Badan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)

From Ensiklopedia

KOWANI berdiri pada 26 Februari 1946 dalam sebuah kongres di Surakarta (Amini 2021: 86). KOWANI merupakan turunan dari Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang berdiri melalui kongres pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta (Blackburn 2007, xlviii). Organisasi ini bertugas mengoordinasikan perempuan dalam rangka mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai negara kesatuan (Wieringa 2002: 85). Pendirian KOWANI juga dimaksudkan untuk merumuskan sikap atas maraknya penyelundupan anak-anak dan prostitusi (Wieringa 2002: 85). Formasi KOWANI pada masa awal pendirian terdiri atas gabungan dari organisasi perempuan, di antaranya adalah Aisyiyah, Muslimat, Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Barisan Buruh Wanita (BBW), Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia (AMKRI), Perjuangan Putri Republik Indonesia (PPRI), Laskar Wanita Indonesia (Laswi), dan beberapa organisasi perempuan lain (Amini 2021: 86). Organisasi Badan KOWANI pusat diketuai oleh Ny. Sujatin Kartowijono. Keanggotaan KOWANI bersifat resmi sehingga terhindar dari penyusupan kelompok komunis. Proses seleksi dilakukan melalui organisasi perempuan pada tingkat lokal dan regional. Gerakan KOWANI mendefinisikan dirinya sebagai gerakan nasional dengan cabang di seluruh Indonesia yang dipandang mampu mewakili seluruh perempuan Indonesia (Martyn 2005: 71).

Pada Agustus 1948, KOWANI mengadakan kongres keempat di Surakarta yang berhasil membentuk sebuah komite hukum untuk menelaah isu-isu mengenai suksesi dan perkawinan, ketenagakerjaan perempuan, dan isu higienitas (kebersihan) lingkungan fisik sosial (Wieringa 2002, 86). Sebuah mosi dilontarkan oleh Muslimat, Aisyiyah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang menolak keikutsertaan KOWANI pada forum Women’s International Democratic Front (WIDF). Penolakan itu berujung pada keputusan mundur ketiga organisasi tersebut dari KOWANI. Sebaliknya menurut KOWANI, bantuan WIDF justru dapat digunakan sebagai media menyampaikan protes atas agresi Belanda pada forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Muslimat, Aisyiyah, dan GPII mengingatkan bahwa sebagai sebuah organisasi, seluruh keputusan KOWANI itu harus didasarkan pada mufakat dengan keputuan suara yang bulat, sebagaimana kesepakatan pada Kongres KOWANI 1946 pertama di Surakarta (Amini 2021).

Kongres KOWANI di Surakarta 1948 juga meneguhkan bahwa Pancasila diterima sebagai landasan dasar organisasi dan nilai-nilainya diinternalisasikan oleh seluruh anggota KOWANI di seluruh Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional. Perjuangan untuk kesetaraan hak perempuan secara vokal disuarakan. Perempuan memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan jaminan perlindungan atas pekerjaan yang digeluti. Kongres KOWANI pada 1949 di Yogyakarta secara spesifik menuntut penyediaan jaminan sosial bagi keluarga korban perang, perawatan kesehatan mental dan fisik, penitipan anak, panti asuhan, rumah untuk wanita lanjut usia, kampanye anti-buta huruf, dan dana belajar bagi anak-anak perempuan. Seiring dengan semangat organisasi-organisasi perempuan dunia, KOWANI turut mengirimkan delegasinya dalam Konferensi Wanita Asia Afrika di Colombo, Sri Lanka, pada 15-24 Februari 1958 (Amini 2021: 90).

Sejak Lembaga Kementerian Wanita pada masa Orde Baru dibentuk, seluruh aktivitas organisasi perempuan harus dilaporkan dan dikonsultasikan pada lembaga itu. Hal itu berdampak pada pelaporan keputusan kongres yang harus disampaikan kepada pemerintah. Oleh karena itu, KOWANI selalu mengadakan kunjungan langsung kepada Presiden Soeharto untuk mengoordinasikan hasil keputusan kongres. Melihat realitas itu, tampak ada keinginan untuk menyatukan ide antara KOWANI dan pemerintah, sehingga peranan perempuan dapat didefinisikan ulang, baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi-organisasi perempuan (Amini 2021: 107). Hakikat perempuan tidak hanya dalam urusan domestikasi peran dan tanggung jawab saja, tetapi juga pada urusan-urusan masyarakat, bangsa, dan negara. KOWANI juga terus memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan melalui perumusan undang-undang perkawinan sejak 1974-1975. Pada periode Orde Baru itu, KOWANI secara politis ‘tunduk’ pada pemerintah untuk mendukung Program Keluarga Berencana (McGregor & Hearman 2007: 373).

Penulis Noor Naelil Masruroh


Referensi

Amini, Mutiah (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia, 1928-1998. Yogyakarta: UGM Press.

Blackburn, Susan (2007). Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor.

Martyn, Elizabeth (2005). The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia: Gender and nation in a new democracy. London dan New York: Routledge.

McGregor, Katharine E., and Vannessa Hearman (2007). “Challenges of Political Rehabilitation in Post-New Order Indonesia: The Case of Gerwani (the Indonesian Women’s Movement).” South East Asia Research 15, no. 3: 355–84. http://www.jstor.org/stable/23750261.

Wieringa, Saskia (2002). Sexual Politics in Indonesia. New York: Palgrave Macmillan.