Soegondo Djojopoespito
Soegondo Djojopoespito aodalah serang tokoh yang berperan besar dalam pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Soegondo lahir pada 22 Februari 1905 di Tuban, sebagai putra dari seorang penghulu dan mantri juru tulis di Tuban di Jawa Timur, Kromosardjono. Ketika ayahnya pindah ke Brebes di Jawa Tengah, Soegondo hidup bersama pamannya, Hadisewojo, yang sekaligus menjadi ayah angkatnya (Sutjiatiningsih, 1999: 3).
Selama tinggal bersama pamannya, Soegondo menempuh pendidikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Tuban selama tujuh tahun. Setelah lulus dari HIS pada tahun 1918, kemudian setahun kemudian Soegondo melanjutkan pendidikan tingkat lanjutan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya dan menjalani masa pendidikannya selama tiga tahun. Selama mengenyam pendidikan di MULO Surabaya, Soegondo oleh pamannya dititipkan di rumah H.O.S Cokroaminoto bersama Sukarno. Selepasnya dari MULO, Soegondo melanjutkan pendidikannya kembali di Algemeen Middelbare School (AMS) Yogyakarta, di mana dia menyewa rumah milik Ki Hajar Dewantara. Setelah menyelesaikan pendidikan AMS di Yogyakarta pada tahun 1925, Soegondo melanjutkan pendidikan tinggi di Jakarta di Rechtshoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum. Selama menjadi pelajar di Sekolah Tinggi Hukum, Soegondo sering membaca tulisan-tulisan tentang nasionalisme, terutama tulisan-tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Indonesia Merdeka” (Soenyata 1983; Sutjiatiningsih 1999: 3-4).
Dari tulisan tersebut, Soegondo dan teman-temannya kemudian sering mengadakan diskusi terkait politik. Pertemuan-pertemuan tersebut kemudian menjadikan Soegondo dan teman-temannya mengikuti jejak teman-temannya yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia dan kemudian mendirikan sebuah organisasi mahasiswa dengan tujuan menggalang persatuan Indonesia. Organisasi itu kemudian diberi nama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dengan Sigit sebagai ketuanya sementara dan Soegondo menjadi anggota inti. Organisasi tersebut secara berkala, setiap seminggu sekali selalu mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut diagendakan bahwa setiap anggota mencari anggota baru, anggota baru direkrut dengan memberi propaganda akan perlunya persatuan Indonesia.
Setelah Sigit ditunjuk sebagai ketua Indonesische Gebouw, pimpinan PPPI kemudian diserahkan kepada Soegondo. Selama menjadi ketua PPPI, Soegondo terus menjalankan visi dan misi untuk mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang telah dicetuskan pada Kongres Pemuda I. Soegondo mengintensifkan pertemuan dan mendesak semua perkumpulan pemuda agar meleburkan diri dalam suatu perkumpulan pemuda yang didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan. Upaya ini terutama sekali dilakukannya sejak tahun 1926. Sejak tahun 1927, Soegondo tidak lagi menghubungi secara personal, akan tetapi menghubungi perwakilan-perwakilan organisasi pemuda untuk mengadakan lanjutan Kongres Pemuda I (Sutjiatiningsih, 1999: 24-25).
Usaha Soegondo mendapatkan hasil, tiap-tiap perwakilan organisasi pemuda menyetujui dilaksanakannya kongres lanjutan. Untuk itu dibentuk kepanitiaan pelaksanaan kongres dengan Soegondo sebagai ketua. Panitia ini bertugas menyelenggarakan rapat, mencari biaya, mencari tempat dan waktu pelaksanaan kongres. Di samping itu, panitia juga bertugas mempersiapkan rumusan resolusi yang isinya menganjurkan adanya persatuan Indonesia. Setelah persiapan cukup, kemudian secara resmi Kongres Pemuda II resmi dibuka pada 27 Oktober 1928. Rangkaian acara berjalan dengan sukses, kemudian acara ditutup pada sidang III oleh Soegondo dengan hasil resolusi dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Pasca pelaksanaan Kongres Pemuda II, Soegondo tetap menyuarakan persatuan dan kesatuan Indonesia di kalangan pemuda. Selain aktif dalam organisasi pemuda, selama mengenyam pendidikan di Rechshoogeschool, Soegondo juga turut aktif dalam partai politik. Hal ini dapat dibuktikan dengan menjadi simpatisan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketika PNI terpecah menjadi dua yakni Partindo dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PPNI), Soegondo bergabung dengan PPNI (Sutjiatiningsih, 1999: 35-36).
Selepasnya dari sekolah tinggi hukum, Soegondo kemudian bekerja sebagai guru pada tahun 1932 di Bandung. Soegondo mengajar di Sekolah Taman Siswa. Setelah itu Soegondo diangkat menjadi kepala sekolah dan selama bekerja di Bandung inilah kemudian Soegondo menikah dengan Suwarsih. Kemudian bersama sang istri, Soegondo mendirikan sekolah sendiri di Bogor yang diberi nama Loka Siswa. Akan tetapi, sekolah yang didirikan Soegondo bersama istrinya tidak banyak mendapat murid sehingga kemudian akhirnya mereka memutuskan untuk menutup sekolah tersebut. Dengan penutupan sekolah miliknya, Soegondo kemudian pindah ke Semarang pada tahun 1936 dan menjadi guru kembali di Taman Siswa Semarang. Selanjutnya pada tahun 1938, Soegondo menjadi pengajar di sekolah yang digagas oleh Douwes Dekker, yakni sekolah Handels Coloogium Ksatrian Instituut (Sutjiatiningsih, 1999: 4-5).
Selama dua tahun mengajar di sekolah tersebut, pada tahun 1940 Soegondo pindah ke Jakarta mengikuti sang istri. Di Jakarta Soegondo mengajar di Perguruan Taman Siswa. Selain menjadi guru, Soegondo juga menjadi wartawan freelance pada Bataviaasch Niuewsblaad dan Indische Courant. Pengalaman sebagai wartawan tersebut mengantarkan dirinya menjadi Direktur Kantor Berita Antara. Hal ini berlangsung hingga kedatangan Jepang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Soegondo menjadi pegawai Shihabu (Departemen Kehakiman) bagian urusan penjara. Awalnya, Soegondo menolak kerja bakti yang ditetapkan militer Jepang, kemudian ia menerimanya dengan alasan sebagai bentuk mematuhi perintah atasannya. Soegondo tetap bekerja selama masa pendudukan Jepang. Pada masa kemerdekaan, Soegondo diangkat menjadi anggota Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), serta menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat pada Kabinet Halim 1949-1950.
Pada tanggal 02 April 1978, Soegondo meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di komplek makam keluarga Taman Siswa di Desa Celaban Yogyakarta. Atas pengabdian dan perjuangannya, Soegondo ditetapkan menjadi anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia berdasarkan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia (Sutjiatiningsih, 1999: 6-7).
Penulis: Edi Sumarno
Referensi
Joyopuspito, Sunaryo (2011), Soegondo Djodjopoespito, Tokoh Pemuda 1928, Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.
Kartadarmadja, M. Soenyata (1983), Sugondo Djodjopuspito, Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Dokumentasi Sejarah Nasional.
Sutjiatiningsih, Sri (1999), Soegondo Djojopoespito: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.