Aliarcham
Aliarcham adalah tokoh pergerakan antikolonial pada awal abad ke-20. Ia lahir di Asemlegi, Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada tahun 1901. Ia menjalani pendidikan di pesantren, Hollands Inlandse School (HIS), dan Kweekschool di Ungaran. Ia juga mengenyam pendidikan di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas), Purworejo, pada tahun 1920.
Aktivitas organisasi dan politiknya berawal sebagai anggota Sarekat Islam (SI) Salatiga. Pada tahun 1921 tercatat aktif dalam Perserikatan Komunis di Hindia dan SI Merah. Dua tahun kemudian, tahun 1923 dalam konferensi gabungan PKI dan SI Merah di Bandung, Aliarcham mengusulkan perubahan nama dari SI Merah menjadi Sarekat Rakjat (SR). Usulannya diterima dan ia terpilih sebagai ketua Sarekat Rakjat.
Pada Mei 1923 terjadi pemogokan buruh kereta api yang tergabung dalam serikat buruh Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP). Aliarcham ditangkap dan dikenakan hukuman atas dasar pasal 161 bis. Pasal ini melarang pemogokan dan mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul waktu itu.
Pada 7 Oktober 1923 Aliarcham melakukan pelanggaran berbicara dalam rapat umum Sarekat Rakjat di Semarang. Ia kemudian ditangkap pada 20 Oktober 1923. Tuduhan penguasa kolonial waktu itu, Aliarcham dianggap menghina alat-alat negara pamongpraja yang sedang melakukan tugas atau pekerjaannya.
Pada 28 Maret 1924 dalam persidangan, Aliarcham dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan. Ia kemudian mengajukan naik banding, tetapi pengadilan tinggi justru menambah hukuman menjadi enam bulan penjara. Aliarcham menolak tuduhan atas dirinya sebagai penggerak pemogokan, penggranatan dan pemboikotan perayaan resmi pemerintah kolonial. Ia pun membela diri dengan mengatakan bahwa sumber semua masalah justru berada di tangan pemerintah Belanda yang mendatangkan kemelaratan dan kemiskinan rakyat Indonesia.
Pada Juni 1924 dalam Kongres II PKI di Jakarta, kongres memilih Winanta sebagai ketua dan Boedisoetjitro sebagai sekretaris Comite Central. Sedangkan Aliarcham dan Alimin ditetapkan sebagai komisaris daerah Jakarta.
Pertengahan 1920-an, Aliarcham ke Surabaya dan aktif dalam Serikat Buruh Gula. Pada November 1925 terjadi pemogokan buruh gula, metal, percetakan dan pabrik es di Surabaya. Aliarcham menjadi organisator dalam pergerakan buruh Surabaya ini.
Pada 5 Desember 1925 Aliarcham ditangkap. Ia dikenakan hukuman dan dibuang ke Merauke. Pada 24 Desember 1925 Aliarcham bersama Mardjohan dibawa dengan kapal Van der Wijck menuju tanah pembuangan di Papua. Beberapa bulan sebelum pembuangan Aliarcham, dibuang pula aktivis pergerakan Hadji Misbach ke tanah Papua ini, kemudian meninggal dunia pada 1927 karena penyakit malaria.
Aliarcham tinggal selama seminggu di Merauke. Ia kemudian dipindahkan ke Okaba dan tinggal di kamp ini selama satu setengah tahun. Pada 1926 ia dipindahkan lagi ke Tanah Merah dan tinggal selama tiga bulan. Selama masa pembuangan Aliarcham di Tanah Merah, ia digabungkan dengan kaum buangan akibat pemberontakan November 1926. Aliarcham kemudian dipindahkan lagi ke kamp sementara di Gudang Arang, yang terletak di sebelah selatan Tanah Merah. Di kamp ini tinggal Sardjono, Soemantri, Boedisoetjitro, Mas Marco Kartodikromo, Daslan.
Pada tahun 1927 datang orang-orang yang telah lama dibuang ke Timor, Okaba, dan Munting yaitu Datoek Batoeah, Natar Zainoeddin, Mardjohan, Marlan, Winanta, Prawirodihardjo, juga dari Pulau Jawa yaitu Prawirosardjono (Surabaya) (Kartodikromo, 2002).
Kaum buangan seperti Aliarcham dan kawan-kawan lainnya tak surut selama di pembuangan. Contohnya, koloni Gubernur Maluku melakukan perjalanan ke Tanah Merah, kapal yang ditumpanginya mendekati kamp Gudang Arang. Kaum buangan yang tinggal di sana kemudian berdiri berjajar di tepi sungai dengan punggung menghadap ke sungai dan celana sengaja diturunkan untuk memberi sambutan kepada gubernur dengan pantat telanjang. Akibat insiden ini, kaum buangan kemudian dipindahkan lagi ke Tanah Tinggi, yang terletak 40 kilometer jaraknya dari Tanah Merah.
Pada 1928 Aliarcham dipindahkan lagi ke Tanah Tinggi akibat sorotan pers, anggota parlemen Volksraad dan Tweede Kamer. Waktu itu ada sekitar 170 orang buangan di Tanah Tinggi. Pemerintah kolonial Belanda menganggap kaum buangan di Tanah Tinggi paling berbahaya dan sebagai penggerak dan pelaku pemberontakan November 1926.
Aliarcham menentang politik berkompromi dan menolak berkooperasi dengan pemerintah kolonial. Ia menganggap perjuangan rakyat Indonesia tak terpisahkan dari perjuangan rakyat sedunia untuk pembebasan dari kolonialisme.
Pada 1 Juli 1933 Aliarcham meninggal dunia karena penyakit malaria, kemudian dimakamkan di Tanah Merah. Selain Aliarcham, Mas Marco dan Najoan juga meninggal karena penyakit malaria.
Penulis: Fauzi
Referensi
Kartodikromo, Marco (2002). Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel. Jakarta: KPG.
Lembaga Sedjarah PKI (1964). Aliarcham: Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja. Djakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.
McVey, Ruth T. (2006). The Rise of Indonesian Communism. Jakarta & Singapore: Equinox.
Salim, I.F.M. Chalid (1977). Lima Belas Tahun Digul: Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea. Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Shiraishi, Takashi (2001). Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial. Yogyakarta: LKiS.