Ahdiat Karta Mihardja

From Ensiklopedia
Ahdiat Karta Mihardja. Sumber: Koleksi ANRI P04 0205

Achdiat Karta Mihardja (Akhdiat K. Miharja) adalah sastrawan Indonesia Angkatan ’45 yang berperan penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern dan kebudayaan Indonesia. Ia lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, pada 6 Maret 1911 dan meninggal dunia di Canberra, pada 8 Juli 2010. Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Bandung pada 1925 dan AMS Bagian Kesusastraan Timur di Solo pada 1932, ia belajar tarekat Qadariyah Naqsabandiyah pada K.H. Abdullah Mubarok (Ajengan Gedebag), kuliah filsafat Thomistik pada Pater Dr. Jacob S.J., dan juga mengikuti kuliah filsafat pada Prof. Dr. R.F. Beerling di UI pada 1950-1951. Achdiat memulai karirnya sebagai koresponden harian Indie Boek dan beberapa harian lain; kemudian menjadi redaktur Bintang Timoer dan beberapa mingguan lain; penyalin di Balai Pustaka Pekabaran Radio Jakarta; redaktur kebudayaan mingguan Spektra, majalah Pudjangga Baroe, dan lain-lain; guru Taman Siswa, hingga Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya.

Ia pernah menjadi Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia, Pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Wakil Indonesia dalam Kongres PEN Club Internasional di Swiss. Pada 1956-1961 ia menjadi dosen di Fakultas Sastra UI, dan sejak 1961 menjadi dosen di National University, Canberra, Australia (Mihardja 2011: 251-252).

Achdiat juga menjadi salah satu pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia mengajak beberapa sastrawan yang tidak memiliki kedekatan dengan Belanda, antara lain A.S. Darta dan M.S. Azhar, untuk membentuk Lekra. Pada 1950, saat ia mengikuti pertemuan internasional PEN Club di Swiss, Lekra mendeklarasikan diri sebagai onderbouw PKI pada pada 17 Agustus 1950. Sebagai bentuk penolakannya atas deklarasi itu ia keluar dari Lekra (https://news.detik.com/wawancara/d-287066/-sekarang-saya-menantang-sekularisme).

Achdiat telah menghasilkan karya-karya berupa novel, cerpen, drama, dan esei tentang kebudayaan. Karyanya berupa novel adalah Atheis yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949, dan Debu Cinta Bertebaran yang diterbitkan di Malaysia pada 1973. Karya berupa cerpen dimuat di berbagi media dan dipublikasikan dalam buku kumpulan cerpen yaitu Keretakan dan Ketegangan terbitan Balai Pustaka 1956, Kesan dan Kenangan terbitan Balai Pustaka 1960, Belitan Nasib terbitan Pustaka Nasional Singapura 1975, dan Pembunuh dan Anjing Hitam terbitan Balai Pustaka 1975. Karya berupa naskah drama yaitu Bentrokan dalam Asrama, “Pak Dulah in Extremis”, dan “Keluarga R. Sastro”. Karya berupa esai tentang kebudayaan adalah “Pengaruh Kebudajaan Feodal” dalam Sikap No. 13 Tahun X, 1948 dan Polemik Kebudajaan terbitan Balai Pustaka 1948 (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Achdiat_Karta_ Mihardja).

Atheis mendapat pujian dari A.H. Johns, dosen senior Bahasa Indonesia di Canberra University College sebagai salah satu di antara sedikit novel yang bagus pada awal perkembangan sastra Indonesia modern, (Johns, 2008: 298). Sementara itu kritikus sastra Indonesia ternama, A. Teeuw, memuji Atheis sebagai novel pertama pasca perang yang benar-benar menarik karena menyajikan gaya bercerita yang baru dan mengungkap kehidupan masyarakat Indonesia (Sunda) pada masa transisi yang memperlihatkan campuran khas antara kesalehan atau ketaatan pada ajaran agama (Islam), praktik mistik, dan ideologi Barat yang menciptakan ketegangan dan kegamangan terutama di kalangan kaum muda (Teeuw, 1967: 204). Novel Atheis memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada 1969. Pada 1972 novel ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh R.J. Maguire dan pada 1974 diangkat menjadi film oleh Syuman Djaja. Karya lainnya, Keretakan dan Ketegangan, mendapat Hadiah Sastra Nasional dari BMKN 1957 (Mihardja, 2011: 252).

Achdiat mengambil sikap untuk tidak memilih antara Timur yang feodalistik atau Barat yang kapitalistik. Menyitir gagasan Sanusi Pane dalam Polemik Kebudayaan yang dieditnya, ia menekankan perlunya penyatuan atau perkawinan antara Faust (Barat) dan Arjuna (Timur). Demokrasi dari Barat dan aspek rohani atau ketuhanan dari Timur dapat disatukan. Gagasan tentang pentingnya demokrasi juga telah ditunjukkan oleh Achdiat saat menanggapi protes yang meluas terhadap “Langit Makin Mendung”, cerpen Kipandjikusmin, dalam majalah Sastra 1968, yang oleh H.B. Jassin disebut “Heboh Sastra 1968”. Gelombang protes itu memaksa Kipandjikusmin menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan mencabut karyanya. Achdiat, ikut memberi komentar dengan mengatakan bahwa “Heboh Sastra 1968” menunjukkan bahwa demokrasi belum berkembang dengan baik di Indonesia (Jassin, 1970: 45). Ia menekankan pentingnya demokrasi, bukan hanya untuk menjamin kebebasan berekspresi bagi para sastrawan tetapi juga agar berbagai masalah dapat dibicarakan secara terbuka dan penuh toleransi. Lebih jauh lagi, demokrasi, yang dikawinkan dengan ketuhanan, dapat dijadikan landasan bagi kebudayaan Indonesia modern, kebudayaan yang demokratis sekaligus berketuhanan.

Penulis: Mahendra Puji Utama


Referensi

“Achdiat K. Mihardja: Pengarang “Atheis”, Kisah yang Berakhir Tragis”, https:// tirto.id/ctX3

“Sekarang Saya Menantang Sekularisme”, https://news.detik.com/wawancara/d-287066/-sekarang-saya-menantang-sekularisme.

Jassin, H.B. (1970). Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggungan Jawab. Jakarta: Gunung Agung.

Johns, A.H. (1959). “Indonesian Literature and the Social Upheaval”, Australian Outlook, 13:4, 293-303, DOI:10.1080/10357715908444064, http://dx.doi. org/10.1080/10357715908444064

Mihardja, Achdiat K. (2008). “Sekapur Sirih dari Pengumpul”, dalam Achdiat K. Mihardja (Pengumpul), Polemik Kebudayaan: Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mihardja, Achdiat K. (2011). Atheis. Jakarta: PT Balai Pustaka.

Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian Indonesian Literature. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde. ISBN 978-94-015-0768-4 (eBk). DOI 10.1007/978-94-015-0768-4.