonial Belanda ke Amsterdam untuk mengikuti pendidikan guru di tahun 1880, dan kembali ke Indonesia dua tahun kemudian untuk menjadi kepala sekolah di Hoofdenschool (sekolah para pembesar pribumi di Indonesia Timur). Sementara ibunya, Agustina Gerungan, putri dari seorang majoor (kepada distrik) Tondana-Toulian bernama Gerungan (Klinken 2003: 86).
Ratulangi memulai pendidikannya di sekolah dasar Europese Lagere School (ELS) pada 1898 di Tondano. Lalu, setelahnya pada 1903, ia masuk ke sekolah lanjutan 3 tahun untuk anak-anak kaum pegawai negeri yang disiapkan untuk jadi pangreh praja Hoofdenschool, tempat di mana ayahnya menjadi kepalanya. Sekolah itu merupakan sekolah persiapan untuk bisa berkarier sebagai kepala distrik di mana hanya sedikit orang dapat memasukinya. Pada usia 14 tahun, mengikuti seorang sepupu tuanya, dia pergi ke Batavia. Karena ingin menjadi dokter, ia memasuki School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah untuk calon dokter pribumi di Batavia. Tetapi, ia berpaling dari niatnya itu setelah tahu "rencana pelajarannya yang tidak menarik" (Ratu Langie 1981: 15). Ia memilih mengabaikan kesempatan memasuki pendidikan dokter demi memasuki sekolah teknik Koninlijke Wilhelmina School. Pada 1904, Sam mulai melanjutkan studi di situ dengan mengambil jurusan mesin. Sam lulus dari sekolah teknik itu pada 1908. Setelah lulus ia mencoba bekerja sebagai ahli mesin di Jawatan Kereta Api di Jawa Barat selama dua tahun, tetapi menemukan kalau upah untuk orang Indonesia jauh lebih rendah dari pekerja Eropa untuk macam pekerjaan dan dengan ijazah yang sama (Klinken 2003: 88-89; Ratu Langie 1981: 15).
Ratulangi kembali ke Minahasa pada tahun 1911. Dia masih mendambakan dunia luas di luar Minahasa. Dalam hal tersebut, ia ingin memiliki pengalaman formatif yang benar-benar tidak di Jawa, tetapi di Belanda. Ayahnya tidak sempat dijumpainya lagi di Minahasa, karena telah meninggal tak lama setelah kepergiannya ke Batavia. Tetapi ibunya masih dia jumpai sebelum meninggal pada 19 November 1911. Sebuah warisan yang cukup besar ditinggalkan oleh orang tuanya, memungkinkan dia untuk mengambil kapal ke Belanda pada 1912. Di usianya yang baru 22 tahun, seorang yatim-piatu, Ratulangi menaiki tangga kapal yang berlayar membawanya ke Eropa (Klinken 2003: 89).
Di Eropa, ia mengambil jurusan Ilmu Alam (Matematika dan Fisika) di Vrije Universiteit van Amsterdam. Selama menjadi mahasiswa di situ, pada tahun 1913-1915, Ratulangi memasuki organisasi pergerakan dengan penuh energi. Mula-mula ia bergabung dengan Indische Vereeninging. Asosiasi ini telah ada 5 tahun sebelum kehadirannya. Ratulangi diundang untuk menjadi Presiden Organisasi dalam setahun setelah dia bergabung. Ia menyetujuinya dan mengembannya sampai tahun 1914. Ia segera memperoleh reputasi sebagai seorang orator dan jurnalis dengan pikiran yang tajam (Klinken 2003: 89). Organisasi lain yang dimasuki Ratulangi ialah Setia Tanah Hindia dan Vrije Gedachte, keduanya berumur singkat (Klinken 2003: 90). Selama masa studi di Amsterdam, ia juga banyak menulis dalam majalah seperti De Indier, De Nieuwe Amsterdammer, dan kemudian Rotterdamsch Handelsblad. Honorarium yang diperoleh dari surat kabar-surat kabar tersebut sangat artinya bagi pembiayaan studi Ratulangi selamasa di Amsterdam (Klinken 2003: 89).
Namun, pada 1915, Sam Ratulangi yang siap menempuh ujian, ditolak pihak universitas karena tak memiliki ijazah SMA umum, ijazah sekolah teknik yang dibawanya dari tanah air dianggap tak memenuhi syarat (Ratu Langie 1981: 16). Kemudian ia pindah belajar ke Universitas Zurich dan meninggalkan jabatan Ketua Perhimpunan Indonesia. Di ibukota Swiss itu, pada 1918, Ratulangi mendirikan dan sekaligus pemimpin sebuah organisasi solidaritas lintas ras dan bangsa Asia bernama Pan-Asia Société Asiatique des Étudiants (Masyarakat Mahasiswa Asia). Di dalam organisasi ini terdapat mahasiswa-mahasiswa dari Korea, Jepang, Cina, Siam, Filipina Muangthai, India, Indonesia dan lain-lain negara di Asia. Sam lulus dengan disertasinya yang berjudul Kurven-Systeme in Vollstandigen Figuren dan mendapat gelar Doktor der Natur-Philosophie untuk Ilmu pasti dan Ilmu Alam di Universitas Zürich pada tahun 1919.
Setelah itu, Ratulangi kembali ke Indonesia. Sekembalinya ke tanah air, mula-mula dia mengajar kira-kira tiga tahun (1919-1922) di Princes Juliana School di Yogyakarta. Dengan ijazah yang tinggi itu kehadirannya di Yogyakarta dibenci oleh kalangan Belanda yang sama sekali tidak suka melihat anak-anak Belanda diajar oleh seorang pribumi, meski dengan orang sekaliber Ratulangi. Mungkin itulah yang menjelaskan mengapa masa mengajar itu begitu singkat. Setelah itu ia memutuskan hijrah ke Bandung dan bersama dengan R. Tumbelaka ia mendirikan suatu usaha dagang yang bernama Algemeene Levensverziekering Maatschappij Indonesia (Perusahaan Asuransi Umum Indonesia) pada 1922. Ia dengan berani memakai nama Indonesia untuk pertama kali pada suatu badan bisnis (Ratu Langie, 1981: 16). Usaha asuransinya itu bertahan sampai tahun 1924.
Selain menjalankan perusahaannya, Ratulangi tetap berpolitik dengan melakukan konsolidasi dengan Suryadi Suryaningrat, Douwes Dekker dan Crane, sehingga memutuskan untuk mengadakan pertemuan akbar tahun 1922. Pertemuan itu menghasilkan tuntutan “pemerintahan sendiri’ bagi rakyat Indonesia.
Namun, bekerja di bidang bisnis tidak terlalu menarik perhatiannya. Setelah lima tahun bermukim di Bandung, Ratulangi kembali ke Minahasa pada akhir tahun 1923. Mula-mula ia didapuk menjadi Sekretaris Minahasa Raad, suatu dewan perwakilan di tingkat kabupaten/kota, yang bermarkas di Madano (Klinken, 2003: 100). Sam Ratulangi menjabat sebagai Sekretaris Dewan Minahasa dari tahun 1924 sampai 1927. Jabatan tersebut ia gunakan untuk membuat usaha-usaha yang dapat menyejahterakan rakyat. Contohnya adalah membuka lahan baru untuk bertani, mendirikan yayasan dana belajar, dan yang lainnya. Perjuangan lain yang tidak bisa dipisahkan dari upaya Ratulangi adalah mendesak pemerintahan kolonial Belanda menghapuskan sistem kerja paksa di Minahasa.
Setelah berjuang untuk rakyat Minahasa di Dewan Kota selama tiga tahun, rakyat Minahasa memilihnya sebagai perwakilan di Dewan Rakyat (Volksraad) pada 1927. Sebagai anggota Volksraad, ia mengajukan tuntutan terhadap pemerintah Belanda agar segera menghapuskan perbedaan politik, ekonomi, serta pendidikan antara orang Indonesia dan orang Belanda.
Pada tahun yang sama, tepatnya pada 16 Agustus 1927, Ratulangi bersama dengan dr. Tumbelaka mendirikan sebuah partai yang diberi nama Partai Persatuan Minahasa. Partai ini awalnya merupakan partai lokal yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan daerah tersebut. Namun lama-kelamaan, partai ini berkembang menjadi partai yang besar dan bertujuan menjadikan Indonesia merdeka. Steenbrink menyebut organisasi ini sebagai "organisasi daerah non-agama", tempat di mana orang-orang seperti Ratulangi "menjauhkan diri dari gereja-gereja yang dipimpin Eropa dan bersama-sama dengan penganut agama lain mengabdikan diri untuk tujuan sekuler, seperti gerakan nasionalis" (Steenbrink, 2008: 169). Gerakannya tidak terbatas pada ras atau agama tertentu. Ratulangi misalnya menulis pamflet yang isinya membela Syarikat Islam melawan pemerintah kolonial, yang menurutnya tidak mengerti tanda-tanda zaman (Steenbrink, 2008: 783).
Di Dewan Rakyat, untuk pertama kali ia berbicara pada 1928 tentang Perang Pasifik, sedangkan tahun 1936 ia menyokong Petisi M. Soetardjo yang menuntut supaya kepada Indonesia diberi status dominion di lingkungan Kerajaan Belanda (Ratu Langie, 1981: 17). Ia juga mengecam pemerintah kolonial Belanda yang pada saat itu melakukan pendiskriminasian terhadap bangsa Indonesia. Karena itu ia disebut sebagai tokoh radikal dan ekstrimis oleh bangsa Belanda. Posisinya yang vokal dalam fraksi nasional di Dewan Rakjat itu sama sekali tidak disukai pemerintah Belanda. Untuk menyingkirkannya, maka suatu saat terdapat kekeliruan dalam reis declaratie (biaya angkutan dan perjalanan) yang tidak sesuai dengan data yang ada. Ia akhirnya ia dijebak dalam suatu skandal keuangan perjalanan dinas semacam itu, "suatu jerat tipu-muslihat Belanda,” demikian tulis Dhakidae (2000: 647).
Dia diadili dan divonis empat bulan penjara dan diskors dari Volksraad selama tiga tahun. Hukum penjara dijalankan di Penjara Sukamiskin, Bandung, tahun 1936. Selama menjalani hukuman penjara di Sukamiskin, waktunya digunakan untuk merenung dan menulis buku Indonesia in den Pacific: Kernproblemen van den Aziatischen Pacific. Buku dengan kata pengantar dari Mr. Soetardjo tersebut diterbitkan pada bulan Juni 1937. Pada tahun 1982, buku itu dialihbahasakan oleh S. I. Poeradisastra dan diterbitkan kembali dengan judul Indonesia di Pasifik: Analisa Masalah-masalah Pokok Asia Pasifik. Menurut Dakhidae (2000:647), buku ini semata-mata dimaksudkan sebagai suatu studi untuk membuat perhitungan tentang posisi Indonesia di Pasifik. Menurut Kawilarang (1999:15), Sam Ratulangi menuliskan analisis secara faktual dan kontekstual, dilengkapi referensi narasumber untuk memahami latar belakang permasalahan. Pembaca digiring menatap ke arah masa depan (futurologi). Meskipun penyajiannya cukup singkat, bila diuraikan secara lebih mendalam, tulisan tersebut akan menjadi buku tebal hingga terungkap posisi Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan keamanan dunia.
Pada masa Jepang, Ratulangi sempat menjadi Penasehat Angkatan Laut di Makassar untuk wilayah timur Indonesia, sambil terus berjuang secara diam-diam untuk kepentingan Indonesia. Ketika posisi Jepang semakin terdesak, maka penjajah ini membentuk BPUPKI, yang digantikan oleh PPKI pada 7 Agustus 1945 diketuai Sukarno. Sesuai dengan namanya, maka panitia ini mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan “kemerdekaan” yang diharapkan segera terwujud. Tugas PPKI adalah menyusun Undang-Undang Dasar dan mengesahkannya, menetapkan Sukarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, dan presiden perlu dibantu oleh sebuah komite nasional, maka PPKI akan membentuk komite tersebut. PPKI memanggil pejuang-pejuang dari berbagai daerah untuk mewakili wilayahnya masing-masing. Ratulang, Andi Pangeran Daeng Parani dan Andi Sultan Daeng Raja dipanggil ke Batavia untuk bergabung di dalam PPKI mewakili Sulawesi.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan sampai ke Celebes "ada banyak orang Kristen yang menjadi pendukung negara kesatuan dan di antaranya perlu kita sebut Dr. G.S.S.J. (Sam) Ratulangie," demikian kata Steenbrink (2008: 211). Ia diangkat oleh Sukarno dan Hatta sebagai Gubernur Sulawesi yang pertama segera setelah proklamasi kemerdekaan. Tapi pada 5 April 1946, Belanda menangkapnya bersama enam koleganya. Mereka disebut Belanda sebagai Tujuh Oknum Berbahaya. Tujuh orang itu dijebloskan ke penjara Makassar lalu dibuang ke Serui, Papua. Di sana mereka disambut hangat warga lokal. Ratulangi dan kawan-kawan pun disapa 'Tuan-tuan Merdeka' karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia menghabiskan masa pengasingannya dari tahun 1946 sampai 1948 (Steenbrink, 2008: 377). Dalam masa pengasingan ia masih sempat mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Irian sebagai suatu wadah perjuangan rakyat di sana melawan kehadiran Belanda (Ratu Langie, 1981: 20).
Usai Perjanjian Renville pada 1948, Ratulangi dikembalikan ke Indonesia. Ia lalu bertolak ke Yogyakarta, yang merupakan ibukota Indonesia saat itu. Di sini, Ratulangi sebagai tokoh nasionalis terkemuka mengambil langkah untuk mengintegrasikan Negara Indonesia Timur (Negara Indonesia Timur, salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat) ke dalam negara kesatuan yang akan segera pulih, dan langkah ini didukung oleh banyak orang (Steenbrink, 2008: 377). Bersama 549 pemuka Sulawesi ia menggagas dan menandatangani Petisi Ratulangi yang menyatakan Sulawesi ialah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Petisi itu dikirim ke Perserikatan Bangsa-bangsa untuk diketahui dunia internasional (Dakhidae, 2000:648).
Namun, tak berselang lama, ia kembali ditahan usai Agresi Militer II pada 18 Desember 1948. Sebulan setelahnya, ia dikirim ke Jakarta untuk diasingkan kali ini ke Bangka. Selama di pengasingan kondisi kesehatannya terus menurun, hingga ia meninggal pada 30 Juni 1949 pada usia 59 tahun. Sam Ratulangi dimakamkan di kampung halamannya di Tondano. Negara menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 1958.
Penulis: Farida Warga Dalem dan Dedi Arsa
Referensi
Dhakidae, Daniel (2000), “Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi: Pijar-pijar Bintang Kejora dari Timur,” dalam J. Kristanto (editor), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Klinken, Gerry van (2003), Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, A biographical Approach, Leiden: KITLV.
Ratu Langie, G.S.S.J. (1982), Indonesia di Pasifiik: Analisia Masalah-masalah Pokok Asia-Pasifik, Jakarta: Sinar Harapan.
Steenbrink, Karel & Jan Sihar Aritonang (2008), A History of Christianity in Indonesia, Leiden, Brill.