Muhammad Jusuf
Betapapun terkenal sebagai negerinya para petarung dan pelaut tangguh, hanya ada satu putra Sulawesi Selatan yang pernah mencapai puncak pimpinan Tentara Nasional Indonesia. Dia adalah Muhammad Jusuf, yang pada masa mudanya dikenal dengan nama Andi Mo’mang. Selain menjadi Panglima ABRI ke-7, perwira kelahiran Bone 23 Juni 1928 ini juga pernah empat kali ditunjuk sebagai menteri perindustrian, baik di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno maupun Presiden Suharto (Bachtiar, 1988: 153).
Di awal karier militernya, M. Jusuf bertugas sebagai ajudan Letkol Abdul Kahar Muzakkar yang berdinas di kesatuan angkatan laut ke-10 di Yogyakarta. Di kemudian hari, Abdul Kahar Muzakkar mengangkat senjata atas nama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sulawesi Selatan untuk menyatakan ketidakpuasannya kepada pemerintah pusat. Muhammad Jusuf, mantan ajudannya yang kala itu menjabat sebagai Panglima Daerah Militer XVI/Hasanudin, menghentikan perlawanannya melalui Operasi Tumpas (Syafarudin, 2010: 157).
Setelah bertugas di Yogyakarta, M. Jusuf mengalami tour of duty di Pulau Sulawesi, mulai dari menjadi ajudan panglima hingga menjadi panglima pada tahun 1959. Di Sulawesi Selatan, perwira yang dekat dengan Presiden Sukarno ini juga pernah diamanahi jabatan sebagai Ketua Universitas Bung Karno Sulawesi Selatan (1964). Meski masih berstatus perwira aktif, Presiden Sukarno memanggilnya ke Jawa untuk menjadi Menteri Industri Ringan pada Kabinet Dwikora. Sesungguhnya, di dalam kapasitas inilah Jenderal M. Jusuf terlibat dalam kontroversi di seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor (Saelan, 2008: 273).
Setelah peristiwa 30 September terjadi, situasi dalam keadaan amat tidak menentu. Pada 11 Maret 1966, selepas rapat kabinet, M. Jusuf berinisiatif menjenguk Presiden Sukarno di Istana Bogor bersama Jenderal Basuki Rahmat dan Jenderal Amir Mahmud (Saelan, 2008: 273). Niatnya didasari oleh keinginan untuk memberi impresi bahwa angkatan darat tidak meninggalkan Sukarno. Meskipun begitu, ketiga jenderal tersebut terlebih dahulu meminta izin Jenderal Suharto sebelum berangkat. Uniknya, Presiden Suharto mengizinkan, selama pertemuan itu dilakukan agar Presiden Sukarno mempercayai Suharto untuk mengambil alih kendali “demi penyelamatan konstitusi” (LAI, 2007: 64 & Saelan, 2008: 273).
Jenderal M. Jusuf menolak keterangan dan spekulasi banyak orang bahwa pertemuan di Bogor berlangsung “di bawah todongan pistol.” Memang terdapat beberapa ketegangan, misalkan antara Presiden Sukarno dengan Jenderal Amir Mahmud yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Jaya. Pembicaraan-pembicaraan hari itu memang terjadi tanpa basa-basi, namun tidak melibatkan senjata api jenis apapun. Ketika Presiden Sukarno menandatangani Supersemar yang tidak diketik selayaknya surat resmi, menurut Jusuf, situasinya justru cenderung “santai” (Saelan, 2008: 273).
Kebiasaan Jenderal Jusuf untuk menghadap Presiden Suharto inilah yang menyelamatkan reputasi dan kariernya di era Orde Baru, betapapun ia merupakan orang kepercayaan Sukarno. Patut diingat bahwa tak banyak orang kepercayaan Sukarno yang menyintas ke era Orde Baru. Memang, di awal era Orde Baru, M. Jusuf tidak banyak mengenakan seragam militer karena dipercaya untuk meneruskan karirnya sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan Ringan (Juli 1966–Oktober 1967), Menteri Perdagangan (Oktober 1967–Januari 1968)`, kemudian kembali ke posnya sebagai Menteri Perindustrian (1968-1978) (Bachtiar, 1988: 153). Dalam menjalankan jabatan-jabatan sipil ini, M. Jusuf tak pernah menolak perintah. Baginya, begitulah idealnya sikap seorang prajurit (Bachtiar, 1988: 153).
Pemilihan M. Jusuf yang sudah dua belas tahun tidak berseragam tentara menjadi panglima ABRI tentu terasa mengganjal. Namun, sejak peristiwa Malari, Presiden Suharto memutuskan untuk menunjuk petinggi ABRI yang jauh dari panggung politik. Sehingga perseteruannya dengan Jenderal Sumitro tidak terulang (Jenkins, 2010: 31). Sebelum M. Jusuf, pejabat Panglima ABRI adalah Maraden Panggabean yang cenderung tidak berpolitik. Satu-satunya afiliasi politik beliau semasa hidupnya adalah dengan Golongan Karya. Ketika pelantikan Jenderal Jusuf sebagai panglima di Istana Negara, bahkan terlontar pertanyaan kelakar: “Sudah berbelas-belas tahun tak berseragam militer, apakah Jenderal Jusuf masih ingat cara berbaris?” (Tempo, 5 Oktober 2021).
Selama menjabat sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan, M. Jusuf dikenang atas perhatiannya yang besar pada kesejahteraan prajurit. Di suatu kesempatan, ia bahkan mengatakan bahwa “tugas saya sebagai Menhankam adalah menjamin kesejahteraan prajurit”. Pada tahun 1983-1993, Jenderal Jusuf ditunjuk sebagai Kepala Badan Pemeriksa Keuangan. Alih-alih membawanya lebih tinggi, justru di posisi inilah penugasannya di dalam pemerintahan berakhir. Jenderal yang dekat dengan prajurit itu berpulang pada 8 September 2004 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Tempo, 5 Oktober 2021.
Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Lembaga Analisis Informasi (Yogyakarta, Indonesia), ed. Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto. Ed. rev. Yogyakarta : Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta: Media Pressindo ; Distributor tunggal, Buku Kita, 2007.
Saelan, Maulwi. Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Cet. 2. Jakarta: Visimedia, 2008.
Tempo. Panglima Jenderal M. Jusuf dan Gayanya Memimpin ABRI Era 1970-An. Jakarta: Tempo Publishing, 2020.