Andi Depu
Andi Depu adalah seorang pejuang pada masa Revolusi yang berasal dari Mandar, Sulawesi Barat. Sebelum kemerdekaan, ia terlibat secara aktif di dalam perhimpunan pemuda Islam di wilayah Mandar. Sebagai tokoh yang berasal dari kalangan aristokrat, Andi Depu turut mempropagandakan Indonesia pada masa Pendudukan Jepang, serta menyebarkan berita kemerdekaan di wilayah Mandar pada tahun 1945. Melalui organisasi badan perjuangan dan aktivitas gerilya, ia melakukan perlawanan terhadap NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) di Sulawesi pada periode 1945 hingga 1950. Selain itu, Andi Depu juga memiliki peran dalam pembubaran NIT (Negara Indonesia Timur) di tahun 1952.
Di dalam berbagai catatan, Andi Depu dikenal dengan nama Agung Hajjah Andi Depu (Hamzah, 1991). Andi Depu lahir di Tinambung, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat pada tahun 1908. Menjelang remaja, ia mendapat panggilan karepu yang kemudian disingkat menjadi Depu (Padilah dan Wahyuni, 2021: 88). Ia memiliki garis keturunan bangsawan di Mandar, dengan sebutan Todziang Laiyyana (atau orang yang berdarah biru). Ayahnya adalah adalah Raja Balanipa Mandar ke-50 yang bernama Lajju Kanna Doro, sedangkan ibunya bernama Samaturu atau biasa dipanggil Kinena (Sewang, 2018: 23). Ia tumbuh besar di lingkungan istana di Mandar bersama dengan saudara-saudaranya.
Sejak kecil, Andi Depu telah mendapat pendidikan informal di dalam istana. Ia menempuh pendidikan formal pada tingkat dasar Volkschool (sekolah desa atau sekolah rakyat) di wilayah Kerajaan Balanipa (Tahir, 2017: 16). Sekolah-sekolah desa merupakan salah satu hasil dari Politik Etis yang dicanangkan pada awal abad ke-20. Pada umumnya, Volkschool memiliki program pendidikan yang mengajarkan berbagai keterampilan dasar seperti berhitung, membaca, dan pelajaran praktis yang semuanya disajikan dalam bahasa daerah dalam durasi tiga tahun (Ricklefs, 2008: 197).
Ketika itu, meskipun pemerintah kolonial menganggap bahwa perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan dapat menempuh pendidikan dan terbuka untuk perubahan, situasi di wilayah pedesaan tidak mendorong perempuan untuk menempuh pendidikan formal (Locher-Scholten, 2000: 28). Karena keterbatasan akses di wilayah Mandar, Andi Depu tidak melanjutkan pendidikan tingkat lanjut HIS (Hollandsch-Inlandsche School atau sekolah Belanda untuk Pribumi). Meskipun demikian, di dalam lingkungan istana, ia memperoleh pendidikan Islam, baik pelajaran mengenai tajwid maupun kisah para nabi (Hamzah, 1991: 40).
Pada usia 15 tahun, Andi Depu menikah dengan seorang putra bangsawan atas kehendak orang tuanya. Ia menikahi Andi Baso Pawiseang, seorang putra bangsawan bernama Pammase, keturunan dari Ibaso Boroa bergelar Tokape (Sewang, 2018: 72). Keluarga keduanya memiliki hubungan kekerabatan yang baik, sehingga keduanya dijodohkan dan menikah dalam acara sakral Mallari Ada. Para anggota adat dan kerabat dari berbagai daerah dari Pitu Ba’bana Binanga, hadir di dalam acara tersebut. Beberapa tahun kemudian, Andi Baso Pawiseang diangkat menjadi pejabat sementara Arayang Balanipa (raja) menggantikan mertuanya yang meninggal dunia saat melakukan perjalanan haji ke Mekah. Pada awalnya, masyarakat Mandar mengharapkan Andi Depu untuk memangku jabatan sebagai pimpinan Balanipa, akan tetapi hal tersebut tidak disetujui oleh lembaga adat dan Gubernur Selebes dengan dua alasan berbeda. Lembaga adat tidak menghendaki pengangkatan Andi Depu karena perempuan tidak diperbolehkan memimpin kerajaan, sedangkan menurut pemerintahan kolonial, berdasarkan laporan Asisten Residen Afdeeling di Mandar, Andi Depu dianggap memiliki kecenderungan untuk menentang pemerintahan kolonial (Sewang, 2018: 72–74). Nantinya, pada masa pasca kemerdekaan, Andi Depu ditunjuk oleh masyarakat untuk menjadi Arayang Balanipa ke-52.
Pada masa Pendudukan Jepang dan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Andi Depu turut terlibat secara aktif di dalam pendirian berbagai organisasi sosial politik di wilayah Mandar. Bersama-sama dengan tokoh lainnya seperti M. Riri Amin Daud, Mahmud Syarif, Amin Badawy, dan Musdalifah, Andi Depu membentuk organisasi Islam Muda yang menjadi basis perlawanan rakyat untuk melawan kekuatan kolonial (Hamid, 2016: 98). Selain itu, Andi Depu juga turut mendirikan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Muda bersama-sama dengan Abd. Rachman Tamma dan Riri Amin Daud di Sulawesi, yang beranggotakan hampir 1.000 orang baik di wilayah Mandar maupun Makassar. Terdapat tiga divisi utama KRIS yang beroperasi di Mandar dan mencakup berbagai daerah, antara lain: Balanipa, Pitu Uluna Salu, Binuang, Majene, Tjenrana, Pembuang, Mamuju, dan Tapalang (Hamid, 2016: 98).
Pasca kekalahan Jepang, masyarakat Mandar berupaya untuk mempertahankan kemerdekaan di bawah pimpinan Andi Depu. Langkah pertama yang dilakukan oleh Andi Depu adalah mengutus Abd. Malik, sebagai delegasi dari KRIS Muda, pergi ke Makassar untuk bertemu dan berkoordinasi dengan Gubernur Sulawesi, G.J.J.S. Ratulangi, terkait pengambilalihan pemerintahan Jepang (Sewang, 2018: 92). Ketika itu, para kepala daerah di wilayah timur Indonesia dihadapkan oleh pilihan untuk tunduk pada otoritas Republik Indonesia yang baru berdiri, atau kembali kepada kekuasaan Belanda (Ricklefs, 2008: 251).
Di wilayah Mandar, organisasi-organisasi pemuda turut andil di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi NICA dan KNIL. Selain KRIS Muda, organisasi lain seperti GAPRI (Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia) 5.3.1. (angka-angka yang bermakna 5 rukun Islam, 3 ajaran pengorbanan, dan 1 yang menunjukkan ajaran tauhid), ALRI-PS (Angkatan Laut Republik Indonesia-Penyelidik Seberang), maupun PRI (Pemuda Republik Indonesia) (Hamid, 2016: 99–100; Salam, 1995: 171). Selain melakukan persiapan militer, PRI juga mendirikan berbagai sarana perekonomian dan seperti Koperasi Wanita Indonesia di Mandar (Salam, 1995: 173).
Sekitar akhir tahun 1945, tentara Sekutu mendarat di Mandar dan melakukan berbagai aksi penggeledahan dan penangkapan. Salah satu wilayah yang bertahan adalah Tinambung Balanipa yang berada di bawah kepemimpinan Andi Depu dan KRIS Muda. Ketika itu ia tidak membiarkan tentara Sekutu menurunkan bendera merah putih yang berada di Istana Balanipa. Menjelang akhir tahun 1946, Andi Depu dan sejumlah tokoh Revolusi Sulawesi, sempat ditangkap dan dijebloskan di tahanan KNIL Majene (Salam, 1995: 174). Meskipun demikian, Andi Depu bersama dengan KRIS Muda, terus melakukan gerilya pasca peristiwa penurunan bendera merah putih di Mandar. Pergi dari satu desa ke desa lainnya untuk membantu perlawanan rakyat (Salam, 1995: 177). Pada tahun 1947, Peristiwa Galung Lombok terjadi di wilayah Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling yang menewaskan ribuan penduduk pribumi (Cribb dan Kahin, 2004: 453).
Setelah masa Revolusi, Andi Depu keluar dari aktivitas militer. Ia sempat menjadi ketua Swapraja di Balanipa sebelum pindah ke Makassar pada tahun 1953. Di Makassar, ia turut mendukung masyarakat Mandar yang mengalami penindasan DI TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) (Sewang, 2018: 150). Andi Depu meninggal dunia pada tahun 1985, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar.
Penulis: Teuku Reza Fadeli
Instansi: University Of York
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Cribb, Robert B., & Kahin, Audrey. (2004). Historical Dictionary of Indonesia (No. 51). Oxford: Scarecrow Press.
Hamid, Abd Rahman. “Nasionalisme dalam Teror di Mandar Tahun 1947.” Paramita Vol. 26, No. 1, (2016): 95–105.
Hamzah, Aminah. (1991). Biografi Hajja Andi Depu Maradia Balanipa Mandar. Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan.
Locher-Scholten, Elizabeth. (2000). Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam University Press.
Padilah, N. dan Anny Wahyuni. "Karakter Religius dan Keberanian dari Kepemimpinan Tokoh Andi Depu dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia." JEJAK| Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah 1.1 (2021): 85–94.
Salam, H. Oemi. (1995). “Saksi Mata Pejuang Sulawesi Selatan,” dalam Irna H. Soewito, Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 Buku Pertama. Jakarta: Grasindo.
Ricklefs, Merle C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (4th Edition). New York: Macmillan International Higher Education.
Sewang, Anwar. (2018). Ibu Agung H.A. Depu Patriot Pembela Tanah Air. Jakarta: Wineka Media.