Wahidin Sudirohusodo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Dr. Wahidin Sudirohusodo atau Mas Ngabei Wahidin Sudiro adalah tokoh protagonis bagi modernisasi dan perjuangan nasional Indonesia (Sudarmanto, 2007: 216). Dokter Jawa, yang termasuk golongan priayi rendahan ini, lahir di desa Mlati pada 7 Januari 1852 (sumber lain menyebut tahun 1857). Desa Mlati merupakan sebuah desa yang terletak di kaki gunung Merapi Yogyakarta (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Dr. Wahidin beristrikan seorang wanita bern...")
 
No edit summary
Line 1: Line 1:
Dr. Wahidin Sudirohusodo atau Mas Ngabei Wahidin Sudiro adalah tokoh protagonis bagi modernisasi dan perjuangan nasional Indonesia (Sudarmanto, 2007: 216). Dokter Jawa, yang termasuk golongan priayi rendahan ini, lahir di desa Mlati pada 7 Januari 1852 (sumber lain menyebut tahun 1857). Desa Mlati merupakan sebuah desa yang terletak di kaki gunung Merapi Yogyakarta (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Dr. Wahidin beristrikan seorang wanita bernama Anna. Mereka memiliki dua orang putera, salah seorang anaknya adalah Abdullah Subroto, seorang pelukis ternama yang menurunkan dua orang pelukis terkenal, yaitu Sudjono Abdullah dan Basuki Abdullah. Dr. Wahidin meninggal di Yogyakarta pada 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa kelahirannya (Sudarmanto, 2007: 216; Said, 1995: 34). Dr. Wahidin adalah saudara sepupu Radjiman Wedyodiningrat yang terkenal sebagai Ketua BPUPKI pada tahun 1945. Sejak kecil, Wahidin termasuk murid pandai yang disenangi teman dan gurunya. Jiwa sosial dan pendidik menjadi citra yang tampak dalam dirinya sejak muda (Adam, 2010: 181).  
Dr. Wahidin Sudirohusodo atau Mas Ngabei Wahidin Sudiro adalah tokoh protagonis bagi modernisasi dan perjuangan nasional Indonesia (Sudarmanto, 2007: 216). Dokter Jawa, yang termasuk golongan priayi rendahan ini, lahir di desa Mlati pada 7 Januari 1852 (sumber lain menyebut tahun 1857). Desa Mlati merupakan sebuah desa yang terletak di kaki gunung Merapi Yogyakarta (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Dr. Wahidin beristrikan seorang wanita bernama Anna. Mereka memiliki dua orang putera, salah seorang anaknya adalah Abdullah Subroto, seorang pelukis ternama yang menurunkan dua orang pelukis terkenal, yaitu Sudjono Abdullah dan Basuki Abdullah. Dr. Wahidin meninggal di Yogyakarta pada 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa kelahirannya (Sudarmanto, 2007: 216; Said, 1995: 34). Dr. Wahidin adalah saudara sepupu [[Radjiman Wedyodiningrat]] yang terkenal sebagai Ketua [[BPUPK/Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Chōsa-kai)|BPUPKI]] pada tahun 1945. Sejak kecil, Wahidin termasuk murid pandai yang disenangi teman dan gurunya. Jiwa sosial dan pendidik menjadi citra yang tampak dalam dirinya sejak muda (Adam, 2010: 181).  


Berkat rekomendasi dari iparnya, seorang Belanda yang menjabat administratur pabrik gula Wonolopo, ia mendapat akses pendidikan sehingga dapat bersekolah di ''Europeesche Lagere School'' (SD Belanda) dan T''weede Europeesche Lagere School'' (sekolah tingkat II) di Yogyakarta (Priatna dan Hakim, 2013: 62). Lulus dengan nilai memuaskan, para guru juga pamannya menyarankan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Pada 1869, ia berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di ''School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen''/Sekolah Kedokteran Bumiputera (STOVIA) dan lulus dalam empat tahun (Umasih, 2006: 468). Lalu ia diangkat menjadi asisten pengajar di STOVIA. Ia kemudian kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai dokter.  
Berkat rekomendasi dari iparnya, seorang Belanda yang menjabat administratur pabrik gula Wonolopo, ia mendapat akses pendidikan sehingga dapat bersekolah di ''[[Europeesche Lagere School (ELS)|Europeesche Lagere School]]'' (SD Belanda) dan T''weede Europeesche Lagere School'' (sekolah tingkat II) di Yogyakarta (Priatna dan Hakim, 2013: 62). Lulus dengan nilai memuaskan, para guru juga pamannya menyarankan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Pada 1869, ia berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|''School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen''/Sekolah Kedokteran Bumiputera (STOVIA)]] dan lulus dalam empat tahun (Umasih, 2006: 468). Lalu ia diangkat menjadi asisten pengajar di STOVIA. Ia kemudian kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai dokter.  


Sebagai dokter, Wahidin menaruh empati yang mendalam terhadap penderitaan, ketertindasan, dan keterbelakangan rakyat sebagai akibat nyata dari kolonialisme (Junaedi, 2014: 268). Rasa empati itu termanifestasi dalam berbagai hal, termasuk membebaskan biaya bagi pasien yang tidak mampu. Baginya, tugas sebagai tabib atau dokter merupakan tugas yang suci. Oleh sebab itu, semua pelaksanaan tugas dan kewajiban harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan (Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia, 1990: 128).
Sebagai dokter, Wahidin menaruh empati yang mendalam terhadap penderitaan, ketertindasan, dan keterbelakangan rakyat sebagai akibat nyata dari kolonialisme (Junaedi, 2014: 268). Rasa empati itu termanifestasi dalam berbagai hal, termasuk membebaskan biaya bagi pasien yang tidak mampu. Baginya, tugas sebagai tabib atau dokter merupakan tugas yang suci. Oleh sebab itu, semua pelaksanaan tugas dan kewajiban harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan (Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia, 1990: 128).
Line 13: Line 13:
Ikhtiar dr. Wahidin telah mendapat simpati di kalangan pegawai bumiputra di beberapa kota, di antaranya Banten, Betawi, Bandung, Cirebon, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogya, dan Solo. Namun demikian di Jawa Timur, usaha tersebut kurang mendapat dukungan karena fitnah yang sengaja dilancarkan sebuah surat kabar di Surabaya bahwa ia terlibat kerusuhan di Gendangan dan Yogyakarta. Karena fitnah itu, ia tidak dapat memasuki beberapa karesidenan di Jawa Timur (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41 - 42). Ada juga tanggapan bernada sinis dari sekelompok aristokrat lama Jawa yang masih tertutup pandangannya dan cenderung nyaman dengan ''status quo'', keadaan di mana kepentingan mereka terjamin. Oleh karena itu, setiap gerak perubahan yang terjadi dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan tersebut (Kartodirdjo, 2020: 118). Mereka beranggapan bahwa belum tiba waktunya bagi para orang bumiputra untuk memperoleh pendidikan yang baik, karena mereka masih ditakdirkan untuk tetap bodoh (Gonggong, 1985: 15).  
Ikhtiar dr. Wahidin telah mendapat simpati di kalangan pegawai bumiputra di beberapa kota, di antaranya Banten, Betawi, Bandung, Cirebon, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogya, dan Solo. Namun demikian di Jawa Timur, usaha tersebut kurang mendapat dukungan karena fitnah yang sengaja dilancarkan sebuah surat kabar di Surabaya bahwa ia terlibat kerusuhan di Gendangan dan Yogyakarta. Karena fitnah itu, ia tidak dapat memasuki beberapa karesidenan di Jawa Timur (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41 - 42). Ada juga tanggapan bernada sinis dari sekelompok aristokrat lama Jawa yang masih tertutup pandangannya dan cenderung nyaman dengan ''status quo'', keadaan di mana kepentingan mereka terjamin. Oleh karena itu, setiap gerak perubahan yang terjadi dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan tersebut (Kartodirdjo, 2020: 118). Mereka beranggapan bahwa belum tiba waktunya bagi para orang bumiputra untuk memperoleh pendidikan yang baik, karena mereka masih ditakdirkan untuk tetap bodoh (Gonggong, 1985: 15).  


Sebagai seorang idealis, ia tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk memobilisasi kekuatan sosial guna merealisasikan gagasannya (Sudarmanto, 2007:  216). Dr. Wahidin yang lemah lembut, halus perangainya, akan tetapi keras hati dan pendiriannya dalam meningkatkan martabat bangsa, kembali ke Batavia pada akhir tahun 1907. Keputusannya ini sama sekali bukan tanda keputusasaan (Sudarmant,o 2007:  216). Dr. Wahidin, yang masyhur (karena anak priayi desa yang berhasil jadi dokter di akhir abad ke-19 itu dan tulisan-tulisannya yang bernas), sengaja datang menemui para mahasiswa STOVIA. Ia mengimbau agar para calon dokter bumiputra itu bekerja mengumpulkan dana untuk membantu anak-anak bumiputra, agar mereka yang cerdas dapat masuk ke lembaga pendidikan Belanda (Mohamad, 2012).  Ternyata pemikiran beliau banyak disukai kaum intelektual, di antaranya Tirto Adhi Suryo, pelopor lahirnya pers nasional sekaligus pendiri surat kabar ''Soenda Berita'' (1903) dan ''Medan Prijaji'' (1907). Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat lalu mendirikan ''Indische Partij'' (1912). Sementara Sutomo mendirikan Budi Utomo (1908) (Priatna dan Hakim 2013: 62). Pertemuan itu memberi impresi yang dalam pada Sutomo. “Suaranya yang merdu dan sareh itu membuka pikiran dan hati saya, mendatangkan cita-cita baru…gemetar di seluruh tubuhnya. Pemandangannya menjadi luas, perasaan menjadi halus…orang merasa akan kewajibannya yang maha luhur di dunia ini.” (Adam, 2010:  180-181).  
Sebagai seorang idealis, ia tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk memobilisasi kekuatan sosial guna merealisasikan gagasannya (Sudarmanto, 2007:  216). Dr. Wahidin yang lemah lembut, halus perangainya, akan tetapi keras hati dan pendiriannya dalam meningkatkan martabat bangsa, kembali ke Batavia pada akhir tahun 1907. Keputusannya ini sama sekali bukan tanda keputusasaan (Sudarmant,o 2007:  216). Dr. Wahidin, yang masyhur (karena anak priayi desa yang berhasil jadi dokter di akhir abad ke-19 itu dan tulisan-tulisannya yang bernas), sengaja datang menemui para mahasiswa [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|STOVIA]]. Ia mengimbau agar para calon dokter bumiputra itu bekerja mengumpulkan dana untuk membantu anak-anak bumiputra, agar mereka yang cerdas dapat masuk ke lembaga pendidikan Belanda (Mohamad, 2012).  Ternyata pemikiran beliau banyak disukai kaum intelektual, di antaranya [[Tirtoadisuryo|Tirto Adhi Suryo]], pelopor lahirnya pers nasional sekaligus pendiri surat kabar ''Soenda Berita'' (1903) dan ''Medan Prijaji'' (1907). [[Tjipto Mangoenkoesoemo|Cipto Mangunkusumo]] dan [[Soewardi Soeryaningrat|Suwardi Suryaningrat]] lalu mendirikan ''Indische Partij'' (1912). Sementara [[Sutomo]] mendirikan [[Boedi Oetomo|Budi Utomo]] (1908) (Priatna dan Hakim 2013: 62). Pertemuan itu memberi impresi yang dalam pada Sutomo. “Suaranya yang merdu dan sareh itu membuka pikiran dan hati saya, mendatangkan cita-cita baru…gemetar di seluruh tubuhnya. Pemandangannya menjadi luas, perasaan menjadi halus…orang merasa akan kewajibannya yang maha luhur di dunia ini.” (Adam, 2010:  180-181).  


Sutomo yang waktu itu baru 19 tahun tergerak. Tetapi tampaknya ia lebih tergerak oleh kepribadian dan inspirasi moral Wahidin ketimbang oleh soal-soal pengumpulan dana, terbukti beberapa bulan setelah akhir 1907 itu. Pada 20 Mei 1908, ia bersama sejumlah mahasiswa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan BU (Mohamad, 2012). Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yang memiliki pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota (Suhartono 2001: 30). Organisasi ini memperluas jangkauan tujuannya ke sektor-sektor sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Widharsana, ''Kompas'', 19 Mei 1995: 4).  
Sutomo yang waktu itu baru 19 tahun tergerak. Tetapi tampaknya ia lebih tergerak oleh kepribadian dan inspirasi moral Wahidin ketimbang oleh soal-soal pengumpulan dana, terbukti beberapa bulan setelah akhir 1907 itu. Pada 20 Mei 1908, ia bersama sejumlah mahasiswa [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|STOVIA]] mendirikan sebuah perkumpulan BU (Mohamad, 2012). Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yang memiliki pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota (Suhartono 2001: 30). Organisasi ini memperluas jangkauan tujuannya ke sektor-sektor sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Widharsana, ''Kompas'', 19 Mei 1995: 4).  


Para pendiri BU bertekad untuk “memerdekakan” rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan kekaburan budaya. Itulah belenggu yang harus diretas sebagai langkah awal untuk menjadikan rakyat sebagai bangsa yang mandiri (Widharsana ''Kompas'', 19 Mei 1995: 4). Di BU, wejangan dari dr. Wahidin sangat dihargai dan didengar, bahkan, ia diminta menjadi ketua cabang Yogyakarta, dan kemudian sebagai Wakil-Ketua Pimpinan Pusat “Budi Utomo”, yang dipilih dalam Kongres I, “Budi Utomo” di Yogyakarta tanggal 5 Oktober 1908, mendampingi R.A.A. Tirtokusumo yang dipilih menjadi Ketua (Jakti, ''Kompas'' 28 Mei 1968: 2).  Dr. Wahidin memiliki jasa besar dalam mengilhami pendirian BU. Langkah strategis BU kemudian diikuti antara lain oleh gerakan Adabiyah di Padang, Muhammadiyah, dan Al- Irsyad di Jawa (Maarif, ''Kompas'', 20 Mei 201: 6).
Para pendiri BU bertekad untuk “memerdekakan” rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan kekaburan budaya. Itulah belenggu yang harus diretas sebagai langkah awal untuk menjadikan rakyat sebagai bangsa yang mandiri (Widharsana ''Kompas'', 19 Mei 1995: 4). Di BU, wejangan dari dr. Wahidin sangat dihargai dan didengar, bahkan, ia diminta menjadi ketua cabang Yogyakarta, dan kemudian sebagai Wakil-Ketua Pimpinan Pusat “Budi Utomo”, yang dipilih dalam Kongres I, “Budi Utomo” di Yogyakarta tanggal 5 Oktober 1908, mendampingi R.A.A. Tirtokusumo yang dipilih menjadi Ketua (Jakti, ''Kompas'' 28 Mei 1968: 2).  Dr. Wahidin memiliki jasa besar dalam mengilhami pendirian BU. Langkah strategis BU kemudian diikuti antara lain oleh gerakan Adabiyah di Padang, [[Muhammadiyah]], dan [[Al-Irsyad]] di Jawa (Maarif, ''Kompas'', 20 Mei 201: 6).


Penulis: Fanada Sholihah
Penulis: Fanada Sholihah

Revision as of 11:02, 2 August 2023

Dr. Wahidin Sudirohusodo atau Mas Ngabei Wahidin Sudiro adalah tokoh protagonis bagi modernisasi dan perjuangan nasional Indonesia (Sudarmanto, 2007: 216). Dokter Jawa, yang termasuk golongan priayi rendahan ini, lahir di desa Mlati pada 7 Januari 1852 (sumber lain menyebut tahun 1857). Desa Mlati merupakan sebuah desa yang terletak di kaki gunung Merapi Yogyakarta (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Dr. Wahidin beristrikan seorang wanita bernama Anna. Mereka memiliki dua orang putera, salah seorang anaknya adalah Abdullah Subroto, seorang pelukis ternama yang menurunkan dua orang pelukis terkenal, yaitu Sudjono Abdullah dan Basuki Abdullah. Dr. Wahidin meninggal di Yogyakarta pada 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa kelahirannya (Sudarmanto, 2007: 216; Said, 1995: 34). Dr. Wahidin adalah saudara sepupu Radjiman Wedyodiningrat yang terkenal sebagai Ketua BPUPKI pada tahun 1945. Sejak kecil, Wahidin termasuk murid pandai yang disenangi teman dan gurunya. Jiwa sosial dan pendidik menjadi citra yang tampak dalam dirinya sejak muda (Adam, 2010: 181).

Berkat rekomendasi dari iparnya, seorang Belanda yang menjabat administratur pabrik gula Wonolopo, ia mendapat akses pendidikan sehingga dapat bersekolah di Europeesche Lagere School (SD Belanda) dan Tweede Europeesche Lagere School (sekolah tingkat II) di Yogyakarta (Priatna dan Hakim, 2013: 62). Lulus dengan nilai memuaskan, para guru juga pamannya menyarankan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Pada 1869, ia berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputera (STOVIA) dan lulus dalam empat tahun (Umasih, 2006: 468). Lalu ia diangkat menjadi asisten pengajar di STOVIA. Ia kemudian kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai dokter.

Sebagai dokter, Wahidin menaruh empati yang mendalam terhadap penderitaan, ketertindasan, dan keterbelakangan rakyat sebagai akibat nyata dari kolonialisme (Junaedi, 2014: 268). Rasa empati itu termanifestasi dalam berbagai hal, termasuk membebaskan biaya bagi pasien yang tidak mampu. Baginya, tugas sebagai tabib atau dokter merupakan tugas yang suci. Oleh sebab itu, semua pelaksanaan tugas dan kewajiban harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan (Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia, 1990: 128).

Aksi-aksi sosialnya juga meluas hingga ke spektrum pendidikan. Ia sadar, untuk meningkatkan harkat bangsa, perlu ditempuh dengan menyebarluaskan pengajaran dan menginternalisasi kesadaran nasional (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Ia meyakini bahwa pendidikan dapat memberi alat analitis yang kuat dalam memformulasikan kembali kesadaran bumiputra yang baru, selain menjadi sarana yang strategis dalam menghadapi dan menguasai modernitas. Sebetulnya, aspirasi untuk mencapai kemajuan telah tumbuh di kalangan kaum terpelajar (intelektual, intelegensia) pada awal abad ke-20, mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kaum maju atau priayi profesional telah sadar akan adanya diskriminasi bagi anak-anak bumiputra dalam mengakses pendidikan. Di samping jumlah sekolah yang terbatas, banyak peraturan yang secara tegas membatasi penerimaan murid bagi anak bumiputra, khususnya untuk memasuki sekolah Eropa. Biaya sekolah yang tinggi juga menjadi hambatan utama bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan di atas rata-rata (Sudarmanto, 2007: 214).

Sebagai solusi atas persoalan itu, dr. Wahidin menginisiasi program dana belajar atau studiefonds agar pemuda-pemuda bumiputra yang cerdas (bukan priayi), tetapi tidak mampu, dapat melanjutkan studi hingga ke jenjang yang tinggi. Gagasan mengenai studiefonds itu dilontarkan melalui majalah yang berada di bawah naungannya, Ratna Dumilah. Majalah berbahasa Jawa ini banyak memuat narasi-narasi yang menitikberatkan pada sikap mawas diri dan gairah untuk mengubah keadaan terjajah (Mirnawati, 2012: 38).

Setelah pensiun sebagai dokter pemerintah, dalam usia 50 tahun, pada 1906 hingga 1907, dr. Wahidin menebar gagasan untuk memajukan pendidikan dengan berkeliling pulau Jawa untuk memperoleh dukungan dari masyarakat, khususnya dari kalangan priayi atau pejabat tinggi ataupun rendah bumiputra (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41). Menurut pemberitaan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (selanjutnya disingkat BN) tahun 1908 sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, meskipun hasil kampanyenya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, setidaknya di Jawa Tengah masih terbuka kemungkinan adanya kerjasama di antara pejabat bumiputra dengan membentuk “Dana Pelajar” (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41 - 42).

Ikhtiar dr. Wahidin telah mendapat simpati di kalangan pegawai bumiputra di beberapa kota, di antaranya Banten, Betawi, Bandung, Cirebon, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogya, dan Solo. Namun demikian di Jawa Timur, usaha tersebut kurang mendapat dukungan karena fitnah yang sengaja dilancarkan sebuah surat kabar di Surabaya bahwa ia terlibat kerusuhan di Gendangan dan Yogyakarta. Karena fitnah itu, ia tidak dapat memasuki beberapa karesidenan di Jawa Timur (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978: 41 - 42). Ada juga tanggapan bernada sinis dari sekelompok aristokrat lama Jawa yang masih tertutup pandangannya dan cenderung nyaman dengan status quo, keadaan di mana kepentingan mereka terjamin. Oleh karena itu, setiap gerak perubahan yang terjadi dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan tersebut (Kartodirdjo, 2020: 118). Mereka beranggapan bahwa belum tiba waktunya bagi para orang bumiputra untuk memperoleh pendidikan yang baik, karena mereka masih ditakdirkan untuk tetap bodoh (Gonggong, 1985: 15).

Sebagai seorang idealis, ia tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk memobilisasi kekuatan sosial guna merealisasikan gagasannya (Sudarmanto, 2007:  216). Dr. Wahidin yang lemah lembut, halus perangainya, akan tetapi keras hati dan pendiriannya dalam meningkatkan martabat bangsa, kembali ke Batavia pada akhir tahun 1907. Keputusannya ini sama sekali bukan tanda keputusasaan (Sudarmant,o 2007:  216). Dr. Wahidin, yang masyhur (karena anak priayi desa yang berhasil jadi dokter di akhir abad ke-19 itu dan tulisan-tulisannya yang bernas), sengaja datang menemui para mahasiswa STOVIA. Ia mengimbau agar para calon dokter bumiputra itu bekerja mengumpulkan dana untuk membantu anak-anak bumiputra, agar mereka yang cerdas dapat masuk ke lembaga pendidikan Belanda (Mohamad, 2012).  Ternyata pemikiran beliau banyak disukai kaum intelektual, di antaranya Tirto Adhi Suryo, pelopor lahirnya pers nasional sekaligus pendiri surat kabar Soenda Berita (1903) dan Medan Prijaji (1907). Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat lalu mendirikan Indische Partij (1912). Sementara Sutomo mendirikan Budi Utomo (1908) (Priatna dan Hakim 2013: 62). Pertemuan itu memberi impresi yang dalam pada Sutomo. “Suaranya yang merdu dan sareh itu membuka pikiran dan hati saya, mendatangkan cita-cita baru…gemetar di seluruh tubuhnya. Pemandangannya menjadi luas, perasaan menjadi halus…orang merasa akan kewajibannya yang maha luhur di dunia ini.” (Adam, 2010:  180-181).

Sutomo yang waktu itu baru 19 tahun tergerak. Tetapi tampaknya ia lebih tergerak oleh kepribadian dan inspirasi moral Wahidin ketimbang oleh soal-soal pengumpulan dana, terbukti beberapa bulan setelah akhir 1907 itu. Pada 20 Mei 1908, ia bersama sejumlah mahasiswa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan BU (Mohamad, 2012). Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern, yang memiliki pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota (Suhartono 2001: 30). Organisasi ini memperluas jangkauan tujuannya ke sektor-sektor sosial, ekonomi, dan kebudayaan (Widharsana, Kompas, 19 Mei 1995: 4).

Para pendiri BU bertekad untuk “memerdekakan” rakyat dari kebodohan, kemiskinan, dan kekaburan budaya. Itulah belenggu yang harus diretas sebagai langkah awal untuk menjadikan rakyat sebagai bangsa yang mandiri (Widharsana Kompas, 19 Mei 1995: 4). Di BU, wejangan dari dr. Wahidin sangat dihargai dan didengar, bahkan, ia diminta menjadi ketua cabang Yogyakarta, dan kemudian sebagai Wakil-Ketua Pimpinan Pusat “Budi Utomo”, yang dipilih dalam Kongres I, “Budi Utomo” di Yogyakarta tanggal 5 Oktober 1908, mendampingi R.A.A. Tirtokusumo yang dipilih menjadi Ketua (Jakti, Kompas 28 Mei 1968: 2).  Dr. Wahidin memiliki jasa besar dalam mengilhami pendirian BU. Langkah strategis BU kemudian diikuti antara lain oleh gerakan Adabiyah di Padang, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad di Jawa (Maarif, Kompas, 20 Mei 201: 6).

Penulis: Fanada Sholihah


Referensi

Adam, Asvi Warman (2010) Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Gonggong, Anhar (1985) Muhammad Husni Thamrin. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Jakti, BM. Kuntjoro (1968) “Pembaca Menulis: Dr. Wahidin Sudirohusodo”, Kompas 28 Mei, hlm. 2.

Junaedi, Didi (2014) Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang Masa. Yogyakarta. Indonesia Tera.

Kartodirdjo, Sartono (2020) Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Yogyakarta. Penerbit Ombak.

Maarif, Ahmad Syafii (2011), “Kebangkitan Kesadaran”, Kompas, 20 Mei, hlm. 06.

Mirnawati (2012) Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap. Jakarta. Penerbit CIF.

Mohamad, Goenawan (2012) Catatan Pinggir 2, Kumpulan Esai Pendek di Majalah Tempo September 1981 sampai Desember 1985. Jakarta. TEMPO Publishing.

Pengurus Pusat, Persatuan Wartawan Indonesia (1990), Kebangkitan Nasional Menyuburkan Wawasan Kebangsaan: Rangkuman Karya Tulis Para Penerima Anugerah Jurnalistik Hari Kebangkitan Nasional. Persatuan Wartawan Indonesia.

Priatna, Angga dan Aditya Fauzan Hakim (2013) Nama & Kisah Pahlawan Indonesia dari Masa Voc, Belanda, Jepang, hingga Masa Pembangunan. Jakarta. Anak Kita.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1978) Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur.

Said, Julinar, Triana Wulandari, dan Sri Sutjiatiningsih (1995) Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta. Sub Direktorat Sejarah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan, 1995.

Sudarmanto, J. B., (2007) Jejak-Jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Suhartono (2001) Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Umasih-Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2006) Sejarah Pemikiran Indonesia sampai dengan Tahun 1945. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

Widharsana, PD (1995) “Nasionalisme dan Pemerdekaan”, Kompas, 19 Mei, hlm. 04.