Toedjoean Rakjat

From Ensiklopedia


Toedjoean Rakjat (Tujuan Rakyat) adalah sebuah majalah bulanan politik populer yang terbit antara tahun 1938 hingga 1940. Toedjoean Rakjat didirikan sebagai corong organisasi Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pimpinan Amir Sjarifuddin. Gerindo adalah organisasi yang berdiri setelah Gubernur Jenderal De Jonge membubarkan Partai Indonesia (Partindo) yang berhaluan non-kooperatif pada November 1936 (Soebagijo 1980: 26). Pendirian Gerindo mendapatkan dukungan dari mantan anggota Partindo seperti Moh. Yamin, A.K Gani, Mr. Sartono, Sanusi Pane dan Wikana (Sudiyo 1997: 82).

Salah satu arsitek dari pendirian majalah bulanan ini adalah seorang redaktur dan jurnalis Batak bernama Albert Manoempak (A.M) Sipahoetar (1914-1948). Sipahoetar adalah seorang jurnalis yang telah berkecimpung dalam dunia pers dan politik sejak muda. Ia bersama koleganya Adam Malik mendirikan Partindo cabang Pematang Siantar. Ia juga mendirikan surat kabar Sinar Marhaen dan Zaman Kita. Pada usia 23 tahun Sipahoetar mendirikan kantor berita Antara. Sipahoetar bergabung ke dalam organisasi Gerindo dan menjabat sebagai anggota Badan Penerangan Pengurus Besar Gerindo. Sipahoetar kemudian diserahi tanggung jawab sebagai ketua redaksi dari Toedjoean Rakjat pada bulan Oktober 1938. Selain Sipahoetar, yang duduk di dalam dewan redaksi Toedjoean Rakjat adalah Wikana dan Asmara Hadi, sedangkan Amir Sjarifuddin menjabat sebagai wakil ketua redaksi (Soebagijo 1981: 385).

Majalah Toedjoean Rakjat bertujuan mendidik pembacanya mengenai isu-isu politik. Amir Sjarifuddin sendiri menyediakan rubrik khusus dalam Toedjoean Rakjat untuk menjawab pertanyaan pembaca mengenai masalah-masalah politik. Buah pikiran Amir yang dituliskannya dalam Toedjoean Rakjat di antaranya mengenai ancaman fasisme serta gagasannya mengenai politik luar negeri yang anti-fasis, yang menolak supremasi etnis atau agama tertentu untuk kepentingan visi politik jangka panjang. Posisi Amir Syarifuddin ini ditentang oleh sebagian besar tokoh gerakan nasionalis (Van Klinken 2003: 192).

Di antara tulisan tersebut adalah “Pemandangan Politik Internasional”. Dalam tulisannya ini Amir Sjarifuddin menguraikan tentang drama politik yang terjadi di Spanyol dan Cekoslovakia, sedangkan dalam tulisan lain yang berjudul “Pembagian Tanah Jajahan”, Amir Sjarifuddin menguraikan tentang bagaimana negara-negara Eropa membagi daerah-daerah jajahannya (Wellem 2009: 79). Ide Amir tentang anti-fasis telah dituangkan ke dalam tulisan sejak lama. Sebelum mendirikan Toedjoean Rakjat, pada pertengahan tahun 1936 Amir Sjarifuddin bersama kawan-kawannya telah merintis surat kabar harian Kebangunan, di mana dia menulis beberapa topik seperti pelanggaran hak atas kebebasan berserikat dan berpolitik. Amir juga menyoroti mengenai kebijakan dan situasi politik luar negeri dengan konsentrasi pada perkembangan fasisme di Eropa dan wilayah Pasifik (Van Klinken 2003: 190-191).

Pada tahun 1937, Gerindo mengkritik petisi Soetardjo dan mereka yang mendukung petisi ini. Melalui pengumuman tanggal 5 Oktober 1937, Pengurus Besar (P.B) Gerindo menyatakan sikap hanya menyokong sebagian dari isi petisi yang berisi konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda namun tidak menyetujui sisanya. Kemudian pada tahun 1939, Gerindo melalui Toedjoean Rakjat menuduh organisasi Perhimpunan Indonesia telah menyalahi anggaran dasarnya sendiri karena menyokong petisi tersebut. Perhimpunan Indonesia kemudian mengirimkan surat klarifikasi kepada redaksi Toedjoean Rakjat yang diterbitkan pada bulan Juni 1939. Surat itu berisi sanggahan bahwa organisasi telah menyalahi anggaran dasarnya, alasannya bahwa adanya konferensi wakil-wakil negeri Belanda dan Indonesia bertujuan untuk melawan fasisme secara lebih efektif (Poespoengoro 2018: 390).

Terkenal sebagai anti-fasis, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jawa Timur Charles van der Plas memberikan dana kepada Amir Syarifuddin sebesar 25.000 gulden supaya mendirikan gerakan bawah tanah untuk melawan Jepang. Gerakan itu bernama Liga Anti Fasis yang berdiri tidak lama sebelum Jepang mendarat di Pulau Jawa. Gerakan bawah tanah ini berhasil berdiri di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan terdiri dari bekas anggota sayap kiri Gerindo dan bekas anggota PKI. Gerakan anti-fasis pimpinan Amir ini merupakan gerakan bawah tanah terbesar diantara gerakan lainnya (Kahin 1995: 141).

Sikap Amir Syarifuddin dan Gerindo yang anti-fasis rupanya tidaklah berpengaruh terhadap A.M Sipahoetar selaku redaktur Toedjoean Rakjat sekaligus anggota Badan Penerangan Gerindo. Padahal saat Jepang mendarat di Malaka, Pengurus Besar Gerindo mengeluarkan pernyataan menentang fasisme serta menegaskan siap berjuang untuk demokrasi.

A.M Sipahoetar tetap ditangkap oleh Belanda pada tahun 1941 bersama rekan-rekannya di kantor berita Antara seperti Adam Malik, Pandoe, dan Abdul Hakim. Para tahanan politik itu ditangkap dan ditahan di Sukabumi, Garut dan kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Rencananya mereka akan diangkut ke Australia, namun kapal yang akan mengangkut mereka terkena bom Jepang sehingga rencana itu batal. Belakangan setelah perang usai pihak Belanda menyangkal akan membawa mereka ke Australia (Soebagijo 1981: 387-388).

Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

I.N, Soebagijo (1980) Sumanang: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung.

I.N, Soebagijo (1981) Jagad Wartawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Kahin, George M.C. (1995) Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: UNS Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened dkk (2018) Sejarah Nasional Indonesia Jilid 5: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.

Van Klinken, Gerry (2010) 5 Penggerak Bangsa Yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen. Jakarta: LKiS.

Wellem, Frederick D. (2009) Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Bekasi: Jala Permata Aksara.